Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. TigaPuluhEmpat
Viona perlahan membuka matanya. Kepalanya masih terasa berat, dan seluruh tubuhnya lemas. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan yang asing ini.
"Aku dimana?" tatapannya menyapu sekeliling kamar yang terlihat mewah dan luas.
Ranjang empuk dengan seprai putih bersih, lampu kristal tergantung di langit-langit, serta lemari besar di sudut ruangan.
Hatinya mulai diliputi kepanikan.
"Kamar siapa ini?!" Gumamnya.
Saat itu juga, pintu kamar terbuka, dan seseorang masuk sambil membawa nampan berisi makanan.
"Kamar om," ucap pria itu santai.
Viona langsung menegang.
"Om siapa?" tanyanya dengan suara curiga.
Matanya menatap pria gagah dengan tatapan tajam di hadapannya.
"Jangan-jangan om mau berbuat jahat padaku?!"
Sebelum pria itu menjawab, suara lain terdengar.
"Dia ayahku."
Viona menoleh, dan betapa terkejutnya ia saat melihat Anna berjalan masuk. Anna menghampiri Viona dan duduk di sampingnya.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya lembut. "Kamu demam, dan Papa membawamu kesini. Maaf kalau lancang, tapi kami sudah mendengar ceritamu."
Wajah Anna penuh perhatian, tetapi Viona tidak bisa menerimanya. Ia menepis tangan Anna yang menyentuh keningnya.
"Tidak usah sok peduli!" bentaknya.
Anna terdiam, sedikit tersentak.
"Kamu senang, kan, mendengar semua ini? Kamu bahagia aku gagal menikah dengan Zio. Kamu pasti–"
"Maafkan aku, Vio," potong Anna dengan suara lirih.
Tatapan matanya penuh rasa bersalah.
"Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu," lanjutnya. "Aku tahu pertunanganmu dengan Enzio gagal. Tapi semua ini bukan salahku. Enzio sendiri yang tidak menginginkan pertunangan itu, Vio. Dia tidak mencintaimu."
"Pergi Anna!" Viona berteriak, matanya dipenuhi kemarahan.
Anna menggigit bibirnya. Hatinya sakit melihat Viona seperti ini, tetapi ia tidak bisa menyalahkannya.
Sementara itu, Pras yang sejak tadi diam memperhatikan akhirnya angkat bicara. Ia menatap kedua gadis itu dengan penuh selidik.
"Kalian saling kenal?" tanyanya dengan kening berkerut.
Anna menoleh ke arah ayahnya dan mengangguk pelan.
"Ayah… Viona adalah anak Mama Laras," jawabnya lirih.
Pras langsung membeku di tempatnya. Mata tajamnya membulat, menatap Viona dengan penuh keterkejutan.
Anak Laras? Bukankah itu berarti Viona putrinya? Tidak, ini tidak mungkin! Meski bisa dibilang begitu. Karena terakhir mereka melakukan itu Laras bilang dia sedang hamil dan ingin menjebak Enzio.
"Dia adikku, Yah," lanjut Anna, suaranya sedikit bergetar.
"Bukan!" Viona tiba-tiba berteriak. "Aku bukan adik perempuan cacat sepertimu!" lanjutnya, matanya penuh kebencian.
Anna terdiam.
Cacat?
Hati Anna terasa sesak mendengar kata itu. Jadi, Viona selama ini membencinya? Karena kakinya yang cacat?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Viona langsung membalikkan tubuhnya, memunggungi mereka. Ia menarik selimut ke atas kepalanya, mencoba mengabaikan keberadaan Anna dan Pras.
Suasana menjadi hening. Pras dan Anna saling bertatapan, membaca emosi satu sama lain.
Akhirnya, Pras menghela nafas panjang.
"Ayah mau bicara," ucapnya.
Anna menatap ayahnya, lalu mengangguk pelan. Ia berdiri dan mengikuti Pras keluar dari kamar, membiarkan Viona sendirian untuk menenangkan diri.
_________
Di luar kamar, Pras berjalan ke ruang tamu yang luas dan duduk di sofa. Anna mengikutinya, duduk di seberang ayahnya dengan ekspresi penuh kecemasan.
Pras bersandar, menatap Anna dalam-dalam sebelum akhirnya bertanya,
"Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian?"
Anna tidak tahu harus mulai dari mana. Namun, setelah beberapa detik hening, ia akhirnya berkata, "Viona… selama ini hidup dalam kebohongan, Ayah."
Pras menyipitkan mata. "Maksudmu?"
Anna menarik napas panjang. "Sepertinya dia tumbuh dalam kebencian yang ditanamkan oleh Mama Laras. Mama mungkin menanamkan di kepala Viona bahwa aku adalah musuhnya."
Pras mengepalkan tangannya. "Laras, wanita itu memang tidak pernah berubah."
Anna melanjutkan, "Sejak dulu, Viona selalu ingin menjadi lebih baik dariku. Tapi ketika dia tahu bahwa aku ternyata kakaknya… dia tidak bisa menerimanya."
Pras menghela napas berat. "Jadi, selama ini dia membencimu hanya karena itu?"
Anna mengangguk.
"Dan sekarang, dia merasa aku merebut Enzio darinya," ucap Anna.
Pras mengusap wajahnya, merasa frustasi. "Kalau begitu, kita harus mencari cara untuk menyadarkan Viona," ucapnya.
"Tapi bagaimana, Ayah? Dia sangat keras kepala," ujar Anna.
Pras terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kita biarkan dia di sini untuk sementara. Mungkin, dengan tinggal bersama kita, dia akan mulai melihat kebenaran."
Anna menatap ayahnya dengan ragu. "Apa dia akan menerimanya?"
Pras tersenyum kecil, tatapannya tajam dan penuh keyakinan.
"Ayah akan memastikan dia menerimanya."
__________
Di dalam kamar, Viona masih memeluk bantalnya erat-erat. Air matanya jatuh tanpa suara.
"Aku tidak mau satu rumah dengan Anna! Aku benci melihatnya!"
Viona malu. Saat terpuruk, malah Anna yang membantunya. Ia juga tidak pernah menginginkan hidupnya hancur seperti ini. Ia tidak pernah menginginkan kebenaran ini.
"Kenapa papa Bima tega padaku? Apa salahku padanya?" gumam Viona. "Lalu, siapa sebenarnya ayah kandungku?" Ia meremas selimutnya, dadanya terasa sesak.
Tidak ada lagi yang bisa Viona percaya. Dan yang paling menyakitkan adalah Viona merasa sendirian di dunia ini.