Bagaimana rasanya, jika suamimu yang merupakan seorang dosen, digoda oleh sepupumu sendiri, yang tak lain adalah mahasiswi di kampus yang sama.
Bahkan, mereka sampai berani menginap di hotel. Pahahal, mahasiswi ini baru setahun menikah. Berita pernikahannya pun sempat viral, karena ia merupakan seorang selebgram yang dinikahi pengusaha tampan, berusia 12 tahun di atasnya.
"Kamu harus merasakan bagaimana rasanya suamimu diambil orang!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
“Apa-apaan sih si Mila, sudah merebut Arya dari Selia, sekarang semakin membuat panas keadaan. Apa dia tidak sadar dengan kelakuannya itu. Kita ini 'kan saudara, bisa-bisanya dia berbuat begitu. Dia pasti sengaja menyuruh Arya melakukannya biar kita iri,” geram mama Selia saat mengadu pada sang suami.
“Selia yang sudah merebut suami Mila. Jadi kalau sekarang Mila sama mantan suaminya Selia, ya sudah. Lagi pula haknya Mila jika takdirnya ia mendapatkan suami seperti Arya. Salahkan anakmu kenapa dulu saat masih menjadi istrinya Arya dia malah selingkuh,” ujar papa Selia semakin membuat mama Selia geram.
Merasa suaminya tak mendukung anaknya sendiri, mama Selia gondok.
“Justru Papa dukung Selia, kalau Papa tidak dukung dia, Papa tidak akan menikahkannya dengan Rega. Orang anakmu sendiri yang mau,” tutur papa Selia tanpa beban.
Meninggalkan suaminya, mama Selia beranjak dari sofa menuju kamar.
Ia lalu menghubungi sang anak.
“Mama tidak mau tahu ya, Sel. Rebut Arya kembali! Mama tidak sudi si Mila hidup enak, sedangkan kamu hidup seperti ini!” ketusnya di telepon.
Selia yang saat ini tengah kurang akur dengan Rega, merasa terbebani dengan permintaan mamanya. Meski sejujurnya, ia juga ingin kembali pada Arya. Setelah menjalani kehidupan dengan Rega, ia merasa kehidupannya bersama Arya lah yang paling membahagiakan. Apalagi kini, Rega kembali pulang malam setelah pertengkaran mereka di kampus kala itu.
Mantan suami Mila itu kembali mendatangi klub malam untuk menyembuhkan frustrasinya akan kehidupan rumah tangganya. Ia merasa tempat itu sudah menjadi tempat paling aman untuknya melepas seluruh beban pikiran. Tentunya, kali ini ia sengaja berjanjian dengan Luna.
“Saya minta maaf atas kelakuan istri saya, dia memang sensitif sekali semenjak hamil,” tutur Rega saat bertemu Luna di klub.
Tersenyum, Luna bisa memahaminya. Baginya, apa yang Selia lakukan sangat lah wajar. Bahkan jika ia berada di posisi Selia, ia juga akan melakukan hal yang sama. “Wanita mana pun pasti akan over protective kalau punya suami seperti Pak Rega."
Mereka pun mulai meminum segelas demi segelas, sembari berbincang lebih dalam tentang kehidupan pribadi masing-masing. Termasuk juga Rega yang menceritakan permasalahan rumah tangganya yang kini sedang kurang baik. Luna seakan bisa menjadi pendengar yang baik, juga memberikan petuahnya bak seorang penasihat.
Tak sadar, Rega telah menghabiskan beberapa gelas hingga ia mulai mab*k. Luna yang hanya meminum satu gelas, kesadarannya masih sangat terjaga. Melihat Rega yang sudah teler, ia menuntun dosennya itu ke parkiran.
“Kita pulang ya, Pak, biar saya yang nyetir mobil Pak Rega.” Luna meminta kunci mobil Rega dan membantunya berjalan menuju mobil.
Jalanan yang sepi, membuat Luna bisa sampai di rumah Rega hanya dalam waktu beberapa menit saja. Ia lalu turun dan membantu Rega yang masih tak sadar, kemudian mengetuk pintu rumah sang dosen. Tak lama, Selia keluar.
“Mbak, Pak Rega mab*k. Jadi, aku yang bawa mobilnya,” ujar Luna menyerahkan kunci mobil pada Selia dan setengah mendorong tubuh Rega pada istrinya.
Setelahnya, Luna pamit.
“Hei! Saya peringatkan kamu jangan pernah mendekati suami saya! Kamu akan tahu akibatnya jika masih berani mengganggu rumah tangga saya," ancam Selia lalu membawa Rega masuk ke dalam.
***
“Arya, bagaimana kalau denganmu aku tetap tidak bisa hamil juga. Saat dengan Rega saja sepertinya aku yang bermasalah, terbukti dengan Selia bisa hamil begitu cepat dengannya. Sedangkan kamu sudah menandatangani surat itu,” tutur Mila sendu, setelah mereka sampai hotel.
Arya memang menginginkan anak dari Mila, untuk semakin memberi pelajaran pada Selia, bahwa anaknya bersama Mila akan mendapat segala sesuatunya yang lebih baik dari pada anak yang dikandung Selia.
“Kita usahakan saja dulu. Kalau perlu, kita program hamil ke dokter kandungan di sini,” jawab Arya asal-asalan.
Mila pun menanyakan bagaimana dengan titipan barang-barang keluarga besarnya, jika mereka malah mau berobat.
Tampak menghubungi seseorang, Arya memintanya untuk datang ke hotelnya saat itu juga.
