--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 34
Selain mengunjungi Grim Hills yang sedang dalam pembangunan secara berkala, sesuai jadwal yang diaturkan Luhde di hari libur, Xavier juga sibuk dengan banyak hal lain. Bisnisnya di dunia konstruksi dan klien, pelatihan prajurit yang hanya satu kali dalam seminggu, hingga lainnya seperti ... ikut berbaur dengan dunia malam Ashiana sebagai Aegle, seperti yang saat ini dia lakukan.
Ternyata selain Irene Joanna yang biasa menggantikan Ashiana berbaring di atas ranjang saat putri itu keluar malam, tidak satu pun dari teman-temannya yang lain mengenali siapa Ashiana sebenarnya.
Satu alasan yang menyebabkan Ashiana memutuskan bertopeng. Dia tidak ingin kabarnya melebar dan membuat kekacauan yang mengungkap jati diri seorang putri yang gila tiba-tiba muncul sebagai sosok berbeda.
Dan semua malah terbawa arusnya, ikut memakai topeng.
Meski begitu dan sudah dekat dengan mereka, belum banyak yang bisa dipercaya. Bisa saja mereka akan berubah setelah mengetahui siapa Aegle.
Dengan tidak mengungkapkan siapa dirinya, mereka hanya memandang Aegle. Identitas sebagai putri tetap tersimpan rapat di balik topeng yang beruntung teman-temannya mau menghargai tanpa memaksa, meski sesungguhnya mereka lebih dari sekadar penasaran akan parasnya.
Xavier diperkenalkan sebagai teman oleh Aegle, tak lupa pria juga ikut memakai penutup wajah agar sama tersamar keasliannya. Dia tidak gaya-gayaan. Jika pun mereka tidak bertopeng, Xavier akan tetap melakukannya.
Tidak perlu banyak alasan, Ashiana sudah menjelaskan dengan caranya, dan semua rekan hanya mengangguk paham. Xavier resmi jadi bagian.
Keikutsertaaan pertama kali membuat Xavier terkejut setengah mati.
Sekumpulan kaum di tepian kota. Keberadaan mereka jelas, tapi seolah tidak terlihat.
“Di ibukota yang kaya ini ... bagaimana bisa masih ada para penduduk yang seperti ini?! Bukankah sudah dibuka banyak lapangan pekerjaan dari berbagai sektor?!”
Sejurus pemandangan yang didapati Xavier membuat miris.
Tubuh mereka kurus dan berbau. Tempat tinggal yang tidak layak dan kedinginan. Aroma lezat dari makanan yang diberikan Ashiana membuat mata mereka berbinar terang. Geluguk liur di dalam mulut tak sabar ingin bersambut.
Ashiana tersenyum kecut menanggapi keterkejutan suaminya. “Tidak ada pemimpin yang benar-benar adil,” katanya seraya mengusap kepala seorang anak kecil kumal di dekapannya.
Xavier membenarkan kalimat itu melalui mata, ikut menatap bocah di pelukan istrinya.
Wajah Bjorn seketika menguasai isi kepala.
Kepemimpinan kaisar itu hanya meninggikan derajat yang sudah tinggi, lalu mengempaskan yang paling bawah sampai ke dasar. Dia bahkan mengeksploitasi kaum yang lemah agar tunduk namun dipaksa menguntungkannya.
Xavier baru tahu itu setelah menjadi suami Ashiana karena menilai sikap keluarga Philaret yang berprestasi dalam kemunafikan.
Sisa hati Xavier yang kepalang tercubit, juga jutaan hujat serapah untuk Yang Mulia Bjorn Philaret.
Teman-teman Ashiana yang lain sedang membagikan bungkus makanan pada satu per satu orang yang berjejer, dan sekarang Ashiana pun ikut membantu mereka.
Semua terkumpul di sebuah area lapang, di belakang pemukiman kumuh, tempat biasa dengan waktu sudah terjadwal, sengaja agar Ashiana dan team tidak perlu mengetuk pintu ke pintu.
“Aku bahkan sering menunda makan, membuat makanan itu menjadi dingin lalu mencampakkan pada akhirnya. Makanan itu akan terbuang. Dan jika makanan itu sungguh kumakan habis ... sekarang aku sadar, aku merasa menggerogoti daging mereka.” Seorang rekan Aegle, wanita berperawakan kurus, bicara sambil mengeluarkan makanan dari dalam kotak besar lalu memberikannya pada rekan lain yang nampak sibuk, di samping Xavier.
Xavier menolehnya sekilas lalu kembali menatap ke depan, dia mengerti itu---karena hal demikian terjadi juga pada dirinya, dan wanita kurus itu sedang mengajaknya bicara.
“Aku sangat bersyukur saat Aegle menemukanku mabuk-mabukan di tepi jalan malam itu. Dia menampar dan menyadarkanku dengan kalimat-kalimat yang tidak bisa kucerna dalam sekejap saking indahnya, saat aku tersadar.” Wanita kurus itu bicara lagi. Kali ini berdiri tegak di samping Xavier karena makanan sudah habis dibagi.
