Varel adalah seorang mantan prajurit yang berhenti karena suatu insiden yang besar.
Kini dia menjadi seorang pengawal dari seorang wanita cantik yang bernama Cintia. Cintia adalah wanita yang terkenal begitu cantik bak seorang Dewi di kota itu.
Cintia selain cantik juga begitu arogan terhadap Varel. Tapi Varel juga dengan profesional menjalankan tugasnya untuk melindungi Cintia.
"Kamu jangan terlalu dekat dengan ku!" marah Cintia kepada Varel.
"Oh, baiklah," jawab Varel.
Seorang pembunuh tiba-tiba saja muncul dan langsung menembakkan pistolnya ke arah Cintia. Cintia tampak terkejut dan begitu ketakutan.
Peluru itu melesat dan akan menembus dada Cintia, akan tetapi Varel sudah lebih dulu menarik dan memeluk tubuh Cintia, lalu jatuh bersama untuk melindunginya.
"Kamu... beraninya memelukku," marah Cintia yang sedang terbaring di lantai sambil di peluk Varel.
"Eh..." Varel seolah tidak percaya dirinya baru saja menolongnya, tapi justru malah di makinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus budianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 34 TERSAKITI
Julisa segera melayangkan tendangan dengan kaki kanannya dan menghantam tubuh varel, seketika Varel terpental ke belakang.
Julisa hendak menyerang Varel lagi, namun suara sirine mobil polisi terdengar di sana. Julisa hanya bisa memutuskan untuk mundur terlebih dahulu dari sana.
Cintia segera berlari menghampiri Varel tanpa memperdulikan lukanya. Cintia terlihat begitu panik melihat Varel baru saja tertusuk pisau.
"Varel kamu terluka," ujar Cintia sambil memapah Varel.
"Vanesa, kenapa?" ucap Varel sendiri seolah tidak memperdulikan Cintia di dekatnya.
Karena Varel kehilangan banyak darah, pandangannya mulai kabur dan kemudian menjadi gelap.
"Varel bertahan aku mohon!" Cintia mulai menangis melihat Varel dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Polisi juga telah tiba dan langsung mengamankan tempat itu. Tidak lama berselang mobil ambulance telah tiba dan membawa mereka pergi ke rumah sakit.
Sampai di rumah sakit Cintia terlihat begitu sangat panik.
"Dokter tolong selamatkan pacar saya ini, tolong dok!" ujar Cintia sambil menangis.
"Nona, serahkan semuanya kepada kami, nona lebih baik mengobati luka di lengan anda terlebih dahulu," balas dokter.
Kemudian Varel mulai masuk ke dalam ruang operasi untuk mengobati luka tusuk di dadanya.
Dua jam berlalu kini Varel sudah berada di ruangan perawatan masih dalam kondisi tidak sadarkan diri.
"Nona tenang saja, operasinya berjalan lancar, pacar nona ini memiliki daya tahan tubuh yang sangat hebat, besok pagi mungkin dia sudah sadar," ujar dokter kepada Cintia.
"Baik dok, terima kasih banyak," balas Cintia.
Cintia mulai duduk di kursi di sebelah Varel yang sedang terbaring di ranjang. Mata Cintia terlihat masih merah karena bersedih.
Cintia memegangi telapak tangan Varel dan tanpa sadar Cintia tertidur di sana.
Sementara di tempat lain Julisa sedang berbicara kepada Kevin.
"Sialan, padahal hampir saja," ucap Julisa dengan kesal.
"Julisa ada apa, kamu terlihat sangat kesal?" tanya Kevin.
"Kak, aku hampir saja membunuh Varel si bajingan itu dan membalaskan dendam ayah kita," jelas Julisa.
"Aku berhasil menusuk dadanya dengan pisau, tapi ketika aku hendak menyerangnya lagi, tiba-tiba polisi datang di sana dan aku hanya bisa pergi," sambung Julisa.
Kevin sedikit terkejut mendengarnya dan kemudian menunjukkan senyuman jahat di bibirnya.
"Kamu hebat sekali Julisa, aku yakin kamu pasti bisa membunuhnya di lain waktu," ujar Kevin.
"Ya, aku harus membunuhnya," balas Julisa.
"Tapi aku merasa ada yang aneh dengan Varel itu," ujar Julisa.
"Maksudnya aneh bagaimana?" tanya Kevin.
"Pertama kalinya bertarung denganku dia begitu sangat hebat, bahkan aku sampai terdesak, tapi begitu dia melihat wajahku, kehebatannya seolah menghilang dan aku bisa menusuknya dengan sangat mudah," jelas Julisa.
"Dan terlebih aneh lagi, dia seolah mengenalku dan memanggilku dengan nama Vanesa, bukankah itu aneh," sambung Julisa.
"Itu tidak usah kamu pikirkan, yang terpenting adalah kematiannya, ayah telah merawat mu dengan penuh kasih sayang, jadi sudah sepatutnya kamu berbakti kepada ayah untuk membunuhnya," ujar Kevin.
"Ya, kakak benar, aku harus membunuhnya," balas Julisa dengan mengepalkan tangannya.
Julisa mulai pergi meninggalkan ruangan itu. Wajah Kevin terlihat begitu puas melihat Julisa seperti ini.
"Ini akan semakin menarik," ucap Kevin sambil meminum segelas bir.
"Varel bagaimana kamu mendapatkan ajalmu dari orang yang dulu kamu sayangi," sambung Kevin.
Pukul 6 pagi Varel perlahan mulai membuka matanya. Varel sedikit bingung mendapati dirinya sudah terbaring di ranjang rumah sakit. Varel mulai mengingat kejadian sebelumnya.
