Caca, seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di London, terpaksa bekerja sebagai pengasuh anak CEO kaya, Logan Pattinson, untuk mencukupi biaya hidup yang mahal. Seiring waktu, kedekatannya dengan Logan dan anaknya, Ray, membawa Caca ke pusat perhatian publik lewat TikTok. Namun, kisah cinta mereka terancam oleh gosip, kecemburuan, dan manipulasi dari wanita yang ingin merebut Logan. Ketika dunia mereka dihancurkan oleh rumor, Caca dan Logan harus bertahan bersama, menavigasi cinta dan tantangan hidup yang tak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Restauran
...Jangan lupa klik like dan komentar ya teman-teman! Mohon dukungannya untuk cerita ini! Terimakasih banyak semua! ❤️❤️...
...****************...
Anastasia Jhonson tak menyangka perjalanannya ke pusat kota untuk bertemu Logan Pattinson, CEO tampan yang selama ini menjadi incarannya, akan membawanya pada penemuan yang mengusik hatinya. Dari balik kaca mobil miliknya, ia melihat seorang gadis muda masuk kedalam Limosin keluarga Pattinson—limosin yang bahkan dirinya, dengan segala upaya dan pesonanya, tak pernah diizinkan untuk di gunakan. Siapa gadis itu? Apa hubungan gadis itu dengan Logan?
Malam itu, di apartemen mewahnya yang berada di jantung Mayfair, Anastasia tak bisa tidur. Lampu-lampu kota London bersinar gemerlap di luar jendela, tetapi pikirannya jauh dari tenang. Gadis itu terus menghantui benaknya. Anastasia menggigit kukunya dengan gelisah, matanya menatap kosong ke jalanan di bawah. Siapapun gadis itu, dia tak mungkin dibiarkan dekat dengan Logan.
“Logan adalah milikku,” bisiknya pelan, hampir seperti mantra. “Bahkan seekor lalat pun tak pantas berada di sisinya, apalagi dia.”
Anastasia mengambil ponselnya, jari-jarinya dengan cekatan mencari kontak. Ketika nada sambung berhenti, ia langsung berbicara dengan tegas, tanpa basa-basi.
“Aku butuh bantuanmu,” ucapnya dingin. Suara di ujung telepon hanya mendengarkan, tahu benar Anastasia selalu berbicara untuk memberi perintah, bukan berdiskusi.
“Cari tahu tentang seorang gadis,” lanjutnya. “Aku akan kirimkan datanya. Aku ingin tahu semuanya—dari mana dia, apa tujuannya, bahkan mimpi buruk terakhir yang dia alami.”
Tanpa menunggu jawaban, Anastasia memutus panggilan. Ia berdiri dari sofa, matanya kembali menatap lampu kota yang gemerlap di malam hari. Senyuman penuh arti menghiasi wajahnya. Gadis itu mungkin hanya seseorang yang kebetulan berada di sana. Tetapi jika ia menemukan sesuatu yang mencurigakan, Anastasia akan memastikan hidup gadis itu tidak akan pernah sama lagi.
“Logan,” bisiknya dengan nada yang berbahaya. “Apapun yang terjadi, kau hanya milikku.”
Dengan tekad yang membara, Anastasia tahu bahwa ini adalah awal dari permainannya. Dan dia tak pernah kalah dalam permainan apa pun.
-
Langit London menggantung rendah dengan awan kelabu, tetapi suasana di sekitar kampus UCL tetap hidup. Mahasiswa berkeliaran di halaman, beberapa berbincang riang, yang lain sibuk dengan buku-buku mereka. Di tengah keramaian itu, Caca berhenti melangkah, pandangannya tertuju pada sesosok pria yang berdiri di dekat pagar kampus. Pria itu tampak mencolok—tinggi, tampan, dengan setelan jas abu-abu yang terjahit sempurna. Tangannya sibuk memeriksa jam tangan, dan ekspresi serius menghiasi wajahnya yang tajam.
Logan Pattinson. Nama itu langsung terlintas di benak Caca. Bosnya, seorang pria sukses yang biasanya begitu sibuk hingga ia jarang melihatnya di luar kantor. Tapi sekarang, di depan mata, pria itu berdiri di kampusnya, menimbulkan pertanyaan besar dalam pikiran Caca.
