Menceritakan tentang dimana nilai dan martabat wanita tak jauh lebih berharga dari segenggam uang, dimana seorang gadis lugu yang baru berusia 17 tahun menikahi pria kaya berusia 28 tahun. Jika kau berfikir ini tentang cinta maka lebih baik buang fikiran itu jauh - jauh karena ini kisah yang mengambil banyak sisi realita dalam kehidupan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Malam itu, Aska baru saja selesai memeriksa tensi darah Yeon Ji di kamar gadis itu. Ia dengan tenang membereskan alat medisnya, lalu menyerahkan segelas air kepada Yeon Ji untuk meminum obat yang telah disiapkannya.
"Tensi darahmu bagus," ujar Aska dengan nada lembut sambil memasukkan stetoskop ke dalam tasnya. "Sekarang, kau beristirahatlah. Besok pagi aku akan kembali, dan kita bisa berjalan-jalan sambil berjemur."
Yeon Ji yang duduk bersandar di tepi ranjang tiba-tiba mengangkat wajahnya. "Tunggu, Tuan Dokter..."
Aska menghentikan gerakannya, menoleh ke arah Yeon Ji dengan senyum tipis di wajahnya. "Sudah kubilang berkali-kali, panggil saja aku Aska."
Yeon Ji mengangguk pelan, sedikit ragu. "Ya... Aska."
Suasana menjadi sunyi sejenak. Yeon Ji tampak canggung, bibirnya terkatup rapat seolah menimbang-nimbang sesuatu yang sulit untuk diungkapkan.
Melihat itu, Aska mendekat, menatap gadis itu dengan tenang. "Baiklah, sekarang katakan. Ada apa?"
Ekspresi Aska berubah serius. Ia duduk di kursi di samping ranjang, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapi. "Apakah Tuan Besar memiliki riwayat asma?"
"Asma?" Yeon Ji mengangkat wajah, tampak bingung. "Apa itu?"
"Asma adalah gangguan pernapasan," jelas Aska dengan sabar. "Maksudku, apakah dia pernah memiliki masalah dengan paru-parunya atau kesulitan bernapas sebelumnya?"
Yeon Ji menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Tapi yang kutahu, keadaannya selalu membaik setiap kali Tuan Wang datang dan memberinya beberapa jenis obat."
"Obat apa yang diberikan Tuan Wang?" tanya Aska.
"Aku tidak tahu," jawab Yeon Ji dengan nada menyesal. "Aku benar-benar khawatir, Aska. Kakek terlihat begitu kesakitan. Tapi setiap kali aku bertanya, dia hanya diam. Dia tidak pernah menjawab pertanyaanku."
Aska menghela napas panjang, berusaha tetap tenang meskipun pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab. "Maafkan aku, Yeon Ji. Tanpa pemeriksaan langsung atau mengetahui jenis obat yang diminum Kakekmu, aku tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti mengenai kondisinya."
Yeon Ji menatapnya dengan mata penuh harap, berharap ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk membantu.
Melihat kekhawatiran gadis itu, Aska melanjutkan, "Tapi kalau Kakekmu memang memiliki masalah pernapasan, kau bisa menyarankannya untuk melakukan beberapa aktivitas ringan seperti berenang, yoga, atau berjalan pagi di udara terbuka. Itu bisa membantu memperbaiki kapasitas paru-parunya."
"Selain itu..." Yeon Ji tampak berpikir sejenak. "Apakah ada sesuatu yang bisa kubuat untuk membantu? Seperti jus atau sayuran tertentu?"
Aska tersenyum kecil, berusaha menenangkan gadis itu. "Aku pasti akan menjelaskan semuanya padamu nanti. Tapi untuk sekarang, kau harus istirahat. Jangan terlalu memikirkan ini sendirian."
Yeon Ji mengangguk pelan, meskipun rasa khawatir masih terpancar jelas di wajahnya. "Baiklah... Terima kasih, Aska."
Aska bangkit dari kursinya, melangkah ke arah pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi, menatap Yeon Ji yang masih duduk termenung di tepi ranjang. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, sesuatu yang ia rasa tidak biasa. Tapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk menyimpan kekhawatirannya sendiri.
Pagi yang cerah menyapa kediaman keluarga Do Hyun. Di ruang makan yang megah, pria paruh baya itu duduk dengan tenang di meja makan, menyantap sarapan yang disajikan untuknya.
"Di mana Yeon Ji?" tanyanya, memecah keheningan pagi.
Gae Yeong, yang duduk di seberangnya, meletakkan gelas jus jeruknya sebelum menjawab, "Aska dan Yeon Ji sudah sarapan lebih dulu, Ayah. Sekarang mereka sedang berjemur di halaman belakang."
Do Hyun mengangguk tipis, ekspresi wajahnya tetap tenang seperti biasanya. "Itu bagus. Daripada terus-menerus berdiam di kamar, lebih baik Yeon Ji punya aktivitas yang sehat."
Tak lama kemudian, seorang pelayan masuk ke ruang makan sambil membawa nampan berisi hidangan. Dengan hati-hati, ia meletakkannya di meja dan membuka penutup sajian. Namun, seketika Do Hyun tertegun melihat isi hidangan tersebut.
"Apa ini?" tanyanya, suaranya rendah namun tajam.
Pelayan itu menundukkan kepala dengan gugup. "Maafkan saya, Tuan. Saya sudah melarang Nona untuk melakukannya, tetapi beliau memaksa memasak sendiri untuk sarapan Anda dan Nyonya."
Gae Yeong segera membuka penutup mangkuk yang lain, matanya membulat saat melihat isi di dalamnya. Sup kacang merah, bayam yang dicampur keju, dan daging sapi panggang tersaji rapi di atas meja.
