NovelToon NovelToon
Bunga Yang Layu Di Hati Sahabat

Bunga Yang Layu Di Hati Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: icha14

Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat


Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.

Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.

Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perpisahan

Kelanjutan Cerita

Malam semakin larut, dan mobil Raihan terus melaju perlahan di bawah gemerlap lampu kota. Caca memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayang-bayang kenangan yang tadi menyeruak. Tapi wajah Arman, suaranya, dan sorot mata yang penuh dengan penyesalan terus membayangi pikirannya. Ia tahu pertemuan tadi tak seharusnya terjadi, namun takdir kadang suka bermain-main dengan hati manusia, memaksa mereka menghadapi apa yang sudah lama ingin dilupakan.

“Aku sudah membuat pilihan,” gumam Caca pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Raihan melirik sekilas, menangkap nada berat di suara Caca. “Pilihan itu tidak salah, Ca. Yang penting, kamu nggak lagi menyesali apa yang udah kamu tinggalkan.”

Caca membuka matanya dan menatap Raihan. Ada sesuatu dalam cara pria itu bicara—ketulusan yang membuatnya merasa aman. “Kadang, aku cuma takut,” katanya akhirnya. “Takut aku nggak cukup baik buatmu. Masa lalu itu kayak luka yang belum sepenuhnya sembuh. Aku takut suatu hari luka itu malah menyakiti kamu.”

Raihan tersenyum kecil, matanya tetap fokus pada jalan. “Aku tahu kamu nggak sempurna, Ca. Aku juga nggak. Kita semua punya masa lalu, punya bekas luka. Tapi aku nggak butuh kamu jadi sempurna. Aku cuma butuh kamu terus mau berusaha.”

Kalimat itu membuat dada Caca menghangat. Ia tak tahu bagaimana cara Raihan bisa begitu sabar menghadapi dirinya. Pria itu seperti angin lembut di tengah panasnya gurun, selalu tahu bagaimana caranya membuat Caca merasa tenang meski hatinya sedang berkecamuk.

Di sisi lain, Arman duduk sendirian di kamarnya. Surat dari Caca tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur. Matanya menatap kosong ke langit-langit, sementara pikirannya terus berputar. Ia memikirkan semua yang telah terjadi hari ini, pertemuannya dengan Caca, dan kata-kata terakhirnya.

“Kenapa aku nggak bisa benar-benar lepas darinya?” pikir Arman.

Ia tahu dirinya salah. Sasa, istrinya, tak pernah sekalipun memberinya alasan untuk ragu. Perempuan itu selalu ada untuknya, selalu menjadi pelabuhan yang menenangkan. Tapi mengapa, setiap kali ia merasa tenang, bayangan Caca kembali muncul, seperti hantu masa lalu yang menolak pergi?

Arman meraih surat itu lagi, membuka lipatannya dengan hati-hati meskipun kertasnya sudah kusut. Ia membaca kembali tulisan tangan Caca yang rapi namun penuh emosi:

"Arman, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Mungkin aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku nggak pernah membenci kamu, meskipun dulu aku merasa kecewa. Semua yang terjadi di antara kita adalah pelajaran. Kamu adalah bagian dari hidupku yang pernah membuatku bahagia, tapi juga bagian yang mengajarkanku untuk lebih kuat. Terima kasih untuk semuanya. Sekarang, aku hanya ingin kita sama-sama menemukan kedamaian. Aku sudah melepaskanmu. Semoga kamu juga bisa."

Kata-kata itu menamparnya, membuat Arman sadar bahwa Caca sudah jauh lebih dewasa daripada dirinya. Wanita itu sudah belajar menerima dan melepaskan, sementara ia masih terjebak dalam lingkaran yang sama, menggenggam sesuatu yang seharusnya sudah ia lepaskan sejak lama.

Babak Baru: Melangkah dalam Kepastian

Pagi yang Mengusik

Pagi itu, embun masih bertengger di dedaunan ketika Arman bangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Suara gemericik air dari kamar mandi sebelah membuat suasana kamar yang sepi terasa lebih mencekam. Ia menggosok wajahnya perlahan, mencoba mengusir kantuk yang tertinggal.

Semalam, ia terlalu banyak berpikir. Surat dari Caca yang ia baca ulang kali terasa seperti duri di hatinya—nyeri, tapi juga membangunkannya dari keterpurukan yang selama ini ia pelihara. Pikirannya berputar pada percakapan terakhir mereka. Ada penyesalan, ada kelegaan, tapi juga kekosongan.

Sambil menatap koper kecil di sudut kamar, Arman memutuskan untuk pergi ke proyek sekali lagi sebelum meninggalkan kota ini. Bukan sekadar untuk memastikan semua pekerjaan selesai, tetapi juga untuk menenangkan hati yang masih bergelut dengan bayangan masa lalu.

