Sekretaris Meresahkan
Sekretaris Meresahkan
Deskripsi
POV Devan
Mimpi apa aku semalam, mendapatkan sekretaris yang kelakuannya di luar prediksi BMKG.
"MAS DEVAAAAAAANNN!!!" Teriakan kencang Freya berhasil menarik perhatian semua orang yang ada di sekitarnya.
"Teganya Mas meninggalkanku begitu saja setelah apa yang Mas perbuat. Mas pikir hanya dengan uang ini, bisa membayar kesalahanmu?"
Freya menunjukkan lembaran uang di tangannya. Devan memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening. Dengan langkah lebar, Devan menghampiri Freya.
"Apa yang kamu lakukan?" geram Devan dengan suara tertahan.
"Kabulkan keinginan ku, maka aku akan menghentikan ini," jawab Freya dengan senyum smirk-nya.
"Jangan macam-macam denganku, atau...."
"AKU HAMIL ANAKMU, MAS!!! DIA DARAH DAGINGMU!!"
"Oh My God! Dasar cewek gila! Ikut aku sekarang!"
Dengan kasar Devan menarik tangan Freya, memaksa gadis itu mengikuti langkah panjangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Devan vs Freya #3
"Di rooftop?"
"Iya. Saya sudah siapkan tenda di sana. Dari pada kamu numpang sama Winie terus, lebih baik kamu tinggal di rooftop. Lebih bagus juga, jadi kamu ngga akan telat sampai di kantor. Kalau pulang kerja ngga akan kena macet, tinggal naik pake lift. Praktis kan?"
"Hah?"
"Kenapa?" tanya Devan dengan santainya.
"Ngga mau, Pak. Saya ngga mau tinggal di rooftop. Mendingan saya balik lagi ke tempat Mbak Winie. Kalau saya tinggal di rooftop, berati sendirian di kantor ini. Kalau saya dikeroyok Mbak Kunti sama teman-temannya gimana? Ngga mau Pak, please."
Dengan wajah memelasnya Freya memohon pada Devan. Namun pria itu terlihat tidak peduli. Dia memijit tombol di dekat pintu lift dan tak lama pintu langsung terbuka. Devan langsung masuk ke dalamnya, sementara Freya masih bertahan di tempatnya.
"Masuk!" titah Devan.
"Ngga mau!" kepala Freya menggeleng.
"Masuk!"
Devan menarik tangan Freya, namun gadis itu tetap bertahan. Dia mengangkat kakinya lalu disandarkan ke tembok, sebelah tangannya digunakan untuk menahan tubuhnya agar tidak terseret masuk ke dalam lift. Namun dikarenakan tenaganya yang kalah kuat dari Devan, dengan sedikit hentakan Devan berhasil menarik Freya hingga tubuh gadis itu masuk juga ke dalam lift. Pria itu menahan pintu agar tidak menutup. Dia kemudian mengambil traveling bag dan ransel Freya lalu memasukkan asal ke dalam kotak besi tersebut. Setelah pintu menutup, Devan memijit tombol B1.
Freya yang tengah panik hanya duduk di pojokan sambil memeluk ranselnya. Gadis itu sama sekali tidak menyadari kalau lift bergerak turun bukan naik. Devan melirik ke belakang sambil tersenyum tipis. Puas rasanya bisa mengerjai sekretaris tengilnya itu. Ketika lift sudah sampai di B1, Devan mengajak gadis itu keluar.
"Ayo keluar!"
"Ngga mau!"
"Kamu mau tidur di lift? Cepat keluar! Atau saya panggil security buat gendong kamu."
Mendengar ucapan Devan, mau tidak mau Freya keluar dari dalam lift dengan membawa barang bawaannya. Sesampainya di luar, gadis itu baru menyadari kalau sekarang sedang berada di basement, bukan di rooftop.
"Ayo cepat!"
Ucapan Devan menyadarkan Freya dari lamunannya. Sambil membawa dua traveling bag di tangannya dan ransel di punggungnya gadis mengikuti Devan setengah berlari. Pria itu membuka pintu belakang mobilnya, meminta Freya memasukkan barang bawaannya. Ketika Freya hendak masuk setelah menaruh barang, Devan melarangnya.
