Kesalahan di masa lalu membuat Maudy memiliki seorang anak.
Seiring bertambah usia, Jeri merindukan sosok seorang ayah.
"Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Maudy pada pria itu.
"Aku tidak mau!" tolaknya tegas.
"Kamu tahu, Jeri sangat menyukaimu!" jelas Maudy. Semua demi kebaikan dan kebahagiaan putranya, apapun akan dilakukannya.
"Aku tahu itu. Tapi, aku tidak suka mamanya!"
Akankah Maudy berhasil memberikan papa untuk Jeri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hai_Ayyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 - Janda Anak Satu
"Menikah itu-" Maudy tampak berpikir untuk menjelaskan maksud menikah pada sang anak.
Jeri dengan wajah polos melihat mamanya. Menunggu penjelasan.
"Menikah itu ikatan suci antara pria dan wanita yang berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga." jelas Maudy. Menurutnya mungkin begitulah arti pernikahan.
Walau dia dulu pernah merencanakan pernikahan. Tapi saat itu ia terpaksa menerima lamaran Yoan. Apalagi coba, kalau bukan karena desakan dari mamanya dan juga Yoan itu sangat tajir sekali.
Maudy mencibir dirinya sendiri, ia bisa menjelaskan hal seperti itu. Ucapan ini dengan perbuatan di masa lalu sangat berbeda sama sekali. Tapi bisa menjelaskan pada Jeri, seperti dahulu ia itu wanita baik.
Jeri mengangguk atas perkataan mama Maudy. "Jeri mau menikah juga, ma. Jeri mau membangun keluarga juga."
"Apa?" tanya Maudy sambil tertawa. Ada saja perkataan putranya itu.
"Jeri masih kecil, tidak boleh menikah. Nanti kalau Jeri sudah besar dan dewasa, baru boleh menikah." Maudy menjelaskan kembali. Jangan sampai anaknya salah tanggap. Bisa bahaya.
"Oh, begitu ya ma. Kalau Jeri sudah besar seperti papa, baru boleh menikah?" tanya Jeri kembali.
Maudy mengangguk. "Saat Jeri sudah besar, boleh menikah dengan wanita yang Jeri cintai."
Jeri menganggukkan kepala. "Jadi mama cinta sama papa?"
Maudy tersedak. Cinta? Ia cinta dengan pria itu?
"Papa yang cinta sama mama!" sanggah Maudy. Pria itu yang dengan segala modus saat mendekatinya, jelas sekali Roni sangat mencintainya. Ia biasa saja. Sulit menaklukkan hatinya.
"Jeri! Jeri..." suara oma Novia terdengar.
"Iya, oma!" jawab Jeri.
"Kalian ngapain?" tanya oma melihat ibu dan anak itu berbaring di lantai.
"Kami olah raga, oma." jawab Jeri.
Oma Novia mengangguk. "Oma bawa makanan dari pengajian."
Jeri bangkit dan menghampiri omanya. Ia meraih bungkusan itu.
"Mama, ayo kita makan!" ajak Jeri. Melihat nasi kotak bawaan oma membuatnya jadi lapar.
"Kita mandi dulu ya." ucap Maudy. Tubuhnya lengket karena berkeringat. Putranya juga begitu.
Jeri mengembalikan bungkusan kepada omanya. "Oma, Jeri mandi dulu ya. Nanti kita makan bersama."
Oma pun mengangguk.
"Mama, ayo kita mandi!" ajak Jeri.
"Jeri saja dulu!"
"Mama dulu. Mama kan mandinya lama!"
"Jeri duluan lah, nak." Maudy masih keletihan. Masih ingin berbaring.
Maudy kaget saat tangan anaknya memegang tubuhnya, berusaha untuk mengangkat.
"Mama berat! Jeri tidak bisa menggendong mama!" ucap Jeri dengan wajah cemberut. Tubuh mama Maudy lebih besar darinya.
"Jeri nanti mau makan yang banyak biar cepat besar. Nanti Jeri gendong saja mama, kalau malas mandi!" ucap bocah kecil itu.
Jika nanti ia sudah besar seperti papanya, akan mudah menggendong mamanya ke kamar mandi.
Maudy yang gemas dengan putranya pun bangun dan membawa Jeri dalam pelukannya. Memeluk sambil menggoyang-goyangkan tubuh kecil itu.
Oma Novia terharu melihat interaksi ibu dan anak itu. Putrinya begitu sangat menyayangi Jeri, meski Jeri anak dari Denis.
Jeri tidak dianggap dan tidak diakui oleh Denis. Bahkan pria itu tidak mau bertanggung jawab pada perbuatannya. Tapi Maudy tetap merawat dan membesarkan Jeri dengan kasih sayangnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tin...
Roni menoleh ke arah depan, sebuah mobil berhenti. Saat ini ia berada di depan kantor, akan memesan ojek.
Tadi pagi ia tidak mengendarai mobil, karena nona Maudy.
"Pak Roni, kenapa belum pulang?" tanya Satria begitu turun dari mobil. Ia menghampiri pria itu.
"Saya sedang menunggu ojek, Sat." jawab Roni. Ia mengotak-atik ponselnya.
"Kenapa mobil anda?" tanya Satria ingin tahu.