“Caca, kenapa berhenti?” tanya Yeji, temannya yang ceria, sambil melirik ke arah yang sedang diperhatikan Caca. “Ada apa di sana?”
Caca bergumam pelan, “Itu bosku… Kenapa dia ada di sini?”
Yeji, yang tadinya setengah acuh, langsung berubah total. “APA? TUAN PATTINSON?!” serunya dengan suara yang terlalu keras, membuat beberapa mahasiswa di sekitar mereka menoleh. “Mana? Aku harus melihatnya!”
Panik, Caca segera membekap mulut Yeji. “Jangan keras-keras!” bisiknya dengan nada khawatir. Tetapi usaha itu sia-sia karena Yeji, yang kini dipenuhi rasa penasaran, berusaha melepaskan diri.
“Cepat, tunjukkan di mana dia!” desak Yeji sambil menarik tangan Caca.
Caca menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia tahu ia harus menghampiri Logan, tetapi kehadiran Yeji yang terlalu antusias justru membuatnya gugup. Dengan langkah ragu, Caca akhirnya berjalan mendekati pria itu, sementara Yeji mengikutinya dari belakang, wajahnya bersinar penuh harap.
“Logan Pattinson,” gumam Yeji dengan nada hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri. “Kaya, tampan, dan sukses… Kau sungguh beruntung mengenalnya, Caca.”
Caca mendengus pelan, tidak yakin apakah itu benar-benar keberuntungan. Logan memang karismatik, tetapi pria itu juga kaku, sering kali dingin, dan tidak mudah didekati. Namun, semua itu tidak mengubah fakta bahwa penampilannya memikat perhatian. Tinggi menjulang dengan jas yang rapi, matanya biru seperti samudra, wajahnya seolah diukir sempurna. Tidak mengherankan Yeji tampak terpesona.
Saat mereka mendekat, Logan mengangkat pandangannya. Mata birunya langsung tertuju pada Caca, membuat jantung gadis itu berdetak lebih cepat.
“Selamat siang, Tuan Pattinson,” sapa Caca pelan, hampir tidak terdengar. Suaranya terdengar aneh bahkan di telinganya sendiri, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
Sebelum Logan sempat menjawab, Yeji, yang tidak bisa menahan dirinya, berucap dengan nada kagum, “Ya Tuhan, Anda sangat tampan!”
Wajah Caca memerah seketika. Ia menoleh tajam pada Yeji, merasa malu dengan ucapan terang-terangan itu. Namun yang membuatnya terkejut, Logan tidak tampak terganggu sama sekali. Sebaliknya, pria itu tersenyum tipis, senyuman yang hangat tetapi tetap menjaga wibawanya.
“Terima kasih, Nona,” jawab Logan dengan nada santai.
Yeji tampak seperti akan pingsan. Sementara itu, Caca hanya bisa berdiri kaku, tidak percaya bahwa bosnya—yang selama ini dikenal sebagai pria serius—bisa tersenyum begitu ramah. Apakah pujian Yeji benar-benar punya efek sebesar itu?
Setelah beberapa detik, Logan mengalihkan pandangannya kembali kepada Caca. “Nona Calista, apakah kelas Anda sudah selesai untuk hari ini?” tanyanya dengan nada formal, tetapi ada sedikit kelembutan dalam suaranya.
Caca mengangguk. “Ya, Tuan. Kelas terakhir kami baru saja selesai.”
“Bagus,” Logan melirik jam tangannya sebelum melanjutkan. “Kalau begitu, apakah Anda punya janji setelah ini?”
Caca menggeleng. Yeji, yang berdiri di sampingnya, nyaris bersorak gembira, tetapi ia menahan diri, sadar bahwa ini adalah kesempatan emas untuk lebih dekat dengan pria yang selama ini mereka bicarakan.
“Kalau begitu, saya ingin mengundang Anda berdua untuk makan malam. Ray ingin bertemu dengan Anda lagi, Nona Calista. Dan saya rasa ini cara yang baik untuk menghemat waktu Anda daripada harus naik kereta ke Kensington.”
Ucapan Logan membuat Caca terkejut. Undangan makan malam? Ia tidak pernah menduga bahwa pria itu akan menyarankan sesuatu seperti itu. Biasanya, Logan menjaga hubungan profesional yang ketat, tetapi kali ini, ia tampak lebih santai.
