Sang Dewi Nemesis Hukum Nolite, yang jutek harus berkelahi dengan berondong teknik yang Playboy itu. Iyuuuuh .. nggak banget!!!!!
Tapi bagaimana kalau takdir berkata lain, pertemuan dan kebersamaan keduanya yag seolah sengaja di atur oleh semesta.
"Mau lo sebenernya apa sih? Gue ini bukan pacar lo Cakra, kita udah nggak ada hubungan apa-apa!" Teriak Aluna tertahan karena mereka ada di perpustakaan.
Pria itu hanya tersenyum, menatap wajah cantik Aluna dengan lamat. Seolah mengabadikan tiap lekuk wajah, tapi helai rambut dan tarikan nafas Aluna yang terlihat sangat indah dan sayang untuk dilewatkan.
"Gue bukan pacar lo dan nggak akan pernah jadi pacar lo. Cakra!" Pekik Aluna sambil menghentakkan kakinya di lantai.
"Tapi kan waktu itu Kakak setuju mau jadi pacar aku," pria itu memasang ajah polos dengn mata berkedip imut.
"Kalau lo nggak nekat manjat tiang bendera dan nggak mau turun sebelum gue nuritin keinginan gila lo itu!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bantuan
Seorang laki-laki memakai jaket baseball abu-abu dan helm hitam fullface berdiri diluar mobil William, tangannya mengetuk pelan kaca mobil. Aluna mengerutkan kening, mata memicing merasa mengenal jaket yang pria asing itu kenakan.
"Jangan dibuka Will," cegah Willona saat Kakaknya hendak menekan tombol untuk menurunkan jendela kaca mobil.
"Cakra," gumam Aluna yang lirih tapi masih terdengar oleh William.
Jari William pun lanjut menekan tombol di dekat pegangan pintu. Seketika riuh pikuk suara deru mesin motor dan mobil terdengar jelas, klakson yang terus saling bersahutan dengan teriakan para pengemudi yang tidak sabar, semua simphony itu terdenger jelas saat kaca jendela mobil William diturunkan dengan sempurna
"Ada apa?" tanya William pada pria yang berdiri di samping mobilnya.
"........."
"Heh? lo ngomong apa gue ga denger, buka helm lo kocak!" tukas Wiliam dengan wajah sedikit kesal. Apa si cakalang-cakalang ini tidak sadar betapa ributnya suara jalanan, dan di bicara dengan kaca helm yang tertutup sempurna. Apa dia pikir William punya telinga setajam silet.
Cakra menaikan kaca helmnya, dengan senyum pasta gigi ia menggaruk lehernya yang tidak gatal. Pria muda itu sedikit memiringkan kepalanya agar bisa melihat sang kakak cantik yang duduk di kursi penumpang. Aluna buka tidak tahu Cakra sedang memperhatikannya, tapi gadis berambut coklat gelap itu memlih untuk pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Lho, ngapain lo di sini?" tanya willona yang sedikit terkejut saat melihat Cakra.
Namun, cakra hanya diam dengan tatapan yang terkunci pada sosok Aluna.
"Malah diem, mau jadi manusia silver lo?!" sentak William dengan tidak sabar.
"Heheheee ... nggaklah, masa orang seganteng gue jadi manusia silver," sahut Cakra dengan menyengir kuda.
"Terus lo mau apa? gue nggak ada uang receh," ketus William yang langsung dihadiahi pukulan Willona di lengannya.
"William," tegur Willona saat William menoleh ke arahnya sambil mengusap bekas pukulan adiknya yang lumayan keras.
William hanya menyengir, ia lalu kembali menoleh ke arah Cakra yang masih berdiri ditempatnya. Aluna juga tidak suka dengan ucapan William tapi dia lebih memilih acuh, siapa tahu dengan begini Cakra akan menjauhinya.
"Sorry gue cuma becanda."
Cakra hanya mengangguk dengan senyum tipis.
"Mobil lo mogok ya? Mau gue bantuin?" tanya Cakra yang seketika membuat lipatan-lipatan keheranan muncul di kening William.
Cakra tidak lebih tua darinya, bahkan lebih muda entah berapa tahun. Apa yang bisa dilakukan anak lulusan SMA kemarin sore seperti dia? Ah~ dan pasti mau cari perhatian sama Aluna. Baiklah, William pastikan bocil ini dapat perhatian sampai dia malu karena kegagalannya.
"Iya nih, nggak tau kenapa tiba-tiba ngambek nggak mau jalan," jawab William dengan senyum penuh arti.
"Biar gue liat." Cakra pun berjalan ke arah depan mobil.
William mendengus, menetap remeh pada sosok Cakra. Aluna mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel, mata lentik gadis itu menatap lekat sosok berjaket baseball abu-abu itu dari dalam mobil. Setelah menekan tombol untuk membuka kap depan mobil William pun turun dan menghampiri Cakra yang sibuk mengotak-atik mesin mobil William.
"Bisa nggak lo? atau lo cuma mau caper sama Aluna?" Wiliam melipat tangan melirik sinis pada Cakra yang sibuk membenarkan sesuatu yang William tidak tahu apa.
"Coba nyalain." Cakra menegakkan punggung yang tadinya merunduk.
Meski ragu William kembali masuk ke mobil dan mencoba menyalakan mesin.
Brum ....
Mobil William kembali menderu, laki-laki bermata sipit itu menghampiri Cakra dengan senyum canggung.
"Thanks," ucapnya singkat.
Cakra hanya tersenyum kecil, lalu menutup kap mobil berwarna merah itu.
"Jangan lupa service. Mobil lo udah lama nggak di sentuh mekanik?" tebak Cakra yang membuat William mengangguk.
