Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sabotase
Hawa dingin itu tidak alami. Mumu tahu pasti, ini bukan sekadar cuaca atau ventilasi yang kurang baik.
Dingin ini datang dari sesuatu yang tidak terlihat, tapi nyata.
Perasaan itu mengganggunya, menusuk-nusuk ketenangannya. Sebagai seorang yang mengandalkan kekuatan spiritual dalam pengobatannya, Mumu merasa ada yang salah.
Dulu, ia percaya penuh bahwa kemampuan spiritualnya adalah puncak dari segala ilmu.
Ia mampu mengobati penyakit, mengusir gangguan jin, dan bahkan mendeteksi kehadiran makhluk halus yang sering luput dari mata biasa.
Mumu telah banyak menghadapi hal-hal supranatural dan selalu berhasil mengatasinya.
Kepercayaan itu membuatnya merasa kuat, bahkan tak terkalahkan.
Namun, kali ini berbeda. Kekuatan spiritualnya tidak mampu mendeteksi sesuatu yang seharusnya berada tepat di depan mata.
“Hawa dingin.” Gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan diri.
Tapi rasa itu makin menguat, dan semakin lama, semakin tidak wajar.
Ia menarik napas panjang, menenangkan diri dengan teknik pernapasan yang selalu ia gunakan dalam meditasi.
Matanya terpejam, mencoba membuka kekuatan spiritualnya lebih dalam.
Selama beberapa detik, ia hanya mendengar desiran napasnya sendiri dan suara lirih dari luar jendela. Tapi, seperti sebelumnya, tidak ada apa-apa yang terdeteksi.
“Mengapa tidak ada apa-apa?” Mumu bertanya dalam hati, kali ini penuh keraguan.
Ia merasa frustrasi, dan seketika sebuah pepatah melintas di pikirannya.
'Di atas langit masih ada langit.'
Pepatah itu pernah ia anggap hanya sekadar kiasan, tidak relevan dengan kenyataan yang ia hadapi.
Tapi sekarang, Mumu dihadapkan pada satu kenyataan yang tak terbantahkan.
Ilmu yang selama ini ia banggakan ternyata tidak mampu menjangkau sesuatu yang lebih dalam, lebih tersembunyi, yang jelas-jelas ada di dalam kamar ini.
“Apakah ini batas kemampuanku?” Gumam Mumu lirih, nyaris tidak percaya.
Di sudut kamar, Erna, istrinya, berbaring diam. Ia masih tertidur, namun wajahnya tampak sedikit lebih tenang dibandingkan saat terakhir Mumu melihatnya.
Erna telah lama menderita sakit yang datang dan pergi, tak bisa dijelaskan secara medis maupun pengobatan spiritual Mumu.
Setiap kali ia sembuh, penyakit itu kembali dengan cara yang sama, tanpa gejala fisik yang jelas.
Mumu sudah berulang kali mencoba berbagai cara, dari teknik medis hingga ilmu spiritual, namun hasilnya selalu sama, hanya bersifat sementara.
Sambil berdiri, Mumu berjalan perlahan menuju jendela.
Angin malam yang lembut berhembus, membawa sedikit kehangatan dari luar, tapi di dalam kamar, hawa dingin tetap menggantung.
Ia tahu ada sesuatu di sini, tapi kali ini, ia benar-benar merasa kecil di hadapan yang tak kasat mata itu.
...****************...
Randy duduk di kursi kantornya dengan tangan memegangi kepala. Rasa pusing yang dia rasakan bukan karena lelah, melainkan tekanan mental yang luar biasa.
Sejak dia memulai usaha perkapalan dan distribusi minyak beberapa tahun lalu, Randy tidak pernah menduga bahwa usahanya akan menghadapi ancaman yang sebesar ini.
Satu lagi kapalnya disabotase oleh pihak yang tak dikenal, dan ini adalah insiden kedua dalam bulan ini.
"Pak Randy...," Suara asisten pribadinya, terdengar dari pintu.
"Ini laporan terbaru tentang kapal yang disabotase tadi malam."
Randy menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia mengambil dokumen yang disodorkan asistennya dan mulai membacanya.
Laporan itu tidak banyak berbeda dari insiden pertama yang terjadi dua minggu lalu.
Kapal yang membawa minyak menuju pelabuhan utama tiba-tiba berhenti di tengah laut setelah mengalami kerusakan mesin yang tidak wajar.
Saat teknisi diperiksa, mereka menemukan bahwa ada bagian-bagian mesin yang dirusak dengan sengaja.
“Kejadian yang sama...” Gumam Randy sambil menggelengkan kepala.
"Musuh kita semakin berani."
Asistennya hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa.
Suasana di kantor sudah tegang selama berminggu-minggu. Setiap hari, tekanan semakin besar, dan Randy tampak semakin frustasi.
"Kita sudah lapor polisi, tapi sampai sekarang belum ada hasil. Kita tidak bisa terus begini." Randy melanjutkan, nadanya semakin putus asa.
"Jika kita tidak segera menemukan pelakunya, usaha kita bisa hancur."
Asistennya berdiri diam di depan Randy, menunggu instruksi.
Dia tahu bosnya adalah orang yang sangat tekun, tidak mudah menyerah, tapi kali ini situasinya memang jauh lebih serius.