“Aku sudah mengutus seorang personal shopper untuk membelanjakan barang titipan mereka. Kamu tenang saja, aku tidak mungkin mengajakmu belanja hanya untuk membeli barang orang lain, apalagi sampai membuat kamu kelelahan. Kamu tidak boleh terlalu lelah jika ingin program hamil. Justru kamu harus bersenang-senang selama di sini,” jelas Arya membuat Mila tersenyum lebar karena ia tak perlu pusing membelanjakan titipan-titipan itu.
Mila bahkan tak masalah jika selama di Singapura mereka hanya fokus ke dokter, yang penting ia bisa segera hamil.
“Tidak bisa begitu, aku tetap akan mengajakmu belanja. Apa iya aku malah tidak memanjakan istriku sendiri, sedangkan orang lain saja aku bebaskan mau beli barang apa pun yang mereka mau,” jawab Arya sembari bersiap mandi.
Tapi, baru juga akan melangkahkan kakinya ke kamar mandi, ia menengok Mila yang masih terpana melihat pemandangan malam hari dari jendela kamar hotel.
“Ehm, bagaimana kalau kita cicil dulu program hamilnya? Bukan kah begini yang namanya bulan madu?" Arya berjalan mendekati Mila, mengurungkan niatnya untuk mandi dan mulai mencumbu istrinya.
Mereka pun kembali memadu kasih, disaksikan oleh mewahnya kamar hotel berbintang di negeri singa itu.
Sayangnya, saat baru merasakan keseruan bermain, seseorang mengetuk pintu kamarnya, yang ternyata adalah orang utusan Arya yang diminta menemuinya.
“Tunggu dulu di luar!” teriak Arya tetap melanjutkan permainannya malam ini.
Hingga keesokan paginya, Arya yang sudah menghubungi pihak rumah sakit untuk membuat janji dengan dokter di rumah sakit terbaik di Singapura, bersiap untuk segera berangkat.
“Setelah dari rumah sakit, kita akan berjalan-jalan,” ajak Arya sebelum mereka berangkat.
Mila yang baru pertama ini ke luar negeri, tentu bahagia bukan main. Bisa berkunjung ke negara tetangga adalah salah satu impiannya sedari dulu. Tapi apa boleh buat, keadaan ekonominya yang tak mendukung, seakan tak mengizinkannya berlibur ke negeri orang.
Begitu tiba di rumah sakit dan mengurus prosedur administrasi, kini Arya dan Mila mulai melakukan rangkaian tahapan pemeriksaan kesuburan secara menyeluruh dengan alat yang mutakhir selama beberapa jam. Setelahnya, mereka dipersilakan bertemu dokter untuk dilakukan wawancara singkat dan rencana program mereka. Arya mulai menjelaskan singkat perihal pernikahan sebelum dan sesudah mereka, dengan riwayat dugaan masalah pada kesuburan masing-masing.
Mila tampak lebih banyak diam saat suaminya berinteraksi dengan dokter.
Setelah melakukan percakapan beberapa waktu lamanya, dokter mengatakan akan membaca hasil pemeriksaan mereka terlebih dahulu, sebelum memutuskan pemberian tindakan.
“Dokter bilang apa? Kapan hasilnya keluar?” tanya Mila sedikit berbisik.
“Antara esok sampai lusa mereka akan menghubungi kita jika dokter sudah membaca hasilnya,” jawab Arya lalu mengajak Mila keluar ruangan.
Selama perjalanan dari rumah sakit menuju restoran untuk mencari makan, wajah Mila memucat dan lebih banyak diam selama di mobil. Apalagi, ia mengurungkan niatnya untuk pergi berbelanja seperti yang sudah direncakan. Selain karena waktu mereka tersita banyak saat di rumah sakit, Mila tak minat bersenang-senang. Arya pun hanya bisa menerima keputusan istrinya.
“Aku takut jika aku memang tidak bisa punya anak dan akan mengecewakanmu,” ujar Mila seakan tak siap dengan hasilnya nanti.
Menghiburnya, Arya tak ingin memikirkannya karena saat ini alat kesehatan sudah sangat canggih. Mereka akan tetap bisa memiliki anak, sekali pun dengan metode bayi tabung atau dengan metode yang lainnya. Arya bahkan tak mempermasalahkan dengan cara apa mereka bisa memiliki anak.
Ia pun meminta Mila agar tak berpikir terlalu dalam. “Kita harus bersenang-senang di sini, sebab itu juga akan mempengaruhi segalanya.”
Mereka pun menggunakan waktu selama di Singapura untuk berlibur. Tak memberi jeda pada pikiran-pikiran yang membuat stres untuk masuk ke dalam otak. Makan, belanja, dan berkunjung ke pusat destinasi wisata yang menyenangkan. Perlahan, Mila mulai menikmati semua ini, meski masih ada rasa tak tenang dalam hatinya.
Dua hari berlalu paska pemeriksaan waktu itu, rumah sakit menghubungi nomor Arya saat ia dan istrinya tengah makan malam.
“Yes, it’s me here. How about our medical report? What the doctor said?”
(“Ya, dengan saya di sini. Bagaimana hasil pemeriksaan kami? Apa kata dokter?”)
Ia tampak mendengarkan dengan saksama penjelasan yang dipaparkan oleh pihak rumah sakit.
Dengan raut wajah datar dan pandangan yang tak berarah, Arya terdiam sekian detik.
“What? Have you checked it twice or more?”
(“Apa? Apa kalian sudah memeriksanya dua kali atau lebih?”)
...****************...