Yeji, di sisi lain, nyaris melompat kegirangan. “Makan malam dengan Logan Pattinson!” pikirnya. Ia hampir tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang lebar, tetapi genggaman tangan Caca di pergelangannya mengingatkannya untuk tetap tenang.
“Baik, Tuan Pattinson. Saya akan ikut,” jawab Caca akhirnya, suaranya masih terdengar sedikit gugup.
Logan mengangguk, lalu melangkah ke mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana. Ia membuka pintu belakang untuk Caca dan Yeji, menunjukkan kesopanan yang membuat Yeji semakin terpesona. Setelah memastikan keduanya duduk nyaman, Logan mengambil tempat di kursi pengemudi, kemudian menyalakan mobilnya.
-
Di sepanjang perjalanan menuju restoran, suasana di dalam mobil terasa campur aduk. Yeji tampak berusaha keras menahan diri untuk tidak terlalu cerewet, meskipun dalam hatinya ia hampir tidak bisa menahan keinginannya untuk mengajukan seribu pertanyaan kepada Logan. Di sisi lain, Caca duduk dengan tenang di kursi belakang, mencoba mengatur pikirannya yang bercampur aduk. Dia masih merasa gugup dengan kehadiran Logan di kampus tadi.
Logan tetap fokus mengemudi, tetapi sesekali melirik kaca spion, mengamati Caca yang duduk di belakangnya. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuat Logan merasa nyaman. Dia menyukai sifat Caca yang tulus, tenang, namun penuh perhatian—sesuatu yang jarang ia temukan pada orang lain. Logan masih teringat bagaimana putranya, Ray, yang biasanya sulit dekat dengan orang asing, justru langsung mencari Caca hanya sehari setelah mereka bertemu.
“Kita akan sampai sebentar lagi,” ujar Logan dengan nada rendah, memecah keheningan.
Yeji yang duduk di samping Caca menatap Logan lewat spion, tersenyum penuh arti. Dia berbisik pada Caca, “Kau sangat beruntung bisa bekerja dengan pria tampan seperti dia.”
Caca hanya mendesah pelan, terlalu gugup untuk menanggapi lelucon Yeji.
Setelah beberapa menit, mobil berhenti di depan sebuah restoran mewah dengan lampu-lampu kristal yang memancarkan cahaya megah. Bangunan itu terlihat seperti istana kecil yang berdiri kokoh di tengah kota. Yeji yang pertama kali melihatnya tak bisa menahan rasa kagumnya.
“Wow… Ini seperti tempat dari film-film romantis!” seru Yeji dengan mata berbinar.
Caca mengangguk setuju, meskipun ia tidak mengucapkan apa-apa. Matanya sibuk menjelajahi keindahan restoran tersebut. Ia benar-benar tidak menyangka kehidupannya yang sederhana di Indonesia kini membawanya ke tempat mewah seperti ini.
Yeji, tidak ingin kehilangan momen, segera mengeluarkan ponselnya dan mulai memotret segala sudut restoran. Melihat itu, Caca juga tak mau kalah. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa gambar sebagai kenang-kenangan.
Logan membuka pintu mobil untuk keduanya, lalu memimpin mereka masuk ke dalam restoran. Pelayan menyambut mereka dengan sopan, lalu mengarahkan mereka ke meja khusus di sudut ruangan yang memberikan lebih banyak privasi.
Di sana, seorang anak kecil berusia tiga tahun dengan senyum ceria berdiri menyambut mereka. Ray Pattinson, putra Logan, langsung berlari ke arah Caca begitu melihatnya.
“Waaaa” seru Ray sambil membuka kedua tangannya, meminta digendong.
Caca tersenyum lebar dan segera membungkuk untuk menangkap Ray. Anak kecil itu memeluknya erat, membuat hati Caca meleleh. Ia masih tidak percaya betapa cepat Ray merasa nyaman dengannya, padahal mereka baru mengenal satu sama lain.
Logan mengamati pemandangan itu dengan senyum kecil di wajahnya. “Sepertinya dia semakin nyaman dengan Anda, Nona Calista,” ucapnya pelan.
Caca hanya tertawa kecil sambil mencium pipi Ray. “Dia sangat manis, Tuan Pattinson.”
Mereka berjalan bersama menuju meja makan. Di sana sudah menunggu seorang wanita paruh baya dengan penampilan anggun. Nyonya Pattinson, ibu Logan, tersenyum lembut begitu melihat mereka datang.