Roni berpikir sejenak, tidak mungkin menceritakan yang tadi pagi sudah terjadi.
"Ta-tadi dibawa ke bengkel."
"Apa yang rusak, pak?" tanya Satria. Perasaan yang diberikan perusahaan mobil baru.
"Itulah!" jawab Roni sekenanya.
Sepeda motor berhenti di dekat mereka.
"Atas nama mas Roni."
"Iya, saya. Satria duluan ya!"
Roni pamit dan naik ke sepeda motor itu. Tidak lupa memakai helm, kepala perlu dilindungi.
"Hati-hati, pak." balas Satria. "Sayang, semangat ya. Maksud saya, Pak Roni semangat ya!"
Satria meledek pria itu, kembali mengingatkan ucapan Maudy beberapa saat yang lalu. Saat menyemangati calon suami.
Dan Roni mendadak kesal. Ia pun merapatkan gigi dan juga menatap tajam pada pria yang makin lama makin menjauh darinya.
Kang ojek telah mengendarai sepeda motornya menuju kost-an.
Malam menjelang, Roni tampak terbaring di ranjang dengan masih mengenakan pakaian kantor.
Tadi begitu sampai kost-an, pria itu memilih tidur. Ia tidak butuh mandi, karena tubuhnya begitu kelelahan.
Tok... Tok... Tok... Suara ketukan pintu.
Suara pintu membangunkan Roni dari tidurnya. Ia meraih ponsel untuk melihat waktu, sudah pukul 9 saja.
Tok... Tok... Tok... Pintu kembali diketuk.
Pria itu mendudukkan diri di ranjang lalu merentangkan tangan. Sejenak terdiam mengumpulkan jiwa dan raga yang masih berhamburan.
Tok... Tok... Tok... Kali ini mengetuk pintu cukup kuat.
Roni pun berjalan dengan malas, ia pun membuka pintu.
"Mas, kenapa lama sekali membuka pintu?" tanya Cici dengan wajah kesal. Tah sudah berapa kali diketuk dan hampir saja mau didobraknya pintu itu.
"Hah?" tanya Roni. Anak ibu kost kenapa mendatanginya.
Cici melihat Roni yang masih memakai pakaian kantor dengan wajah baru bangun tidur.
"I-ini dari mama!" ucapnya memberikan sepiring nasi goreng. Cici mulai gugup, meski penampilan Roni begitu tapi tetap keren dan tampan. Ditambah lagi suaranya yang serak-serak seksi.
Roni tidak menerima hanya melihati nasi goreng itu. Sepertinya Cici masih berusaha mendekatinya, padahal ia sudah menunjukkan langsung.
Tapi sepertinya Cici tidak menyerah juga.
"Mas, diterima dong. Tanganku capek pegang piring!" ucap Cici. Pria itu tidak pengertian.
"Maaf, aku tidak bisa terima. Kamu tidak perlu repot-repot!" Roni menegaskan perkataannya. Lalu akan menutup pintu karena merasa tidak perlu terlalu bicara pada anak ibu kost itu.
"Mas, tunggu!" Cici menahan pintu dengan tangannya. Ia tidak bisa membiarkan Roni mengabaikannya begitu saja.
"Apa kurangnya aku, mas? Kenapa kamu lebih memilih wanita itu? janda itu sudah memiliki anak, Mas!" Cici tidak habis pikir, Roni lebih memilih janda anak satu itu.
Menurut Cici, Maudy itu janda. Karena telah memiliki anak. Tah karena perceraian atau ditinggal mati suaminya, tidak peduli lah.
Kenapa lebih memilih janda anak satu dari pada dirinya yang masih gadis. Meski Roni duda, tidak seharusnya dengan janda juga. Apalagi janda itu sudah memiliki anak.
Kepala Roni terasa pusing. Nggak Maudy, nggak Cici. Mereka sama saja. Sama-sama menyebalkan dan tidak mau mendengarkan orang lain.
"Aku akan menikah dengannya, karena aku mencintainya." Roni pun beralasan begitu. Sudah berucap begitu seharusnya Cici mengerti.
"Tidak!" Cici menggeleng. Malah bawa-bawa cinta.
"Mas, tinggalkan janda itu dan menikahlah denganku. Aku akan mencintaimu setulus hatiku!" Cici akan tetap bertahan. Ia sangat serius dengan pria itu. Roni tidak boleh jatuh ke tangan janda anak satu atau wanita lainnya.
Roni menggaruk kepalanya sambil membuang nafasnya dengan kesal. Cici masih juga bersikeras.
"Maaf ya." Roni melepaskan pegangan Cici dari pintu kost dan menutup pintu tersebut.
"Mas! Mas!" Cici menggedor-gedor pintu kamar kost Roni. Ia kesal sekali ditolak mentah-mentah seperti ini.
"Mas, beri aku kesempatan!" ucap Cici dari depan pintu. Masih juga mengetuk pintu.
"Mas!"
"Mas!"
"Mas Roni!"
Cici mengusap air matanya. Roni sangat jahat sekali mengabaikan perasaannya. Sudah memanggil seperti itu tapi tidak juga mau membuka pintu.
"Mas, akan kuadukan kamu pada mamaku!"
.
.
.