"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
"Beib, langsung bales kalo gue wa,"
"Jangan keluar tanpa pamit. Apa lagi kalo ada cowoknya. Gue nggak kasih,"
"Kelar ngampus, langsung pulang ke apart!"
"Ngerti nggak, Beib?"
Eva memutar bola matanya malas. Jengah sekali mendengar peringatan-peringatan dari Janu yang sudah berkali-kali cowok itu sampaikan.
Pergi ke Bandung kayak mau pergi ke tujuh Negara berisiknya.
Melarang Eva ini lah, itu lah. Eva harus begini, begitu.
"Beib, denger nggak?"
"iya, Jan. Iyaaa. Gue udah denger, dan gue ngerti,"
"Good," Janu melepas tangannya yang menggenggam tangan Eva untuk beralih mengelus rambut pacarnya.
Ini mereka sedang ada di dalam mobil. Janu mengantarkan pacarnya ke kampus, dan setelahnya dia akan berangkat ke Bandung dengan teman-temannya yang lain.
Mobil Janu sudah sampai di parkiran kampus. Tak langsung keluar, dia tahan tangan pacarnya.
"Apa lagi, Jan?" tanya Eva.
"Bentar dulu. Kita bakalan nggak ketemu loh. Sini peluk." Janu melepas sabuk pengaman, membawa tubuh Eva dengan ringan ke pangkuannya.
"Jan!"
"Kacanya gelap, Sayang,"
Tak mau menunggu lagi, Janu mencium bibir Eva. Bekal untuk rindu yang akan dia rasakan nanti karena tidak bertemu pacarnya selama sehari.
Memang agak sinting si Janu. Terlalu lebay juga. Tapi bodo amat lah, Janu memang sudah kecintaan dengan gadis ini.
Eva pun yang awalnya ragu-ragu karena ini sudah masuk area kampus, kini turut menikmati karena terbuai dengan sentuhan pacarnya.
Dua anak manusia itu membalas pagutan satu sama lain, membuat suhu di dalam mobil mulai memanas meski AC masih menyala.
Begitu terbuainya sampai Eva tidak sadar mendongakkan kepalanya karena kecupan basah dari Janu di mengakses bagian lehernya.
"Jan!" pekik Eva tertahan, Janu membuat satu tanda di bawah telinganya.
"Stempel kepemilikan," ucap Janu enteng setelah berhasil membuat tanda di leher pacarnya.
"Sinting lo. Gue presentasi bentar lagi, Jan. Malu tau!" sungut Eva.
"Di urai aja rambutnya," Janu lepaskan ikatan rambut Eva, membuat rambut yang mulai memanjang milik pacarnya itu terurai.
Cup.
Janu kecup sekali lagi bibir manyun itu. "Udah, nggak usah manyun," katanya. "Nggak usah di iket lagi rambutnya. Gue juga nggak suka leher lo di lihat mata-mata kurang ajar," lanjutnya.
Tangannya terulur mengambil benda pipi yang harganya tidak murah. Biarkan si pacar yang masih manyun selagi dia otak atik ponsel yang sudah di genggaman.
Ting
Yang otak atik hp Janu, tapi yang berdenting hpnya Eva.
"lo kirim duit?" tanya Eva setelah membaca notif di ponselnya.
"Buat jajan," jawab Janu. "Nanti kalo males masak, gofood aja. Nggak usah keluar," titahnya.
Dia akan meninggalkan pacarnya sehari, sudah di pastikan tidak bisa menemani pacarnya makan seperti biasanya. Jadi Janu berikan uang untuk pacarnya beli makan atau yang lain.
"Kebanyakan ini!" protes Eva.
Uang yang dikirim Janu tidak hanya bisa di buat beli makan sehari, tapi bisa buat makan Eva sebulan. Terlalu berlebihan menurutnya.
"Bisa sekalian jajanin si bogel kalo jadi ikut nginep," balas Janu yang kini sudah kembali memeluk pacarnya.
Bogel yang dimaksud itu si Ajeng, bestie pacarnya yang lebih mirip di bilang anak asuh.
"Oke!" seru Eva.
Janu tersenyum senang. Pacarnya ini sudah ada kemajuan, sudah mau berbagi cerita tentang keluarga, sudah mau menerima bantuannya dalam bentuk hal apa pun. Janu merasa di butuhkan, dan memang itu yang ida inginkan.
Ingin selalu di andalkan oleh gadis yang dia cintai ini.
"Hati-hati ya. Nggak usah kebut-kebutan. Jangan minum terlalu banyak!" Eva memberi petuah ke si pacar yang mau party di Bandung. "Dan satu lagi. Jangan ada bau-bau cewek di badan lo. Gue gampar kalo lo macem-macem!"
Bukannya takut ancaman si pacar, Janu malah tertawa. Dia senang jika pacarnya posesif begini.
"Siap, Sayang!"
Janu kecupi lagi pipi pacarnya. Entah mau sampai kapan mereka begini terus, keduanya masih tidak rela untuk berpisah barang sehari saja.
Emang dasarnya sudah sama-sama gila jadi bucin mereka berdua tuh.
***
Ajeng dengan senang hati di ajak menginap oleh Eva. Dia sudah rindu tidur berdua dengan bestinya itu. Ngobrol ngalor ngidul sebelum tidur, dan berakhir begadang karena maraton drama.
"Gila, gue baru tau kalo cowok macam Janu doyan nyemil juga. Banyak loh ini stok camilannya," seru Ajeng yang membuka kulkas dan melihat isinya.
"Lo salah. Janu kagak begitu doyan ngemil," sahut Eva.
"Lah terus ini?"
"Sengaja beli buat gue lah!" jawab Eva dengan bangga membuat Ajeng mencebik iri.
