NovelToon NovelToon
Mardo & Kuntilanaknya

Mardo & Kuntilanaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:479
Nilai: 5
Nama Author: Riva Armis

Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.

Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16: Awal Kerja

Langit sudah berwarna jingga ketika kami sampai. Banyak bapak-bapak yang mau pulang. Karena ke tempat ini lagi, fokus gue terarah pada warung langganan gue beli roti. Sayangnya, gue emang sudah benar-benar gak punya uang. Gue cuma bisa ngelihatin roti-roti itu di meja.

"Di mana pohonnya, Do?"

"Eh iya. Di sana, Pak."

Gue menganga lebar ketika melihat kursi panjang yang sebelumnya dilempar Torgol ke sungai sekarang sudah ada lagi di tempat semula. Gue berjalan cepat memperhatikan kursi itu. Iya! Ini kursi yang sama! Siapa yang ngembaliin, ya?

"Kata lo kursinya dibuang Torgol. Ini masih ada."

"Kok ada, ya!?"

Daun-daun kering berjatuhan dari pohon di belakang kami. Ada embusan angin misterius.

"Siap-siap, Do."

"Hah? Siap-siap buat apaan, Pak?"

Keluarlah sepasang tangan dengan kuku-kuku panjang dari dalam pohon.

"Itu dia, Pak!"

Tangan itu memanjang ke arah kami!

"Awas, Pak!"

Bukannya panik atau menghindar kayak gue, Sulay malah menarik tangan itu! Sulay memegangi tangan itu sampai keluar asap hitam di sana. Terdengar suara jeritan yang melengking. Sulay kemudian menarik tangan itu dengan keras. Seorang cewek berbaju putih meloncat dari dalam pohon!

"Le ... pas ... le ... pas!" katanya.

"Ada pertanyaan yang harus lo jawab, baru gue lepasin."

"Le ... pas!"

"Kulepas semua ... yang kuinginkan~"

Sulay menyepak kaki gue.

"Kenapa lo malah nyanyi bego!"

Sekarang, kami bertiga duduk di kursi panjang di pinggir sungai. Gue dan Sulay duduk di antara cewek yang masih gak kelihatan mukanya ini. Gue masih takut kalau ingat waktu dia mencengkeram bahu gue. Untuk sesaat, gue merasa Sulay ini keren banget. Dia bisa bikin hantu takut dan nurut. Orang yang suka Naruto emang beda.

"Lo pasti tahu, kan kalau kami nurunin spirit di sini?"

Cewek itu mengangguk.

"Dia ngapain aja waktu kami tinggal?"

Cewek itu diam aja.

"Dia udah gak ada. Gak usah takut."

"Dia ... mau mengambil pohon saya."

"Terus?"

"Saya kalah ... dia dapat."

"Cuma itu?"

Cewek itu mengangguk. Sekarang, giliran gue yang mau nanya sama dia.

"Mohon maaf ... Mbak? Waktu itu, kenapa dia buang kursi ini, ya?"

"Tidak tahu."

"W-waktu itu kenapa kamu menangkap saya?"

"Karena saya pikir kamu teman jin itu."

"Kenapa ... kamu waktu itu berhenti menyerang saya? Dan kenapa kursi ini kembali ke sini?"

"Kamu punya hubungan dengan ratu kami. Saya tidak berani dengan ratu kami."

"Ratu?"

Dia cuma mengangguk.

"Terus kursi?"

"Dikembalikan lagi oleh jin itu. Setelah kamu pulang."

Sulay berdiri dan pergi begitu aja. Gue buru-buru menyusulnya. Cewek itu masih duduk di kursi, dan mukanya masih gak kelihatan.

"Kenapa, Pak?"

"Sia-sia, Do. Gak ada informasi penting. Kita buang-buang waktu."

"Terus gimana?"

"Kita ke rumah lo. Gue mau ketemu sama Dea."

Sulay menggaruk-garuk kepala ketika kami berdiri di depan pintu rumah gue yang gak bisa dibuka. Seperti yang gue bilang sebelumnya, hal ini karena gue jenius dalam pertukangan.

"Terus caranya lo masuk gimana?"

"Bentar, Pak."

Gue menebas pintu gue lagi. Terbuka. Simpel, kan?

"Lo juara satu soal bego-begoan," kata Sulay.

Gue langsung mempersilakan Sulay buat duduk atau mau keliling, terserah dia. Gue membuka kulkas, mengambil sisa roti bikinan Naya tadi siang.

"Makan dulu, Pak."

"Lo bisa masak roti?"

"Bukan, Pak ... itu ... ehe ... ehe ... dimasakin."

Kami memakan roti itu. Sulay tampak waspada setiap saat. Matanya melirik ke segala arah, terutama kamar mandi.

"Lo masih nyimpan fotonya, kan?"

"I-iya, Pak. Ada di kamar."

Baru aja gue mau berdiri, keran air tiba-tiba nyala! Sulay langsung menuju kamar mandi dan memukul ke dalam! Entah apa yang dia pukul.

"Ada apa, Pak!?"

Gak ada jawaban. Cuma keran air yang mati sendiri.

"Orang ini teman kamu, Do?"

Dea keluar kamar mandi sambil menyeret Sulay!

"HAH!? KENAPA DISERET GITU!"

Sulay mencoba melepaskan diri, namun gak berhasil.

"Dia mau mukul aku, Do. Dia jahat!"

"Gak semua orang yang kamu anggap jahat beneran jahat ... Dea!"

Dia melepaskan Sulay. Sulay telentang di lantai sambil memegangi lengan kanannya. Dea mendekati gue, mengambil sisa roti di piring gue lalu memakannya. Gue membantu Sulay berdiri. Tangan kanannya gemetaran. Kami bertiga duduk di meja makan. Dea memandangi Sulay yang kesakitan dengan sinis.