"Vanesa, aku sangat senang kamu masih hidup, tapi kenapa kamu menyerangku?" ucap Varel dalam hati.
Kemudian Varel baru sadar bahwa ternyata ada Cintia yang sedang tertidur duduk menyandarkan kepalanya di ranjangnya.
Cintia perlahan juga mulai sadar dan membuka matanya.
"Varel kamu sudah sadar," ujar Cintia sambil mengucek matanya.
"Aku sangat khawatir sekali, kamu tertusuk pisau," sambung Cintia.
"Aku tidak apa-apa," jawab Varel.
Varel mulai duduk dan melepaskan peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Bagi Varel luka tusuk seperti ini bukan masalah yang besar baginya yang merupakan mantap prajurit.
"Varel apa yang kamu lakukan?" tanya Cintia.
"Aku harus segera pergi dari sini," jawab Varel hendak turun dari ranjangnya.
"Kamu baru saja siuman dan kamu ingin pergi," ujar Cintia.
"Aku sudah baik-baik saja," balas Varel turun dari ranjangnya dan mulai berjalan ke arah pintu keluar.
"Varel tunggu!" ujar Cintia.
"Apa kamu berniat untuk mencari Vanesa?" tanya Cintia dengan perasaan yang sulit di jelaskan.
Mendengar itu Varel hanya berdiri diam untuk beberapa saat.
"Jawab Varel!" sambung Cintia melihat Varel hanya diam saja.
"Ya, aku harus bertemu dengannya dan berbicara dengannya," jawab Varel.
Varel mulai berjalan pergi dari sana, sementara hati Cintia menjadi sangat terluka. Varel seolah kini tidak memperdulikannya lagi, dan seolah ada jarak di antara mereka.
"Varel, seberapa berarti kah wanita itu di matamu, hingga kamu begitu tega kepadaku," ucap Cintia dengan air mata yang jatuh dengan sendirinya.
Varel sendiri kini mulai mencari keberadaan Vanesa dengan tujuan yang tidak jelas. Dia terus berputar-putar berkeliling pelosok kota untuk dapat menemukannya.
"Vanesa, aku harus menemukanmu," ucap Varel.
"Pasti ada kesalahpahaman di antara kita, hingga kamu menyerangku seperti ini," sambung Varel.
Varel terus mencari hingga larut malam, namun sama sekali tidak menemukan petunjuk apapun. Hingga akhirnya Varel memutuskan untuk kembali terlebih dahulu.
"Kamu belum tidur?" tanya Varel melihat Cintia yang masih duduk di ruang tamu rumah.
"Aku khawatir kepadamu, jadi aku menunggumu kembali," jawab Cintia.
"Maaf kalau telah membuatmu khawatir," ujar Varel mulai duduk di sebelah Cintia.
"Apa kamu berhasil menemukannya?" tanya Cintia.
"Hah," Varel hanya mengusap wajahnya.
"Varel, apa kamu begitu sangat ingin bertemu dengannya, padahal dia baru saja hendak membunuhmu?" tanya Cintia.
"Pasti ada kesalahpahaman di antara kami, aku yakin pasti terjadi sesuatu yang tidak aku ketahui dan aku harus menyelesaikannya," jawab Varel.
"Kamu benar-benar peduli sekali kepadanya," ujar Cintia.
"Ya," balas Varel.
"Varel, apa kamu tidak memikirkan perasaanku?" tanya Cintia dengan serius, terlihat air mata Cintia menggenang di kelopak matanya.
"Apa yang kamu katakan, aku sangat perduli kepadamu," jawab Varel.
"Kamu pikir aku bodoh, aku tahu kamu masih menyukainya," ujar Cintia.
Cintia sudah tidak kuat menahannya lagi, hingga airmatanya perlahan mulai jatuh. Ini pertama kali bagi Cintia merasakan sakit karena cinta.
"Aku..." Varel merasa sangat bersalah melihat Cintia yang menangis.
"Cintia maafkan aku," sambung Varel.
Varel hendak memeluk Cintia untuk menenangkannya, tapi Cintia langsung mendorong tubuh Varel menjauh.
"Kamu jangan menyentuh ku, aku tidak mau hanya jadi pelampiasan mu saja," ujar Cintia.
"Cintia kenapa kamu berkata seperti itu?" varel terkejut sekali mendengarnya.
"Lantas apa, selama ini kamu anggap aku ini apa," ujar Cintia.
"Adakah berarti aku di matamu saat ini?" sambung Cintia.
"Aku..." Varel kembali bingung harus bagaimana.
"Aku sudah mengerti," Cintia mulai menghapus airmatanya.
"Tidak seharusnya memulai suatu hubungan, jika belum bisa melupakan masa lalunya," sambung Cintia.
"Cintia, bukan seperti itu," balas Varel.
"Baik, aku sudah putuskan, lebih baik hubungan kita berakhir saja, dan setelah ini kita harus menjaga jarak," ujar Cintia.
Cintia segera bangkit dan pergi dari sana, meninggalkan Varel seorang diri.
"Cintia, maafkan aku," ucap Varel melihat Cintia pergi.
Varel juga tidak mengejar Cintia, karena Varel juga tidak mau Cintia tersakiti. Varel juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa dia masih mencintai Vanesa.
Di dalam kamar Cintia mulai menangis kembali, layaknya seorang wanita dia lemah dan juga rapuh.
gk ad next??
kita temukan jawabannya pada chapter2 yg akan datang