Sabotase bukanlah masalah sepele, terutama dalam bisnis yang melibatkan minyak dan transportasi laut.
Jika kapal-kapal terus disabotase, kerugian yang mereka alami tidak hanya akan menghancurkan reputasi perusahaan, tapi juga menyebabkan kerugian finansial yang besar.
"Pak Randy..." Asistennya akhirnya angkat bicara,
"apa mungkin ini ulah pesaing kita?"
Randy memejamkan mata sejenak. Pesaing. Kata itu selalu terlintas di benaknya sejak insiden pertama.
Dia tahu, banyak yang iri dengan kesuksesannya.
Beberapa tahun terakhir, usahanya berkembang pesat, mendapatkan kontrak-kontrak besar dengan perusahaan minyak internasional.
Namun, seiring dengan itu, banyak juga yang mulai memperlihatkan sikap tidak suka, baik terang-terangan maupun diam-diam.
"Banyak orang iri dan dengki melihat kesuksesan orang lain." Gumam Randy.
"Aku sudah menduganya. Mungkin ini memang ulah mereka, tapi tanpa bukti, kita tidak bisa berbuat apa-apa."
Asistennya mengangguk, meski dia sendiri merasa frustasi. Mereka sudah menyelidiki segala kemungkinan.
Keamanan kapal telah ditingkatkan, tetapi musuh tampaknya selalu selangkah lebih maju.
Mereka bertindak cepat, rapi, dan seolah-olah tahu setiap gerakan yang dilakukan oleh perusahaan Randy.
“Apa kita harus mengambil langkah lebih drastis, Pak?” Tanya asistennya dengan hati-hati.
“Langkah drastis seperti apa?” Randy menatapnya tajam. Dia tahu apa yang dimaksud asistennya.
Mengambil tindakan sendiri, mencari cara di luar jalur hukum. Tapi itu adalah sesuatu yang selalu Randy hindari.
“Sudah dua kapal, Pak. Jika kita kehilangan satu kapal lagi, kontrak besar kita dengan pihak luar negeri bisa dibatalkan. Itu akan menghancurkan reputasi perusahaan.”
Randy terdiam. Dia tahu apa yang dipikirkan asistennya ada benarnya.
Perusahaan mereka sedang dalam posisi genting. Namun, dia juga tahu bahwa mengambil langkah sembarangan tanpa bukti konkret bisa membuat situasi semakin buruk.
“Saya sudah meminta bantuan polisi, tapi hasilnya masih nihil.” Suara Randy terdengar getir.
“Kita harus tetap tenang dan tidak gegabah. Kita harus percaya pada hukum.”
Asistennya tidak melanjutkan argumennya. Dia tahu betul prinsip Randy, tapi juga mengerti bahwa mereka berada di tepi jurang.
“Baik, Pak. Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Randy bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah jendela, memandang ke luar.
Langit di luar tampak cerah, tapi pikiran di kepalanya gelap.
Dia tahu bahwa semakin lama mereka membiarkan situasi ini berlangsung, semakin besar peluang musuh untuk menghancurkan usahanya.
Namun, tanpa petunjuk, tanpa bukti yang jelas, dia merasa seperti terjebak dalam lingkaran tanpa akhir.
“Hubungi orang-orang kita di pelabuhan.” Ujar Randy akhirnya.
“Kita perlu memperketat keamanan, bukan hanya di kapal, tapi juga di sekitar dermaga. Jika ini sabotase, ada kemungkinan pelakunya menyusup saat kapal masih bersandar.”
Asistennya segera mencatat instruksi itu.
“Baik, Pak. Saya akan atur semuanya.”
Setelah asistennya pergi, Randy kembali duduk. Kepalanya masih terasa berat.
Bukan hanya karena pusing, tapi juga karena beban tanggung jawab yang terus menghimpit.
Dia teringat percakapan dengan salah satu mitranya beberapa bulan lalu, yang sempat memberinya peringatan tentang risiko bisnis di sektor energi.
“Kamu harus hati-hati, Pak Randy.” Kata mitranya waktu itu.
“Bisnis ini keras. Banyak yang tak suka melihat orang lain sukses. Dan mereka tidak akan segan-segan melakukan apa saja untuk menjatuhkanmu.”
Randy tidak terlalu memikirkan peringatan itu saat itu. Tapi kini, semua terasa nyata.
Musuh-musuhnya sedang menyerang, dan mereka tidak bermain-main.
Dua kapal yang disabotase bukanlah kebetulan. Mereka mengincar titik paling vital dalam usahanya, yaitu distribusi minyak.
Dia menarik napas panjang dan mencoba menenangkan diri.
“Ini belum berakhir.” Gumamnya pelan.
“Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan semuanya.”
Pikirannya mulai berputar, mencari solusi. Dia tahu bahwa menunggu hasil penyelidikan polisi saja tidak cukup.
Musuh mereka bergerak cepat, dan dia tidak punya banyak waktu. Mungkin, sudah saatnya dia mulai berpikir lebih strategis, menggunakan cara-cara yang tidak konvensional.
“Aku butuh bantuan...” Randy berbicara sendiri. Tapi kali ini, dia tahu, bantuan itu tidak akan datang dari polisi atau hukum.
Dia butuh seseorang yang mampu bergerak di luar aturan, seseorang yang bisa menyusup ke balik layar dan menemukan siapa di balik sabotase ini.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...