"Kamu mau ngapain?"
"Duduk, Pak."
"Duduk di depan! Emangnya saya supir kamu!"
"Hehehe.."
Freya menutup pintu belakang kemudian membuka pintu depan. Devan langsung menjalankan kendaraannya sebelum Freya memakai sabuk pengamannya dengan benar. Perjalanan pulang memakan waktu yang cukup lama. Kantor Kharisma Group berada di Jakarta Pusat, sementara rumah Devan berada di Jakarta Selatan.
"Kita mau kemana, Pak?"
"Pulang. Saya sudah siapkan tempat tinggal untuk kamu."
"Terima kasih, Pak."
Dalam hati Freya bersyukur, ternyata Devan tidak seburuk pikirannya. Dipikirnya benar pria itu memintanya tinggal di rooftop menggunakan tenda. Namun pria itu malah menyewakan tempat lain untuknya. Setelah menempuh perjalanan selama tujuh puluh lima menit, mobil yang dikendarai Devan berbelok memasuki pelataran parkir gedung apartemen Mega Tower. Usai memarkirkan mobilnya, Devan mengajak Freya keluar.
Pria itu berjalan santai menuju lobi dengan kedua tangan berada di saku celana. Sementara Freya mengekor di belakangnya dengan membawa barang-barangnya. Seorang petugas keamanan menyambut kedatangan pria itu.
"Selamat malam, Pak."
"Saya penyewa baru di gedung ini. Apa kunci unit 311 ada di Bapak?"
"Oh iya, Pak. Sebentar."
Petugas security bernama Wawan itu menuju meja tempatnya bertugas. Dia mengambil sebuah keycard dari dalam lacinya lalu memberikannya pada Devan. Mata pria itu kemudian tertuju pada Freya yang baru saja masuk dengan membawa cukup banyak barang.
"Dia yang akan tinggal di sini," Devan menunjuk pada Freya.
"Oh iya, Pak. Sini Mbak, biar saya bawakan."
Tak tega melihat Freya yang berubah mungil membawa barang yang terlihat berat, Wawan pun berinisiatif membantu. Pria itu mengambil dua traveling bag di tangan Freya.
"Tolong antarkan dia ke unit apartemennya. Dan kamu cepat kembali ke sini setelah menaruh barang."
"Siap, Pak."
Freya menerima keycard dari Devan lalu mengikuti langkah Wawan yang sudah berjalan lebih dulu. Wawan meminta Freya menempelkan keycard di layar panel yang ada di dekat pintu sebelum memijit tombol tiga. Kotak besi tersebut segera bergerak naik.
"Kalau yang tadi siapa Mbak?"
"Atasan saya, Pak. Orangnya embang nyebelin. Tapi untung saya dikasih tempat tinggal, soalnya saya ini perantau."
"Memang asalnya dari mana Mbak?"
"Bandung."
"Oh sama seperti saya berarti. Bandungnya di mana? Kalau saya di Soreang. Oh iya kita belum kenalan, saya Wawan."
Pria itu mengulurkan tangannya pada Freya dan langsung dibalas oleh gadis itu seraya menyebutkan namanya. Lift yang mereka tumpangi sudah sampai di lantai tiga. Wawan keluar lebih dulu untuk memandu Freya. Pria itu berhenti di depan pintu kamar 311. Dia meminta gadis itu menempelkan kembali keycard ke panel yang ada di pintu. Setelah kunci terbuka, Wawan membuka pintu dan mempersilakan Freya masuk ke dalamnya.
Apartemen yang disewakan Devan untuknya memang tidak terlalu besar. Hanya apartemen studio, tapi cukup untuknya yang tinggal sendiri. Hanya ada satu kamar, kamar mandi dan ruang santai yang menyatu dengan dapur di unit ini. Dapur sudah dilengkapi kitchen set dan kulkas. Serta balkon untuk tempat Freya duduk santai atau menjemur pakaian.
Selesai menaruh barang bawaannya, Freya mengajak Wawan kembali ke bawah. Sesuai amanat Devan, dia harus segera kembali ke bawah setelah menaruh barang-barang. Tak butuh waktu lama, lift yang mereka tumpangi sudah sampai lagi di lantai dasar.