"Kenapa lo ... nyerang gue!?" tanya Sulay.

"Lo duluan yang nyerang gue!"

Mereka mau saling pukul lagi!

"Eh tenang! Santai!" kata gue.

Dea melipat kedua tangannya di dada. Mukanya tampak kesal.

"Do, dia ini jin jahat! Dia jin paling jahat dalam sejarah kantor kita!"

Gue memandangi Dea yang duduk di samping gue.

"Dia ... jin paling cantik ... kok."

Dea menoleh ke arah gue. Dia kembali senyum.

"Do! Lo apa-apaan, sih! Lo harus percaya sama gue!"

Gue berjalan masuk ke kamar, mengambil foto Dea di saku celana gue yang lainnya.

"Ini ... kamu, kan?"

Gue meletakkan foto itu di meja.

"Nah ini dia! Untung gak hilang. Makasih, ya, Do!"

Sulay dengan cepat mengambil foto itu.

"Lo mau apa dari Mardo!?"

"Balikin nggak!?"

Mereka mau saling pukul lagi. Kacau.

"Eh ...! mending ... kita ngopi dulu kali, ya. Biar enak ngobrolnya."

Nah, satu-satunya produk konsumsi yang ada di rumah gue adalah biji kopi. Masih ingat, kan waktu gue beli peralatan mata-mata di pasar? Gue segera membuat kopi dengan gembira. Karena semenjak gue kenal Mery, gue pengin dia nyobain kopi bikinan gue. Gue pengin tahu komentar dari tukang kopi beneran.

Dea dan Sulay masih gak mau saling menatap. Gue meletakkan tiga cangkir kopi di depan mereka. Karena keterbatasan alat dan kemampuan gue yang biasa aja, gue cuma bisa bikin kopi tubruk.

"Ayo, ayo ... ngopi dulu bro ...." kata gue dengan semangat.

Ketika semuanya sudah minum, dan gue rasa keadaan sudah mulai tenang, barulah gue beranikan diri buat memulai obrolan.

"Emm ... jadi gimana kopinya?"

"Enak. Aku suka," kata Dea.

"Lumayan, tapi masih jauh dari bikinan Mery."

Gue mengambil foto Dea dari tangan Sulay, memandanginya, lalu memandangi Dea di samping gue.

"Ini foto kamu waktu kapan ... De ... Ya ...?"

"Ini bukan foto. Ini lukisan."

Gue memperhatikan baik-baik foto itu.

"Enggak ... ini foto. Masa ada lukisan sebagus ini?"

"Iya, itu lukisan. Pelukisnya emang jago banget."

"Terus? Kapan ini dibikinnya?"

"Tahun lalu."

Sulay meletakkan cangkir kopi denga keras.

"Sekarang jawab. Lo mau apa dari Mardo?"

Gue menatap Dea.

"Bantu aku ketemu sama pelukisnya."

"Hah!? Emang kamu gak tahu siapa yang melukis? Terus kamu dapat ini di mana?"

Dea menggeleng.

"Ini hadiah perpisahan dari teman aku. Sebelum dia meninggal."

"Terus kamu mau apa kalau ketemu dia?"

Dea diam aja.

"Satu hal lagi. Kenapa lo menyegel Torgol ke dalam pedang Mardo?"

"Dia jahat! Dari awal dia berencana masuk ke dalam tubuh Mardo!"

"Tapi ... dia bantuin aku, kok waktu melawan Alan."

"Dia jago pura-pura. Karena emang itu kemampuan khususnya. Kalau aja dia berhasil masuk ke tubuh kamu, dia pasti sering ngendaliin emosi kamu, Do."

"Terus? Kenapa dia gak masuk-masuk? Justru dia kabur waktu aku temuin di pemancingan."

Dea menyingkap celana gue. Menunjukkan bekas luka yang sudah tertutupi sebuah tulisan.

"Karena kontrak ini. Cuma aku yang bisa masuk ke dalam tubuh kamu."

Iya juga, ya! Kenapa gue bisa selupa ini sama tulisan di kaki gue sendiri!? Sulay juga gak bahas hal ini lagi. Sialan. Si Bos juga gak pernah nanya soal hal ini lagi. Padahal, kalau emang Dea seburuk itu, sejahat itu dan seberbahaya itu ... harusnya perkara kontrak dan tanda ini jadi begitu penting buat dibahas. Aneh.

"Apa artinya kontrak ini buat kita?"

"Kita berbagi kehidupan, Do. Kamu dapat sebagian kekuatan gaib dari aku, dan aku dapat sebagian kehidupan dari kamu. Kamu jadi kuat dan kamu bisa komunikasi dengan jin, sementara aku ... aku merasa jadi manusia. Aku punya emosi dan kenangan. Aku merasa ... hidup. Karena kamu."

Sulay memegangi dahinya.

"Sekarang apa yang terjadi sama Torgol?"

"Dia dan pedang ini udah jadi satu. Dia masih hidup, tapi gak punya kuasa apa-apa lagi."

"Tuh, kan, Do! Dia ini jahat! Dia ini kejam, tahu!"

Gue menghabiskan kopi lalu kembali memandangi foto Dea yang ternyata sebuah lukisan.

"Kita mulai dari mana pencarian ini?"

Dea tersenyum.

1
Affan Ghaffar Ahmad
gass lanjut bang
Riva Armis: Tengkyu support nya Bang
total 1 replies
Ryoma Echizen
Gak kebayang gimana lanjutannya!
Riva Armis: tengkyu udah mampir ya
total 1 replies
art_zahi
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Riva Armis: tengkyu udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!