Suasana proyek masih sama seperti biasanya—riuh oleh suara alat berat, percakapan pekerja, dan arahan mandor. Namun bagi Arman, tempat itu menyimpan cerita yang berbeda. Setiap sudutnya menjadi pengingat akan perjalanan emosional yang ia lalui selama bekerja di sana.

Ia berjalan pelan, menyusuri lorong yang mengarah ke ruangan utama. Di sana, ia melihat beberapa pekerja sedang menyelesaikan detail akhir. Arman tersenyum kecil sambil menyapa mereka. Ia tahu ini akan menjadi kunjungan terakhirnya, dan rasa melankolis mulai merayapi pikirannya.

Setelah memastikan semuanya berjalan baik, Arman menuju tempat favoritnya di lantai dua. Balkon itu memberikan pemandangan luas ke arah kota, dan di sanalah ia sering menghabiskan waktu untuk merenung. Saat berdiri di sana, ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan angin pagi yang sejuk menyentuh wajahnya.

“Ini terakhir kali,” gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri.

Ketika langkahnya membawa dia kembali ke area parkir, pandangannya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Caca.

Wanita itu berdiri di dekat mobilnya, berbicara dengan seorang pekerja proyek. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam, tampak santai namun anggun. Arman merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi, apalagi di saat seperti ini.

Arman ragu sejenak, tetapi akhirnya melangkah mendekat. Ia mencoba bersikap santai, meskipun ada perasaan gugup yang sulit ia sembunyikan.

Langit pagi mulai memancarkan cahaya lembut ketika Arman mempercepat langkahnya menuju area parkir. Pandangannya tak bisa lepas dari sosok Caca yang berdiri di dekat mobilnya. Angin pagi yang sejuk terasa berbeda, seperti membawa pertanda bahwa percakapan kali ini akan menjadi sesuatu yang berarti.

“Caca,” panggil Arman pelan, nyaris ragu.

Caca menoleh perlahan, dan tatapan mereka bertemu. Mata Caca tampak tenang, meski ada kilatan emosi yang sulit ditebak. Ia tersenyum tipis, mengangguk singkat, memberi isyarat bahwa ia sadar akan kehadiran Arman.

“Kamu masih di sini?” tanya Caca, suaranya terdengar santai, namun ada nada kehati-hatian yang terselip.

“Ya, aku baru saja menyelesaikan beberapa hal di proyek. Aku pikir ini akan jadi terakhir kalinya aku ke sini,” jawab Arman, suaranya datar tapi matanya berbicara lebih dari itu—ada kerinduan, ada penyesalan.

Caca menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Semua hal memang ada akhirnya, Man. Kadang, kita hanya perlu belajar menerima bahwa yang terbaik belum tentu yang kita inginkan.”

Arman terdiam, menelan kata-kata itu. Ia tahu Caca benar, tapi bagian dari dirinya masih ingin berpegang pada harapan yang seharusnya sudah ia lepaskan sejak lama.

“Aku nggak tahu kenapa aku merasa harus bilang ini,” kata Arman akhirnya, menatap langsung ke mata Caca. “Tapi aku minta maaf, Ca. Untuk semuanya. Untuk luka yang pernah aku buat, untuk kebodohan yang membuat kita seperti ini.”

Caca tersenyum, kali ini lebih tulus. “Maaf itu penting, Man, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita melangkah setelahnya. Aku nggak lagi menyalahkan kamu, karena aku sudah belajar memaafkan diriku sendiri.”

Arman mengangguk pelan. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku bersyukur pernah mengenal kamu. Kamu mengajarkanku banyak hal, termasuk bagaimana cara kehilangan tanpa benar-benar hancur.”

Kata Perpisahan

Caca merapatkan jaketnya saat angin mulai bertiup lebih kencang. Ia melirik jam tangannya, sadar bahwa waktu tak akan berhenti meskipun percakapan ini terasa seperti jeda dalam hidup mereka.

“Man,” katanya lembut, “aku harap kamu baik-baik saja. Pulanglah ke keluarga kamu, ke istri dan calon anak-anak kamu. Mereka adalah masa depanmu. Dan aku percaya, kamu punya kekuatan untuk jadi suami dan ayah yang mereka butuhkan.”

Arman menatapnya dalam-dalam, merasa ada sesuatu yang berat namun sekaligus melegakan dalam kata-kata itu.

1
Ani Aqsa
ceritanya bagus.tp knapa kayak monoton ya agak bosan bacanya..maaf y thor
Lili Inggrid
lanjut
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Wuih, nggak sabar lanjutin!
Android 17
Terharu sedih bercampur aduk.
Mắm tôm
Suka banget sama karakter yang kamu buat thor, semoga terus berkembang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!