"Terima kasih ya, Pak Wawan. Oh ya, saya Bandungnya di Ciganitri."
"Iya, Neng. Semoga betah ya. Kalau butuh apa-apa, bilang aja ke saya. Kita ini bersaudara, sesama orang Bandung, " Wawan melemparkan senyumnya.
"Aamiin.. Makasih, Pak."
Freya berlari kecil mendekati Devan yang masih menunggunya. Pria itu bangun dari duduknya ketika melihat Freya mendekat. Dengan isyarat tangannya dia meminta Freya mengikutinya. Ternyata pria itu kembali ke mobilnya.
"Masuk!"
"Iya, Pak."
"Di hape kamu ada aplikasi stopwatch kan?"
"Ada, Pak."
"Buka dan tekan, kita hitung berapa waktu yang dibutuhkan buat sampai ke tujuan."
"Emang kita mau kemana, Pak?*
"Ngga usah banyak tanya."
Freya langsung membungkam mulutnya. Begitu mobil bergerak, dia segera menekan tombol start pada aplikasi stopwatch. Begitu mobil keluar dari parkiran gedung apartemen, kembali terdengar suara Devan.
"Hafalkan jalannya jangan sampai kamu nyasar nantinya."
"Iya, Pak."
Mobil Devan bergerak lambat, hanya empat puluh kilometer per jam saja. Kendaraan roda empat tersebut berbelok memasuki perumahan Royal Residence. Deretan rumah besar dengan gaya arsitektur Eropa langsung terpampang di depan Freya. Pasti pemilik rumah di sini adalah keluarga konglomerat semua. Mobil Devan kemudian berhenti di depan rumah besar bercat putih. Seorang security bergegas membukakan pintu pagar. Roda mobil kembali bergulir memasuki pekarangan rumah.
"Berapa waktunya?"
"Sepuluh menit, dua puluh detik."
"Kamu sudah ingat jalannya?"
"Sudah, Pak."
"Bagus, ayo turun."
Bagaimana kerbau dicucuk hidungnya, Freya mengikuti saja apa kata Devan. Matanya langsung tertuju pada bangunan megah di depannya.
"Ini rumah orang tua saya. Sementara saya tinggal di sini. Dan mulai besok, setiap pagi sebelum berangkat kerja, kamu harus ke rumah untuk menjemput saya. Jam tujuh pas kamu sudah harus ada di sini. Dan kalau saya membutuhkan kamu di luar jam kerja, kamu harus datang ke sini dalam waktu sepuluh menit, tidak boleh lebih!"
"Tapi Pak, sepuluh menit kan kalau pake mobil. Kalau jalan, waktunya lebih lama."
"Kamu bisa naik motor?"
"Bisa, Pak. Kalau cuma naik motor, semua orang juga bisa, Pak."
"Maksud saya bawa motor."
"Bisa, Pak. Kalau bawa motor kan banyak caranya. Bisa didorong, diderek atau diangkut pake mobil bak."
"Nyetir motor!"
"Oh bilang dong Pak kalau maksudnya nyetir motor, biar jelas. Alhamdulillah saya bisa nyetir motor, tapi belum punya SIM."
Devan menarik nafas dalam-dalam. Berbicara dengan Freya memang membutuhkan energi lebih. Sepertinya gadis itu sengaja menguji kesabarannya. Bisa-bisa dia terkena tekanan darah tinggi setelah Freya menjadi sekretarisnya.
"Nanti kamu bawa motor itu, anggap aja itu buat inventaris kamu. Kamu boleh pakai di sekitaran sini aja, ngga boleh jauh-jauh."
Mata Freya mengikuti jari telunjuk Devan. Yang dilihatnya adalah motor sport berwarna merah. Refleks gadis itu menolehkan kepalanya pada Devan.
"Kalau motor itu, saya ngga bisa Pak. Bapak tahu sendiri, saya kan pendek, mana sampai kaki saya kalau bawa motor itu. Lagian saya ngga bisa pake motor kopling."
***
Didorong Frey🤣
susulin mas Devan...