menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34 : mimpi&tangisan penyesalan
Malam itu terasa sunyi, dan udara di kamarku terasa semakin dingin. Aku terbangun dengan tubuh yang menggigil dan napas yang memburu, keringat dingin membasahi wajahku, membasuh sisa ketakutan yang tersisa dari mimpi buruk yang baru saja menghantuiku. Kegelapan di kamar terasa makin menekan, seolah-olah mimpi itu masih hidup dan berdengung di kepalaku, menari-nari dalam bayang-bayang.
Dalam mimpi itu, aku melihat kedua orang tuaku berada dalam siksaan yang mengerikan. Sosok gelap menyeret mereka, melemparkan mereka ke dalam api yang menyala-nyala. Tubuh mereka terbakar, kulit mereka melepuh, dan mereka menjerit kesakitan. Tangisan dan jeritan itu begitu menyayat, mencabik-cabik hati dan menggemakan rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku mencoba mendekati mereka, ingin menolong, namun tubuhku tak bisa bergerak, seolah ada tembok tak terlihat yang menghalangiku untuk menyelamatkan mereka.
Lalu, sosok lain muncul. Sosok perempuan yang sedang menari. Perempuan itu menari dengan pakaian ketat dan terbuka sambil dikelilingi para lelaki yang menggerayangi nya dengan penuh nafsu. Aku tercekat saat mengenali wajah perempuan itu. Dia... dia mirip denganku. Bahkan, itu aku! Aku tak bisa menyangkalnya; pakaian itu, gerakan itu, semuanya adalah apa yang selama ini kulakukan di klub malam.
Setiap kali aku menari, sosok-sosok menyeramkan itu mencambuk kedua orang tuaku, melemparkan mereka kembali ke api yang menyala. Aku melihat mereka menahan sakit, melolong tanpa daya. Tanganku gemetar, aku ingin berteriak, tapi suara itu tak keluar, tercekik di tenggorokanku. Aku hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan orang tuaku disiksa, disakiti, dihukum tanpa belas kasihan, semuanya karena dosa-dosa yang kubawa, noda yang kugoreskan dalam hidupku.
Aku terbangun dari mimpi itu dengan rasa takut yang menghancurkan. Suara jeritan orang tuaku masih menggema dalam pikiranku, menembus kesadaranku dan mengguncang hatiku. Rasa bersalah yang begitu dalam merayap, menggerogoti pikiranku tanpa ampun.
Aku bangkit, masih gemetar. Langkahku berat, tapi aku terus berjalan menuju kamar mandi, mencoba menemukan ketenangan dalam wudhu. Dalam dinginnya air yang menyentuh kulitku, aku merasakan penyesalan yang meresap sampai ke tulang. Setelah selesai, aku menggelar sajadah, berlutut, bersujud, dan shalat taubat, berharap bisa menghapus sedikit dari beban yang kurasakan.
Setelah selesai, aku angkat kedua tanganku dan mulai berdoa, dengan suara lirih yang serak dan penuh ketakutan. Hatiku penuh kepedihan, namun aku tetap memohon.
"Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Ya Allah, aku mohon, jangan hukum mereka karena dosaku. Jangan biarkan orang tua yang telah melahirkan dan merawatku dengan penuh kasih harus menanggung akibat dari segala keburukanku. Ya Allah, aku sadar, aku telah banyak melupakan-Mu, tenggelam dalam dosa dan kesalahan yang terus kuulang. Tapi aku takut, ya Allah, sungguh aku takut. Jika saatku tiba, aku tak sanggup menghadapi siksaan-Mu.”
Suara doaku bergetar, perlahan berubah menjadi isakan. Dalam sujud, air mataku tumpah tanpa henti, membasahi sajadah. Penyesalan membakar jiwaku, seolah mimpi itu menegurku, memperlihatkan kenyataan bahwa dosa-dosa yang kuanggap sepele bisa menjerumuskan orang tuaku dalam penderitaan.
Bayangan kedua orang tuaku yang sedang dalam siksaan itu begitu nyata, menghantui setiap detik malam itu. Aku teringat betapa tulusnya mereka menyayangiku, bagaimana mereka baru saja pulang dari umrah dengan senyum damai. Namun di balik senyum mereka, hatiku malah menyimpan dosa yang hanya akan menghapus semua pahala yang telah mereka kumpulkan dengan penuh perjuangan.
Sujudku makin dalam, air mataku tak berhenti mengalir, meresap ke dalam sajadah yang terasa basah. Aku merasa kotor, penuh dengan penyesalan yang menusuk-nusuk batin.
"Ya Allah, jika Engkau masih berkenan mendengar, ampuni aku. Jangan biarkan dosa-dosaku menjadi beban bagi kedua orang tuaku. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu di malam yang sunyi ini, aku takut, aku benci diriku yang terbuai dalam nafsu duniawi. Berikan hamba kesempatan untuk memperbaiki diri, dan jauhkan lah orang tuaku dari azab-Mu."
Suara jeritan mereka di mimpi itu terus menghantuiku. Setiap kali aku teringat, hatiku semakin hancur. Aku merasa tak berdaya, terpenjara dalam rasa bersalah dan ketakutan yang semakin dalam. Malam itu, aku tak berhenti berdoa, tak bisa lepas dari bayangan siksaan yang mereka alami. Betapa teguran ini menghantam hatiku hingga berkeping-keping.
Ketika akhirnya kelelahan mengalahkanku, aku tertidur di atas sajadah, dalam ketakutan yang membayangi setiap helaan napasku. Malam itu terasa seperti malam paling panjang dalam hidupku, malam yang meninggalkan bekas di hatiku, mengajarkan betapa kejamnya dosa yang selama ini kupeluk erat.