Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sinting
"Pa, Brie nanti mau homeschooling aja kaya Kakak Egi," celetuk Brie saat melihat Egi sedang menerima pelajaran dari Andrea. Keduanya berada di kamar dan membiarkan kamar terbuka. Brie ingin melihat Egi belajar dan kelihatannya mengasyikan.
Vincent mengelus kepala Brie pelan dan penuh kasih. Sesekali pria itu menciuminya. "Papa udah bilang mending homeschooling, kan, dulu? Siapa yang ngeyel minta masuk sekolah umum?"
Brie mendongak, menatap Vincent seraya menyandarkan kepalanya di lengan Vincent begitu manja. "Sekarang Brie nurut Kak Egi aja, Pa ... kayaknya enak jadi Kak Egi. Dia nggak pernah kena marah Papa, padahal kata Papa Kak Egi nggak pernah mau minum obat."
Kening Vincent mendadak mengerut. Obat apa maksud Brie?
"Kak Egi udah sembuh kok, dan emang Kak Egi nggak bisa minum sembarang obat." Vincent menjelaskan. Tapi sepertinya Brie tidak puas soal itu.
"Papa bilang ke Kak Egi katanya karena nggak minum obat, Papa yang akan usahakan biar nggak hamil dulu."
Vincent syok bukan main. "Brie nguping omongan Papa dan Kak Brie, ya?"
"Enggak." Brie menggeleng. "Pas pulang dari makan malam itu, Papa kan tau aku baru merem, jadi masih denger dikit-dikit."
Oh my God!
Vincent gusar sampai meraup wajahnya kasar. Waktu itu dia memang bilang begitu, karena dia ingin Egi fokus belajar dulu.
"Kak Egi takut hamil kenapa Papa yang usaha?" Brie bingung memandang Vincent tanpa mengubah posisinya yang bersandar di lengan Vincent.
Vincent yang sudah panas dingin memilih menyudahi saja topik yang tabu ini. "Brie mau homeschooling, kan?"
Brie mengangkat kepalanya, lalu mengangguk antusias ke arah Vincent.
"Janjinya cuma satu." Vincent mengacungkan telunjuk ke ujung hidung Brie dan menoelnya. "Brie harus setuju sama aturan Papa! Pertama, tidur tepat waktu, kedua jangan ganggu Kak Egi kalau Kak Egi lagi sama Papa! Ngerti!"
Brie memiringkan kepala, bibirnya manyun, ekspresinya heran. "Kenapa Papa sama Kak Egi sama-sama? Kak Egi harus diperiksa bener-bener gitu, ya, sama Papa sampai nggak boleh diganggu?"
"Iya, Papa harus memastikan Kak Egi sudah sembuh beneran atau belum! Dia kan suka ngaku udah baik padahal masih sakit!" Vincent mengiyakan saja ucapan Brie biar lebih cepat urusan ini beres.
"Kalau begitu kenapa Papa nggak periksa kami bareng-bareng aja—"
"Nggak boleh!" teriak Vincent secara refleks sehingga Andrea dan Egi yang berada di ruang depan menoleh ke kamar yang ditempati Brie.
Brie menutup telinga secara spontan dan langsung melesat masuk ke selimut. Sementara Vincent yang masih kesal menoleh ke ruang depan.
"Kenapa, Dokter?!" Egi bergegas mendekat usai meminta Andrea menjeda pelajaran sejenak.
Vincent membuka selimut Brie, lalu dengan enteng menjawab, "Brie nakal!"
Egi melihat ke arah Brie yang pura-pura tertidur. "Dia nggak nakal, tapi Dokter yang nggak bisa ngertiin Brie!"
Vincent melesatkan tatapan tidak suka atas ucapan Egi. Dua orang ini punya gelagat akan jadi ibu dan anak sambung yang akur, Vincent tidak suka itu terjadi. Bisa-bisa nanti dia yang dikacangin.
"Egi, balik ke meja belajar! Jangan buang waktu kamu jika kamu hanya ingin bela Brie! Ingat, biaya sekolah kamu mahal!"
"Aku bisa bayar sendiri, sekarang, Dok! Jangan kuatir—"
"Virginia! Kembali belajar atau masuk kamar kamu?!"
Egi terbirit-birit menuju ruang depan dan segera kembali belajar. Andrea tersenyum melihatnya.
"Keknya kamu bakal di hukum, Gi!" canda Andrea sambil terkikik dan menutup mulut.
Egi berdecak dan merengut tetapi wajahnya merah. Andrea sepertinya tahu Vincent akan melakukan apa nanti padanya.
Sementara itu, Vincent menidurkan Brie yang udah terpejam karena ketakutan itu dengan tepukan keras di paha Brie. Kepalanya yang tersangga oleh tangan itu sesekali melongok keluar, memberi Egi yang hanya terlihat sisi wajahnya itu tatapan yang mengancam.
"Punya uang sedikit aja udah sombongnya ngalahin yang punya sumber uang!" Vincent berdecak, lalu beralih ke Brie. "Ini juga, yang punya dia itu aku, kamu nggak boleh klaim dia seenaknya, kaya dia itu milikmu sendiri!"
Vincent mendenguskan napasnya keras-keras. Dia merasa seperti orang gila ketika setiap detik dihidupnya kini hanya ada Egi. Dia orang yang betah dengan pekerjaan, tapi kini, pekerjaan bahkan ingin ia tinggalkan demi Egi.
"Aku perlu psikiater!"
...
"Lana, Mama takut kalau ancaman Arfa itu sungguh-sungguh!" Nungki sampai berurai air mata saat menelpon Lana malam itu. Brie adalah cucunya yang berharga. Mana boleh dia dibiarkan begitu saja. Brie akan menjadi ahli waris dari harta Vincent sebab Brie lahir dalam pernikahan yang sah antara Lana dan Vincent.
"Ma, Vincent emangnya diam aja kalau itu terjadi?!" Lana merasa ini hanya akal-akalan Arfa saja agar dia kembali. "Tenang aja, Ma ... Arfa bahkan nggak bisa nyentuh rambut Brie walau sehelai."
Nungki tahu, tapi Lana juga harus terlihat berusaha. "Mama tau, tapi bisa nggak kamu kasih tau Vincent kalau Brie dalam bahaya agar dia lebih waspada."
Lana berdecak. Ini merepotkan saja. "Ya udah, Ma! Aku matikan dulu, biar aku ingatkan Vincent soal ini."
Lana mematikan sambungan telepon dengan sang Mama lalu mengirim pesan ke Vincent.
"Arfa ngancam aku, Vin! Dia mau nyulik Brie!"
Setelahnya, Lana memantau pesan itu, seberapa cepat Vincent membacanya walau tidak lagi membalas.
Senyum Lana terukir saat tidak sampai semenit, pesan itu sudah dibaca.
"Aku masih prioritas, kan, Vin? Walau diam-diam saja!"
Lana merebahkan dirinya ke ranjang lalu memejamkan mata dengan senyum paling lebar dan bahagia di dunia.
"Mungkin aku harus lebih lama di sini, biar nanti Vincent bisa menyambutku sebagai ibu yang paling perhatian."
Pemikiran gila yang hanya mampu dipikirkan oleh orang paling gila di dunia.