“Selamat malam, Nyonya Pattinson,” sapa Caca sopan sambil menarik kursinya dan duduk.
“Selamat malam, Nona Calista,” jawab Nyonya Pattinson dengan senyum ramah. Namun, matanya segera beralih ke Yeji, yang berdiri dengan ragu di samping Caca.
“Oh, perkenalkan, ini teman saya, Yeji. Kami sama-sama kuliah di UCL,” jelas Caca cepat, menangkap kebingungan di mata Nyonya Pattinson.
Yeji membungkuk sopan sambil tersenyum manis. “Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Pattinson.”
“Ah, senang bertemu denganmu juga, Yeji. Selamat datang,” jawab Nyonya Pattinson dengan ramah.
Mereka semua duduk di meja dan mulai berbincang santai sambil menunggu makanan diantar. Nyonya Pattinson banyak bertanya tentang kehidupan kuliah Caca dan Yeji. Ia tampak sangat tertarik mendengar cerita tentang perjuangan mereka sebagai mahasiswa internasional.
Tidak lama kemudian, makanan mulai diantar ke meja. Hidangan-hidangan mewah dengan presentasi yang memukau membuat Yeji hampir kehilangan kata-kata.
“Ini… Ini seperti makanan di acara-acara masak internasional!” seru Yeji, membuat Logan dan Nyonya Pattinson tersenyum kecil.
“Silakan dinikmati,” ujar Logan sambil mulai mengambil garpu dan pisau.
Percakapan berlangsung dengan hangat. Caca yang awalnya canggung mulai merasa lebih nyaman, terutama karena Ray tidak pernah melepaskan dirinya sepanjang makan malam. Anak kecil itu terus berbicara dengannya, membuat suasana terasa lebih ringan.
Yeji, meskipun sibuk memotret makanan, tidak lupa mengomentari betapa baik dan tampannya Logan. Ia bahkan bercanda bahwa Caca harus segera menikah dengan pria seperti itu, membuat Caca tersipu malu.
Namun, Logan hanya tersenyum mendengar candaan tersebut. Ia tampak tidak terganggu, malah terlihat menikmati suasana santai itu.
Setelah selesai makan, percakapan mulai beralih ke topik yang lebih serius. Nyonya Pattinson bertanya kepada Caca tentang pengalamannya bekerja dengan Logan dan Ray.
“Bagaimana menurutmu, Nona Calista? Apakah sulit bekerja dengan putraku?” tanya Nyonya Pattinson dengan nada bercanda.
Caca tersenyum. “Tidak sama sekali, Nyonya. Tuan Pattinson adalah bos yang sangat baik, dan Ray… Dia anak yang luar biasa.”
Logan menatap Caca sejenak, lalu tersenyum kecil. “Ray memang beruntung memiliki seseorang seperti Anda, Nona Calista.”
Yeji yang mendengar itu hampir melompat kegirangan. Ia mencubit lengan Caca di bawah meja, membuat gadis itu nyaris tersedak minumannya.
Ketika malam semakin larut, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Ray yang sudah mulai mengantuk kembali meminta digendong oleh Caca, membuat Logan hanya bisa menggeleng sambil tersenyum.
Dalam perjalanan pulang, suasana terasa lebih santai. Yeji bahkan berani mengajukan beberapa pertanyaan kepada Logan, yang dijawabnya dengan sabar.
Ketika akhirnya mereka sampai di depan asrama Caca dan Yeji, Logan turun untuk membuka pintu mobil.
Ketika Logan dan Ray pergi, Yeji langsung memeluk Caca dengan penuh semangat.
“Kau benar-benar hidup dalam dunia dongeng, Caca! Logan Pattinson? Restoran mewah? Ini gila!” seru Yeji.
Caca hanya tertawa kecil. Dalam hatinya, ia merasa bersyukur atas semua yang terjadi malam ini. Tapi ia juga tidak bisa menahan rasa penasaran—apakah Logan melihatnya hanya sebagai pengasuh Ray, atau ada sesuatu yang lebih?
Malam itu, di tengah keheningan asrama, pikiran Caca dipenuhi bayangan Logan dan senyumnya yang sulit dilupakan.
oh ya cerita ini menurut aku sangat menarik. apalagi judul nya jangan. lupa dukung aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia