Eirene, seorang model ternama, karena kesalahannya pada malam yang seharusnya dapat membuat karirnya semakin di puncak malah menyeretnya ke dalam pusara masalah baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, menjadi istri seorang tentara marinir.
Rayyan, anak kedua dari 3 bersaudara ini adalah seorang prajurit angkatan laut marinir berpangkat kapten, bukan hanya sederet prestasi namun setumpuk gelar playboy dan keluarganya turut melekat di belakang namanya. Tak sangka acara ulang tahun yang seharusnya ia datangi membawa Rayyan menemui sang calon penghuni tetap dermaga hati.
"Pergilah sejauh ukuran luas samudera, tunaikan janji bakti dan pulanglah saat kamu rindu, karena akulah dermaga tempat hatimu bersandar, marinir,"
-Eirene Michaela Larasati-
"Sejauh apapun aku berlayar, pada akhirnya semua perasaan akan berlabuh di kamu, karena kamu adalah dermaga hatiku."
-Teuku Al-Rayyan Ananta-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMEWAHAN, KISAH KITA TLAH USAI
Akhirnya tepat pukul 16.00 Wib mobil hitam milik umi Salwa terdengar memasuki gerbang rumah.
"Gilak tuh cewek, baju Zahra ampe membleh gini, ketarik-tarik?!" omel Zahra.
"Kak Eyi ngga apa-apa kan?" tanya Zahra melihat Eirene khawatir.
"Kalo ngga dipisah, tuh cewek abis!" ujar Eirene mendesis.
"Sini coba umi liat," umi menarik dagu Eirene yang sempat kena cakaran perempuan gempal tadi karena melindungi mertuanya.
Kejadian tadi berlangsung chaos namun berujung damai karena pemilik rumah makan keluar untuk melerai dan Salwa membayar ganti rugi atas kerusakan, ia juga menelfon Afrian demi menyeret ketiganya ke meja hijau atas pencemaran nama baik.
"Tuh cewek makannya apa sih, gue sampe nyuksruk! Untung aja bisa ngehindar," omel Fara. Untunh saja Saga bersama Kintan berada di area aman.
"Lain kali kamu jangan asal siram aja Ra, jadinya kan tawuran!" cerocos umi.
"Abisnya nyebelin banget, pake bilang ka Eyi artis yang ngga laku di tanah air! Jadinya bawaannya kan pengen siram aja tuh mulut pake kuah cabe!" jawab Zahra. Pertikaian yang terjadi tadi berawal dari mulut nyinyir mereka yang tiba-tiba disiram kuah cabe oleh Zahra.
"Jangan ada yang bilang abi, Fath atau Ray. Biar nanti umi aja yang bicara!" umi mewanti-wanti.
Pintu terbuka menampakkan ketiga pria dengan wajah masam. Bau-baunya sih hampir bisa disamakan dengan makanan basi bekas hajatan kemarin.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam," cicit mereka.
"Umi lama amat!"
Mereka masuk ke dalam rumah seraya menceritakan kemana saja seharian ini. Tapi di tengah langkahnya, Rayyan berhenti merasakan getaran ponselnya.
"Hallo,"
(..)
"Siap laksanakan!"
"Dek, kita harus pulang ke kesatuan sore ini juga." Rayyan menarik tangan Eirene, sontak saja mereka semua menoleh.
"Secepat ini? Bukannya kalo nikah dapet cuti?" umi mengerutkan dahinya.
"Tapi dengan syarat dan ketentuan berlaku mi, kalau ada panggilan darurat ya tetap saja..pertiwi memanggil mi," bukan Rayyan namun Al Fath yang menjawab.
Eirene yang masih belum mengerti dengan aturan mainnya hanya bisa ikut masuk ke dalam kamar, dimana Rayyan bersiap mengganti pakaiannya dengan seragam loreng yang sebelumnya ia tinggalkan.
Eirene duduk di tepian ranjang, memperhatikan Rayyan yang sedang mengganti pakaian.
"Dek, koper kamu mana yang mau dibawa?" tanya Ray berjongkok di depan Eirene.
"Ini kita pindah lagi? Ngga sama honey? Umi atau..." Rayyan menyunggingkan senyumannya.
"Apa sekarang kamu menyesal?" Rayyan bertanya.
Eirene menggeleng ragu, tanpa berkata-kata.
"Disana hanya ada kamu, aku dan rumah biru," ucap Rayyan meyakinkan dan menggenggam tangan Eirene.
"Abang yakin Eyi bisa jadi istri prajurit--kita sama-sama membangun bahtera rumah tangga berdua," lanjutnya lagi tanpa aba-aba mencium kening Eirene, membuat gadis ini mengerjap, belum pernah ia menerima perlakuan se-intens ini termasuk dari para pebisnis yang menjadi pendukungnya.
"Mana koper yang mau dibawa, biar abang masukkin ke mobil?"
"Itu!" tunjuk Eirene ke arah pojok kamar dimana koper-koper miliknya berdiri.
"Itu--itu--sama itu!"
Rayyan mengerjap spechless, "banyak amat?"
"Baju Eyi banyak Ray," jawabnya.
"Yang penting aja, biar sisanya ditinggal saja disini," imbuh Rayyan.
"Iya, itu semua penting. Ada peralatan make-up, sebagian tas, baju, sepatu juga!"
"Ngga bisa dikurangin?" Rayyan meminta keringanan diskon, tapi Eirene menggeleng tanpa ampun.
"Oke," Rayyan mengalah dan mendorong keempat koper Eirene keluar kamar. Begitupun Eirene yang kini memakai jaket dan mengganti celananya.
Al Fath terkekeh melihat adiknya kini kena tulah karma, dulu ia yang suka seenaknya pada perempuan tapi sekarang ia seolah dibalas oleh kelakuannya dulu. Apa yang kamu tanam itu yang kamu tuai. Eirene keluar dari kamar disambut para penghuni rumah yang siap melepas keduanya, honey lah yang paling pertama memeluknya.
"Baby---nanti honey main-main ke markas om-om gagah! Jadi istri yang baik buat bang Ray, jangan manja, jangan berulah!"
"Kak Eyi, belajar banyak-banyak dari kak Fara. Kalo si playboy nyebelin pulang aja kesini, aduin aja ke umi," ucap Zahra.
Ia melihat ke arah umi yang sudah berkali-kali menghela nafas, "Hufft! Tiba saatnya umi harus pisah lagi sama mantu umi!" perempuan paruh baya ini merangkul kedua pundak Eirene.
"Umi yakin kamu bisa jadi istri prajurit yang tangguh!" umi memeluk Eirene.
"Selamat bertugas nak, selamat mendampingi putra abi--" peluk abi Zaky.
"Semoga tetap istiqomah Eirene, abang yakin kamu bisa mendampingi Ray," Al Fath ikut memberikan do'anya, Eirene mengangguk.
"Well, tiba saatnya kita harus kembali ke kodrat kita sebagai perempuan Eyi, setelah kamu puas melanglang buana di duniamu. Awalnya pasti kaget--tapi Fara yakin, lambat laun kamu pasti akan terbiasa dan nyaman di zona kamu, karena itu yang Fara rasakan. Sedikit tips dari senior nih---cie ellahh senior!"tawanya.
"Be strong! Jangan perlihatkan kelemahanmu pada siapapun, kalau kamu butuh sandaran, akan selalu ada Ray, dan kami," pelukan hangat sang ipar dan keluarga lain memberikan Eirene kekuatan tambahan.
Acara pamitan keduanya memang terasa terburu-buru, tapi tidak mengurangi rasanya. Dengan diantar supir, malam itu Eirene dan Rayyan meluncur menuju Markormar. Eirene menghela nafasnya seraya menatap jalanan di luar jendela, bagaimanakah hidupnya setelah ini? Kemanakah angin akan membawa langkah selanjutnya, hanya Tuhan yang tau.
Laju mobil sedikit terhambat karena kemacetan ibukota di jam pulang kantor, membuat Eirene mengantuk karena kelelahan akibat seharian jalan-jalan bersama keluarga Rayyan. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, bahkan suara adzan saja mulai terdengar di setiap sudut ibukota.
Terlihat diantara senja yang mulai menggelap, gagahnya pilar gerbang Markormar berdiri, lalu pak Janu membanting stirnya ke arah gerbang markas.
Kaca mobil dibuka saat melewati pos PROVOS untuk melapor.
"Buka gerbangnya!" pinta Rayyan.
"Eh, malam Kapt!"
"Dit, buka gerbang!" pintanya pada sang rekan.
"Terimakasih," ucap Rayyan.
"Sama-sama bang!" mereka mengangguk singkat dengan hormat. Mobil milik umi itu melaju melewati deretan rumah sedikit lebih bagus di blok-blok depan Kormar dan beberapa gedung kantor, staf Korps. Marinir.