Memang sudah cukup lama ia tidak membawa mobil kesayangannya ini ke bengkel untuk sevice rutin. Rutinitas William di kampus dan pekerjan yang sang Papa berikan membuat William cukup sibuk.
"Oke, sekali lagi makasih. Lo Maba yang ngaku pacarnya Aluna kan?" Nada pertanyaan wiliam terdengar tegas dan datar, seolah dia sedang mengintrogasi tersangka di persidangan.
Cakra mendengus kecil, pria muda itu sibuk membersihkan tangan dengan tisu basah yang selalu ia bawa. Ia sedikit mengerakan kepalanya, menoleh ke arah Wiliam. Tatapan dua pria beda usia itu bertemu, mereka saling melempar pandangan yang sama dingin dan tegas.
"Gue rasa, gue nggak perlu jawab pertanyaan lo," jawab Cakra dengan melipat tangannya di dada.
"Semua yang menyangkut Aluna itu urusan gue, dan lo ..."
Jari telunjuk william menegang tepat ke wajah Cakra. Pria yang masih memakai helm itu menampik pelan telunjuk William.
"Lo nggak bisa deketin Aluna tanpa izin gue!" lanjut William dengan tegas, bagi William keamanan dan kebahagiaan Aluna adalah tanggung jawabnya sama seperti tanggung jawab William pada Willona.
"Gue nggak butuh izin lo buat deketin cewek gue!" tegas Cakra dengan tatapan dingin.
Aluna terus memperhatikan si kuman bakteri yang seolh memberi Aluna bernafas di tempat bebas. Sebenarnya sejak tadi saat makan di MARUMAGE ponsel Aluna selalu bergetar, puluhan bahkan mungkin ratusan pesan masuk dari nomer asing dan tentu saja itu nomer Cakra. Entah darimana kuman bakteri menyebalkan itu tahu nomer ponsel Aluna, padahal Aluna sudah sengaja mengapus media sosial dan mengganti nomer telepon sejak ia lulus SMA dan pindah lagi ke kertakarta.
Waktu SMA Aluna bersekolah di Kotagede, karena saat itu Aluna tinggal bersama Opa dan Oma. Dia tinggal selala tiga tahun agar Oma dan Opanya tidak kesepian, setelah ia lulus barulah Aluna tinggal bersama Ibu dan Ayahnya lagi.
Jadi itulah kenapa Willona dan William atau bahkan ayah dan ibunya termasuk Luga tidak tahu tentang Cakra dan Aluna di masa putih abu-abu itu. Aluna pun tidak menduga Cakra akan kuliah di Nolite, yang tentu saja sangat jauh dari rumahnya di KotaGede.
"Cie, fokus banget liatin si brondong," sindir Willona
Aluna melirik sekilas ajah tengil Willona yang tengah mengejeknya. Gadis itu mendengus, memutar matanya malas lalu pura-pura sibuk dengan salah satu paperbag yang ada di sampingnya.
"Cakra tuh cukup terkenal di kalangan anak teknik, gue denger- denger dia juga bakalan masuk tim inti basket STROM, keren banget nggak sih. Udah ganteng, pinter, jago main basket pula," cerocos Willona sambil menikmati sisa corndognya, tatapan gadis sipit itu tak lepas dari sosok Cakra yang sedang ngobrol dengan Kakaknya di depan mobil.
Aluna tidak menaggapi celotehan Willona, karena apa yang sahabatnya itu katakan seratus persen benar, sayangnya Cakra agak gila itu saja.
"Lama banget sih," gerutu Aluna kesal.
Ia pun membuka jendela kaca mobil di samping dan mengeluakan kepalanya.
"Lama banget sih Willl, gue udah telat nih!" teriak Aluna dengan wajah kesal.
Medengar suara merdu gadis favoritnya Cakra pun bergegas melangkah ke arah sang gadis. Langkah Cakra berhenti tepat di depan Aluna. Senyum hangat dan manis selalu ia sunggingkan untuk Aluna, tak perduli seberapa judes dan juteknya raut wajah yang Aluna berikan untuknya.
Pria yang masih mengenakan helm itu sedikit menunduk agar bisa lebih dekat dengan wajah cantik kesayangannya.
"Maaf ya Kakak Cantik, udah selesai kok. Selamat melanjutkan perjalanan pulang, aku bakal kawal Kakak cantik dari belakang," ujar Cakra dengan manis.
"Apasih, nggak jelas." gumam Aluna ketus lalu menutup jendela mobilnya.
William pun naik ke mobil lalu seger melajukan kuda besinya. Cakra menutup kembali kaca helmnya lalu bergegas menaiki motornya. Seperti yang ia katakan pada Aluna, sepanjang perjalanan Cakra akan mengawal mobil William, meski ia harus menahan denyut nyeri dikepalanya.
ini juga kenapa pada Ngeliatin Aluna kaya coba.
apalagi dia yang setatusnya sebagai orang tua Cakra. kenapa gak di laporin aja kepolisi si.
Nyatanya mau Cakra tw Om Hail pun sama² keras kepala dalam mempertahankan rasa cinta mereka buat seseorang yg spesial di hati mereka,,,
Apa ini??bakalan ada Drama apalagi yg akan Luna liat???
padahal anak gak tau apa", masa ibunya kecelakaan dan meninggal kesalahan nya harus di tanggung sang anak sampai dewasa?? emang kecelakaan itu disengaja?? salut sama Cakra yg bisa kuat menjalani kehidupan yg keras tanpa kasih sayang orang tua..
padahal anak ny Cakra tapi lebih pro ke Miranda, pasti perkara uang lagi 😒😒