Janu memang rada gila menurutnya. Suka berlebihan dan menuntut Eva macam-macam. Tapi mengakui juga jika Janu itu merawat temannya dengan baik.
Bukan cuma ke Eva saja sih sebenarnya, Ajeng sendiri sering kecipratan kebaikan Janu. Setiap dia pergi ke mall dengan Eva, Janu yang selalu ikut karena mengekori temannya itu bisa jadi donatur juga.
"Terima aja, duitnya dia banyak. Kapan lagi kita porotin bocah bau duit!" begitu kata Eva waktu Ajeng menolak saat Janu membayar belanjaannya.
"Lo cinta banget kayaknya ya sama Mas Berto? Tanya Ajeng yang sudah duduk di samping Eva dengan memangku ciki. "Gue liat-liat, lo juga udah enteng-enteng aja tuh nerima ini itu dari Janu," lanjutnya.
Eva mengangguk. Apa yang dikatakan Ajeng memang benar semua. Dia mencintai Janu dan tak sungkan lagi menerima bantuan dari pacarnya itu.
"Mau realistis aja sih, Jeng. Ya kali gue sering di sosor tapi duitnya gue tolak. Rugi dong!" jawab Eva yang langsung mendapat toyoran dari Ajeng.
"Mau dong, dikenalin cowok yang kek Janu. Tapi yang sama duitnya aja, gilanya jangan," kata Ajeng.
"Nggak ada! Lo kagak boleh main asal main sosor-sosoran ya. Awas lo kalo kagak bisa jaga diri," seru Eva.
"DIh, apa kabar sama Ibuknya?" sarkas Ajeng.
Dilarang begitu tapi yang melarang doyan begitu. Tidak adil menurutnya.
"Beda! dan pokoknya kagak boleh. Lo kudu dapet cowok baek-baek, jangan pacaran karena nafsu belaka. Iya kalo si doi setia, kalo kayak yang kemarin? Lo yang rugi, Bogel!"
Ajeng mencebik. Mulutnya tak mau bersuara lagi karena di ingatkan dnegan mantan buaya yang kemarin.
Eva sendiri bukannya egois mau larang AJeng ini itu. Tapi temannya itu terllau polos, dan gampang dibodohi oleh buaya jelmaan biawak. Jika disakiti bisanya nangis. Eva tidak mau Ajeng dapat pacar yang membuat temannya itu terjerumus ke pergaulan bebas.
Ya meski Eva sendiri sering hampir khilaf sih sama Janu.
Dua gadis itu sekarang pindah tempat ke kamar yang biasa di tempati Eva jika menginap. Rencananya mau maraton drakor yang lagi viral itu, yang ada adegan icik-icik diluar angkasa.
Tapi rencana tinggal rencana karena Ajengnya sudah ngorok duluan. Alhasil si Eva yang mantengin laptop sendirian nonton itu drakor.
Matanya Eva tak mau diam. Terus melirik ke arah ponsel yang layarnya masih saja menghitam. Menunggu kabar dari pacarnya.
Terakhir bertukar pesan dua jam yang lalu saat si pacar sudah ada dalam tempat yang bising itu.
Namun senyumnya tiba-tiba merekah saat mendapati layarnya menyala dengan nama Janui dalam sana.
Eva geser tombol warna hijau, seketika layarnya di penuhi oleh wajah Janu.
"Hi, my baby girl," sapa Janu pertama kali melihat wajah Eva.
"Udah di hotel?" tanya Eva. beringsut mundur agar bisa bersandar di headboard ranjang.
Eva melihat pacarnya yang mengangguk dengan mata sayu. Mungkin itu efek dari alkohol.
"Tumben? Ini masih sore untuk ukuran party di club," lanjutnya. Masih jam 11 malam, biasanya si Janu kalau lagi dugem bisa sampai jam 1 seingat Eva.
"Kangen," jawab Janu membuat Eva tersenyum. Suka sekali jika pacarnya mode jinak begini, hati jadi tenang dan damai.
"Beiibb," panggil Janu karena Eva diam saja.
"Apa?"
"Gue kangen. Bisa kesini nggak? Mau peluk,"
Bibir mencebik meski hati tengah berbunga-bunga mendengar kata rindu dari pacarnya.
"Iyaa. Entar gue kesitu minjem ilmunya mak lampir," jawabnya yang membuat Janu tertawa. "Mabok banget?"
Janu menggeleng. "enggak kok. Gue masih sober ini,"
Eva mengangguk percaya. Meski cara bicara Janu sudah berbeda, tapi pacarnya itu tidak sampai teler. Bersyukur si Eva karena Janu menepati janjinya yang tak akan mabok sampai tak sadar.
"Ngantuk?" tanyanya yang di angguki oleh Janu.
"Iya,"
"Mau di matiin aja?"
Eva tersenyum, gemas melihat pacarnya yang menggeleng dengan wajah imut seperti bayi dugong.
"Enggak mauu. Elo nya nggak ada disini, nggak bisa gue peluk. Jangan di matiin panggilan pidionya. Biarin aja gini sampe gue bangun,"
"Oke!" Eva mengangguk, mengiyakan permintaan pacarnya.
"Lo harus tidur juga tapi, Beib."
"Iyaa,"
Melihat si pacar yang sudah merebahkan badan di atas kasur, Eva turut mengikuti. Tidur dengan posisi miring membelakangi Ajeng dengan ponsel yang masih dia genggam. Menatap lekat-lekat wajah tampan pacarnya.
"Eva, cintanya gue. Emmuach," racau Janu dengan mata terpejam.
Eva tersenyum. "Mimpiin gue ya ganteng?" bisiknya yang tak mendapat respon oleh Janu karena pacarnya itu sudah mendengkur.
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..