..."Jalesu *****Jayamahe"...
...Di darat dan di laut kita jaya...
Keris samudra menjadi maskot diantara gagahnya gedung kesatuan, gudang senjata dan amunisi. Mobil berbelok ke area lapangan dan asrama prajurit yang banyak dihuni para perwira muda yang sedang dalam masa pelatihan. Ada masjid batalyon yang megah berdiri dan dapur juga kantin dekat asrama. Blok rumah Rayyan sedikit agak di belakang dekat dengan kebun milik batalyon.
"Pak Janu langsung bawa mobilnya pulang saja, makasih sudah mengantar!" ucap Rayyan keluar dari bangku pengemudi dan mulai mengeluarkan koper-koper sebesar dosanya di dunia milik Eyi.
"Sama-sama mas Rayyan, sudah tugas saya," ucapnya membantu sang anak majikan.
"Mbak Eirene'nya gimana to mas?" ia menggaruk kepala yang ditumbuhi ketombe setebal daki monster.
"Biar nanti saya yang bangunin," jawab Ray. Ia membuka dahulu rumah dan menyalakan lampu, lalu mulai memasukkan koper-koper itu.
Tetangga samping rumahnya melongokkan kepala ke luar jendela penasaran dengan keadaan di luar, penganten baru sudah kembali lagi dari bulan madu singkat, bulan madu? Bahkan mereka belum melakukan apa-apa.
Dilihatnya wajah lelah gadis itu, ia bahkan sedikit menganga membuat Rayyan gemas saja, "Eyi, bangun. Udah nyampe!" Rayyan menepuk-nepuk pipi Eirene membuat gadis itu mengerjap beberapa kali dan membuka kelopak matanya sulit.
"Udah nyampe ya?" ia menegakkan duduknya dan menggeliat.
"Kok sepi?" tanya nya celingukan ke arah luar mobil, hanya ada lampu-lampu dari teras luar para tetangga saja yang menyala.
"Maunya, diadain pesta rakyat gitu?" tanya Rayyan terkekeh.
Eirene mencebik, "ck!"
"Kalo jam segini, orang-orang lagi pada solat. Yang non muslim paling udah di rumah," jawab Rayyan kali ini serius, ya kaleee-- mesti dijelasin sampe mulut berbusa.
"Yu turun!"
Eirene turun dari mobil, menjejakkan kakinya di luar mobil.
"Mas Ray, saya pamit ya!"
"Nggak mau ikut solat dulu pak?"
"Di jalan saja mas," angguknya singkat.
"Oh gitu, oke deh pak, makasih ya!"
Eirene mendongak dengan wajah yang tak dapat diartikan, ia mengeratkan cengkraman di dadanya, "ini---"
"Selamat datang di rumah kita!" ucap Rayyan berseru.
Meleset jauh dari perkiraan, bukan mansion apalagi griya tawang, atau setidaknya villa dan rumah bergaya Eropa.
"Rumah? Maksudnya ini rumah dinas kamu?" tanya Eirene menunjuk dengan wajah syok.
"Yap!" angguknya mantap, semantap kopi susu.
"Yuk!" ia menarik gadis itu untuk masuk ke dalam rumah dinasnya, dimana ada halaman sepetak dengan kursi plastik dua buah di depan teras. Halaman yang belum ada tanaman apapun disana selain dari tempat digelarnya pasar malam oleh sejumlah semut dan serangga.
Separuh jiwa Eirene sudah berlarian kocar-kacir,
"Kemewahan, kisah kita tlah usai!!!" ia menjerit dalam hati.
.
.
.
.
Yang greget sama Eyi karena manggilin Ray tanpa kata hormat sabar ya. Ada masanya seorang Eirene akan berubah namun tidak terburu-buru dan langsung jegerrr!!! berubah sepenuhnya, ada proses yang harus dijalani untuk sebuah perubahan, biarkan semua mengalir seperti seharusnya. Karena secara tak langsung dan tak disadari, dari awal bab saja mimin sudah menyuguhkan sebuah konflik etika, attitude, dan konflik mental Eirene yang menganut adab budaya luar pada para pembaca. Konflik tidak harus perang dan gugur saja kan😁 Bagi para pembaca yang sudah mengibarkan bendera putih di awal, itu artinya kurang suka dan tidak tahan dengan konflik etika yang disuguhkan 😊🙏