Meski tidak ada angin tidak ada hujan bicara dengan sosok yang tak dikenal, Xavier mendengarkannya, terlebih sekarang wanita itu menggaet nama bekén istrinya, cukup membuat penasaran.
“Meski cukup lama, tapi pada akhir aku sadar dan memahaminya. Aegle bilang, 'hidup memang untuk mati, tapi mati bukan hanya mati dan tertidur panjang. Justru dari mati, akan menempuhkan kita pada kehidupan selanjutnya yang dia bilang sebagai 'hukuman', hukuman dari apa yang kita jalani selama hidup. Dan terakhir dia mengatakan ...."
Wanita ini menoleh Xavier dengan senyumnya yang tersamar di balik topeng. “...Tidak ada surga yang didapatkan secara gratis. Setidaknya berbuat baiklah agar surga itu mempertimbangkanmu.”
Xavier jadi tertegun. Bukan tentang pertimbangan surga, melainkan tentang Ashiana sendiri.
“Jadi untuk ini juga dia bertahan hidup di istana yang bahkan bisa membunuhnya dalam hitungan detik.”
Pandangannya langsung terlempar ke arah istrinya itu, memerhatikan secara mendalam.
“Ashiana ... kau lebih kuat dari aku bayangkan. Kau lebih hebat dari aku yang hanya memikirkan dendam pada ayahku.”
Perasaan malu menyentil dirinya, rendah di waktu sama. Hebat yang sebenarnya bukan tentang memenangkan perang, tapi seberapa mampu orang bisa mengendalikan diri dari perasaan tolol seperti dendam yang menyesatkan.
Ashiana memang dendam, tapi dia melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Xavier lalu beralih menatap orang-orang kumuh yang kini makan dengan gembira.
“Kau lihat senyum di wajah mereka?” Wanita kurus tadi bertanya, merebut perhatian Xavier.
“Hmm,” jawab Xavier.
Wanita itu tersenyum, Xavier bisa melihat pancaran matanya.
“Mereka, dan kami sebagai relawan kemanusiaan ... kita semua adalah orang-orang yang hampir memilih mati dibanding melanjutkan hidup dengan perasaan sengsara berbagai warna. Seperti aku yang dipaksa menikahi seorang bangsawan tua lalu melarikan diri, Eric yang dipaksa menjadi dokter padahal impiannya menjadi seorang prajurit lalu dia diusir, atau Hera yang kehilangan diri karena kejahatan rudapaksa di tempat kerja. Kami semua sangat ingin mati. Termasuk para penduduk itu yang hanya menginginkan hidup layak, tapi mereka tak mampu mendapatkan walau sekedar bayangannya saja.”
Xavier mendalami setiap untaian kalimat itu. Perasaannya jadi campur aduk sekarang.
“Tapi kedatangan Aegle membuat kami melupakan semua. Dia memberi minuman segar untuk dahaga kami. Dia melapangkan napas sesak kami," sambung wanita itu. “Sayangnya dia tidak pernah menceritakan apa pun tentang dirinya, entah memiliki kesulitan atau tidak. Dia hanya mementingkan kebahagiaan kami. Padahal kami sangat penasaran dan ingin melakukan yang terbaik untuknya juga.”
Sembari mendengarkan, mata Xavier tak lepas memandangi Ashiana. Tenggelam dalam pikiran yang menempuhkannya pada berbagai penyiksaan dan penderitaan karena kehilangan yang dialami istrinya itu di istana. Ulu hatinya terpukul.
“Derita yang menimpaku tidak seberapa. Aku masih memiliki kakek yang hebat. Dan seorang ayah ... yang meskipun bobrok, tapi bisa diluluhkan dengan tumpukan uang.”
Ya, setidaknya ... Balthazar hanya tolol saja sebagai suami dan sosok ayah.
“Dia menghidupkan tidak hanya dirinya sendiri ... dia menerangi kegelapan orang lain yang bahkan ingin mati karena hidup yang tidak begitu rumit. Ashiana, kenapa kau tidak egois saja? Kenapa tidak mementingkan kebahagiaanmu sendiri? Kenapa tidak melarikan diri padahal kau mampu melakukannya?!”
Namun dalam sesaat ....
“Ah, seharusnya aku tidak bertanya begitu! Jawabannya sudah begitu jelas. Ini adalah kebahagiaannya, kebahagiaan istriku. Karena dia ... adalah Ashiana!”
....
“Ke depannya, kami akan bangkit dan maju bersama. Membangun kekuatan untuk mengacau mereka yang sepantasnya dikacau. Berdiri di puncak ... berpegangan tangan ... saling membagi senyum ... berpelukan ... bercinta yang banyak ... punya sepuluh anak.”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