Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Protes
Perpustakaan Agung Rivendale berdiri megah di tengah kota, menjadi simbol pengetahuan dan kebijaksanaan yang diwariskan selama berabad-abad. Pilar-pilar marmer putih menjulang di kedua sisi pintu masuk utama, seakan menyambut setiap pengunjung dengan keagungan. Di atas pintu, ukiran lambang Rivendale terletak di antara simbol-simbol kuno yang melambangkan kekuatan dan harmoni.
Namun, malam ini, suasana dalam aula perpustakaan penuh ketegangan. Aula utama yang biasanya menjadi tempat diskusi intelektual kini diwarnai perseteruan sengit. Para bangsawan duduk di deretan kursi kayu berlapis beludru merah, sementara kepala-kepala bagian duduk berdekatan, wajah mereka mencerminkan kegelisahan.
Di tengah ruangan, Lord Adric berdiri tegak, pandangannya tajam menyapu seluruh hadirin. Cahaya lampu kristal di langit-langit memantulkan bayangan samar di wajahnya, menonjolkan ekspresi dingin yang tidak dapat disembunyikan.
"Kenapa kalian memanggil ku kesini. Kalian berkumpul di sini?" suara Lord Adric menggema, rendah tetapi penuh amarah.
Ruangan seketika hening. Para bangsawan yang sebelumnya saling berbisik kini terdiam, saling melempar pandangan gelisah. Ethan, bangsawan muda yang mewakili kelompoknya, berdiri dengan hati-hati.
"Lord Adric, kami di sini untuk membahas ketidakjelasan posisi kami," katanya pelan. "Kenapa kami tidak dilibatkan dalam pembangunan Rivendale? Kami memiliki hak atas kota ini."
"Kenapa kalian bertemu di aula ini, bukan di rumahku yang hancur?" balas Lord Adric tajam. "Rumah yang kalian biarkan runtuh tanpa bantuan sedikit pun."
Ethan tersentak. Sebelum dia bisa menjawab, Adam, bangsawan senior, berdiri. "Kami tidak pernah bermaksud meninggalkan Anda, Lord Adric. Tetapi situasi itu terlalu cepat berkembang."
"Situasi?" tanya Lord Adric, nadanya mengejek. Tangannya menghantam meja di depannya, menciptakan suara gemuruh. "Saat perang datang, aku sendiri yang berdiri di garis depan! Sementara kalian... kalian hanya peduli pada kekuasaan kalian."
Alexander, salah satu kepala bagian, mencoba menjelaskan. "Tapi, Lord Adric, kenapa Anda tidak datang kepada kami lebih dulu?"
Mata Lord Adric menyala. "Anakku diambil oleh orang istana. Istriku kehilangan akalnya. Rumahku rata dengan tanah. Dan kalian bertanya kenapa aku tidak datang kepada kalian?" Suaranya bergetar, bukan hanya karena marah, tetapi juga karena rasa sakit yang coba ia pendam.
Dia menarik napas panjang, lalu berkata dengan tegas, "Ayo kita lanjutkan besok saja. Kalau kalian ingin bergabung untuk membangun Rivendale, bawakan aku rencana kalian. Kita bertemu di aula istana, bukan di aula perpustakaan."
Ketegangan di ruangan mencapai puncaknya. Bangsawan saling berpandangan, tidak yakin bagaimana harus merespons. Beberapa kepala bagian tampak gelisah, takut menjadi sasaran amarah berikutnya.
Di tengah suasana itu, Wendy, kepala bagian yang dikenal bijak, bangkit. Suaranya lembut tetapi penuh keyakinan. "Aku tidak ingin menjadi bagian dari intrik ini. Aku akan mendukung Lord Adric sepenuh hati untuk membangun Rivendale. Permisi."
Ia pergi meninggalkan aula, meninggalkan kebisuan di belakangnya.
Di taman keluarga Lord Adric, Kaelan dan Rea duduk di bangku putih yang dikelilingi bunga-bunga yang telah layu akibat pertempuran. Taman yang dulunya megah kini hanya menyisakan bayangan keindahannya.
Kaelan menatap langit malam yang dihiasi bintang dan bulan. Kaelan menghela napas panjang. "Rea, hari ini sangat menyulitkan bagiku."
Rea tersenyum lembut. "Kaelan, jika kau dan aku menjadi 'kita', semua ini akan lebih mudah kita hadapi bersama."