"Ini... semua Yeon Ji yang menyiapkan?" tanya Gae Yeong, setengah tidak percaya.
Pelayan itu mengangguk. "Tidak sepenuhnya, Nyonya. Nona dibantu oleh Dokter Aska dan pelayan Sofi."
"Tapi kenapa tiba-tiba dia ingin memasak?"
Pelayan itu menjawab pelan, "Dari yang saya dengar, Nona ingin memasak sesuatu untuk kesehatan Tuan Besar, sesuai anjuran Dokter Aska."
Do Hyun memandangi hidangan di hadapannya tanpa ekspresi. Ia mengulurkan tangan, menyentuh sendok perak yang terletak di samping piringnya. Namun, detik berikutnya, ia mengangkat pandangannya dan berbicara tegas.
"Bawa semua ini kembali ke dapur," perintahnya.
Pelayan itu menatapnya ragu. "Tuan, Anda tidak ingin mencicipinya?"
"Apa kau tidak mendengar perintahku?" ujar Do Hyun, kali ini suaranya terdengar lebih dingin.
Pelayan itu menunduk. "Baik, Tuan. Saya akan segera membawanya kembali."
"Satu lagi," tambah Do Hyun sebelum pelayan itu pergi. "Jika Yeon Ji bertanya, katakan padanya aku sudah memakan semuanya."
"Baik, Tuan," jawab pelayan itu sebelum meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa.
Gae Yeong, yang sejak tadi memperhatikan dengan cemas, memberanikan diri berbicara. "Ayah, kenapa Ayah tidak mencoba mencicipinya? Yeon Ji sudah susah payah memasak untuk Anda."
Do Hyun melirik menantunya dengan tatapan datar. "Menantu, kau bukan orang baru di rumah ini. Kau pasti tahu aku tidak menyukai perubahan, sekecil apa pun itu."
"Aku hanya bermaksud..."
"Jangan berdebat saat sarapan, menantu," potong Do Hyun dingin. Ia mengambil sendoknya dan mulai menyuap sarapan yang biasa disiapkan untuknya. "Aku ingin menikmati sarapanku dengan tenang. Jadi, mohon diamlah."
Sinar matahari hangat menyinari taman belakang yang luas, dikelilingi bunga-bunga bermekaran. Yeon Ji dan Aska duduk di salah satu bangku, menikmati suasana setelah berjalan santai selama dua puluh menit.
"Tamannya sangat indah," ujar Aska sambil mengamati sekitar. "Saat berjalan tadi, aku merasa seperti sedang berada di taman kota."
Yeon Ji memiringkan kepala, menatap Aska dengan bingung. "Taman kota? Apa itu taman kota?"
Aska tersenyum kecil. "Kau tidak pernah mengunjungi taman kota?"
Yeon Ji menggeleng pelan.
"Tak masalah," jawab Aska dengan nada santai. "Aku akan menemanimu mengunjungi taman kota saat kondisimu sudah lebih baik nanti."
Yeon Ji terdiam sejenak, matanya menatap langit yang biru cerah. "Aska."
"Ya, Yeon Ji?" Aska menoleh, menatap gadis itu.
"Apa boleh aku bertanya sesuatu?"
Aska mengangguk dengan ramah. "Tentu, tanyakan saja."
Yeon Ji menundukkan kepala, suaranya sedikit ragu. "Apa kau tidak merindukan keluargamu?"
"Keluarga?" Aska mengangkat alis, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu.
"Kau di sini untuk merawatku dalam waktu yang lama. Bagaimana dengan ibumu, ayahmu, atau… istrimu?"
Aska tertawa kecil mendengar kata-kata terakhir Yeon Ji. "Ibu dan ayahku sudah lama tiada," katanya sambil tersenyum tipis. "Aku hanya tinggal bersama adik perempuanku, tapi sekarang dia sedang berada di luar negeri untuk suatu urusan."
"Dan istrimu?" tanya Yeon Ji lagi, matanya memancarkan rasa ingin tahu.
"Aku belum memiliki istri," jawab Aska santai.
Yeon Ji tampak terkejut. "Kenapa? Bukankah kau lebih tua dariku? Apa ayah dan ibumu dulu belum sempat memilihkan seseorang untukmu?"
Aska tersenyum, senyum yang hangat namun juga menyimpan sedikit kesedihan. "Mungkin saja begitu. Tapi aku tidak pernah sempat memikirkan hal-hal seperti itu. Waktuku habis untuk bekerja dan belajar agar bisa menjadi dokter terbaik."
Yeon Ji mengangguk pelan, memahami jawaban Aska. "Tapi… apa kau tidak pernah memikirkannya? Walaupun hanya sekali?"
"Tidak," jawab Aska jujur. "Aku tidak pernah memikirkannya karena aku tidak ingin menghabiskan waktuku bersama orang yang salah. Bagiku, itu hanya membuang waktu."
Yeon Ji tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Kau benar, Aska. Lebih baik tidak bersama siapa pun daripada menghabiskan waktu dengan orang yang salah. Ayahku juga sering berkata begitu." Ia terdiam sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada lembut. "Tapi… aku masih tidak memahami kenapa Tuhan tidak mendatangkan seseorang yang baik untuk dirimu."
Aska tersenyum lembut, dia menatap yeon ji sambil berkata . "Entahlah, Yeon Ji. Mungkin Tuhan ingin kita bertemu lebih dulu… untuk menyampaikan sesuatu yang belum kita pahami."
kakek yg egois dan berhati iblis...bagaimana jika cucux benci yeon ji berubah menjadi bucin...