Kaelan menoleh, menatap wajah Rea yang tenang. "Aku merasa kasihan pada Lord Adric. Ketika kita membantu, para bangsawan itu baru muncul. Apakah kita ancaman bagi mereka?"
"Mungkin," jawab Rea. "Mereka hanya takut kehilangan kekuasaan mereka. Lebih baik Rivendale hancur daripada posisi mereka terganggu."
Kaelan mengangguk perlahan. "Tapi aku yakin kota ini punya potensi besar. Kita harus meyakinkan Lord Adric untuk lebih percaya pada rakyatnya."
Rea mengangguk, lalu tertidur dengan tenang di bangku itu. Kaelan tersenyum kecil. Ia menarik selimut tipis dari tasnya dan menyelimuti Rea. "Jika kamu benar adalah takdir untukku, aku akan melindungimu, wahai pengantinku yang cantik."
Ketika Lord Adric melangkah keluar dari aula perpustakaan dengan langkah yang berat. Udara malam yang dingin langsung menyambutnya saat ia melewati pintu besar yang dihiasi ukiran kuno. Cahaya bulan menerangi jalan setapak berbatu menuju taman kecil di depan perpustakaan, tetapi cahaya itu tidak cukup untuk meredakan amarah dan kekecewaan yang membakar dalam dadanya.
Ia berhenti sejenak di tangga marmer, menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seakan mencoba menahan emosi yang semakin memuncak. Di kepalanya, bayangan masa-masa sulit berkelebat—istrinya yang kini tidak lagi bisa berbicara dengan waras, anaknya yang hilang tanpa jejak, dan rumahnya yang pernah menjadi tempat penuh kehangatan kini rata dengan tanah.
"Aku memberikan segalanya untuk Rivendale," gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian malam. "Namun, saat aku membutuhkan mereka, mereka hanya peduli pada kekuasaan mereka sendiri."
Langkah kaki terdengar dari belakang, memecah kesunyian. Lord Adric menoleh dan melihat Wendy, kepala bagian yang baru saja keluar dari aula. Wanita itu berjalan mendekat, wajahnya memancarkan ketenangan yang kontras dengan suasana tegang di aula tadi.
"Wendy," sapa Lord Adric dengan nada datar. "Kenapa kau tidak pergi bersama mereka?"
"Aku tidak ingin terlibat dalam permainan kekuasaan mereka, Lord Adric," jawab Wendy lembut. "Aku percaya pada visi Anda untuk Rivendale. Saya ingin mendukung Anda, bukan karena ambisi, tetapi karena kota ini layak mendapatkan pemimpin yang adil."
Lord Adric mengangguk pelan, meskipun matanya tetap menyiratkan kelelahan. "Kau tahu, kadang aku bertanya-tanya, apakah semua ini sepadan? Apakah Rivendale masih memiliki harapan?"
Wendy menatapnya dengan serius, tetapi ada kelembutan dalam suaranya saat ia menjawab. "Rivendale memiliki harapan, selama Anda masih percaya pada kota ini. Orang-orang membutuhkan pemimpin seperti Anda, Lord Adric. Mereka mungkin belum menyadarinya sekarang, tetapi mereka akan mengerti."
Perkataan Wendy seolah menyentuh sisi terdalam hati Lord Adric. Ia menghela napas panjang, seakan mencoba mengusir beban yang menghimpit dadanya. "Terima kasih, Wendy. Kata-katamu... mengingatkanku pada apa yang sebenarnya penting."
Wendy tersenyum tipis. "Anda tidak sendiri, Lord Adric. Selalu ada orang yang siap mendukung Anda."
Lord Adric menatap Wendy sejenak, lalu kembali menatap jalan setapak di depannya. "Aku harus terus maju," katanya pelan. "Banyak yang bergantung padaku. Tapi aku takkan lupa siapa yang berdiri bersamaku di saat-saat tersulit ini."
Tanpa menunggu jawaban, Lord Adric melangkah pergi, menyusuri jalan setapak menuju istana. Angin malam yang dingin menghembus, tetapi langkahnya kini terasa lebih mantap. Dalam pikirannya, ia sudah merencanakan langkah-langkah berikutnya untuk membangun kembali Rivendale. Dan kali ini, ia tahu siapa yang benar-benar ada di pihaknya.
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih