Kehidupan Nazela begitu terasa sesak. Iya,dia bisa menajali hidup sesuai keinginan nya namun,tak ada hari tanpa berdebat dengan sang mamah yang ingin anaknya menjadi dokter. Keputusan Nazela menjadi seniman membuat sang mamah murka setiap harinya,hingga membuat Nazela sesak setiap kali melihat mamahnya.
Namun kehidupannya mulai berubah ketika sang sahabat mengenal kan nya pada Islam. Nazela memang seorang muslim namun ia cukup jauh dari kata taat karna background keluarga nya. Pola pandang Nazela mulai berubah ketika Sabrina mengenalkan nya pada tempat bernama pesantren. Ia mulai belajar mengenal Islam lebih dalam hingga ia merasa nyaman dengan hijab dan baju baju panjang yang tak membentuk lekuk tubuh nya. Ia akhirnya ia harus menghadapi berbagi macam ujian hidup termasuk ujian percintaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ell lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terimakasih Nazela
Afkar menjauhkan pandangannya ke atas langit biru yang menghitam karena persembunyian sinar pelita. Purnama dan kedipan bintang menghiasai langit malam kala itu, melukiskan betapa agungnya sang pemilik semesta. Entah apa yang sedang Afkar bayangkan, tiba tiba senyumnya merekah tulus, menghangatkan siapa pun yang mendapatinya.
Satu peristiwa manis terlintas dalam haluannya, saat pertama kali Afkar bertemu Nazela di pameran saat itu. Afkar menyadari bahwa saat Nazela memandangi hasil jepretannya dengan tatapan hangat, ia mulai merasa kagum pada wajah sendu nya yang begitu syahdu. Hingga akhirnya Afkar tahu, dia Nazela, dan kini mereka sudah sangat dekat tanpa proses pendekatan.
Mungkin hanya Nazela satu satunya perempuan yang membuat Afkar bisa jadi dirinya sendiri. Afkar yang selalu santun terhadap siapa pun, namun juga terkadang bersikap tegas dan dingin. Dan kini menampakkan wajah seorang gadis yang baru di kenal nya langsung membuat nya tersenyum tanpa sebab.
"Astaghfirullah hal'adziim"
Ujar Afkar pada dirinya kala menyadari apa yang terjadi padanya itu, ia membayangkan sosok wanita yang bukan mahromnya.
"Mikirin apa?"
Tanya Malik yang tiba tiba datang menghampiri Afkar, ia menempatkan dirinya tepat di sebelah Afkar sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku celana. Afkar yang spontan menoleh sambil mencoba menenangkan kegelisahan nya.
"Mas Malik, mas kok iso tahu aku nang kene?"
Sedari tadi, Afkar menatap langit luas di angkasa sana dari atas rooftop rumahnya yang menjadi tempat favorite nya karena hiasan berbagai macam bunga dan sedikit dekorasi taman di sekitarnya.
"Emang mas niat mau ke sini, ada yang mau mas kerjain"
Ujar Malik menjelaskan, lalu keduanya menatap kilauan bintang bersamaan. Ke duanya hanyut dalam pikiran nya masing masing.
"Mas Malik akan lama kan nang pesantren?"
Pertanyaan Afkar membuat Malik menoleh ke arah nya
"Mungkin, kenapa? Kamu ndak nyaman ada mas di sini?
"Oh ndak kok mas, aku malah seneng. Jadi iso ono sing nemenin abi kalo aku ndak lagi nang pesantren"
"Terus kenapa kamu nanya ini?"
"Aku cuman nek abi karo ummi ono sing nemenin pas nanti aku miyang neng Kairo"
"Jadi kamu beneran mau pergi ke sana?"
"Iyo mas, iku cita cita terakhir aku. Setelah iku, baru aku turutin cita cita abi dan ummi"
"Memimpin pesantren?"
"Dan menikah"
Jawab Afkar penuh keraguan, sambil menundukkan kepalanya, Afkar membuat Malik menatap nya bangga.
"Gak harus terburu buru! Cukupi semua keinginan kamu dulu Af! Kamu laki laki, akhir perjalanan mu adalah menjadi imam seorang wanita yang begitu di sayangi keluarganya. Jangan sampai kamu melukai nya atau bahkan menghancurkan nya"
Ujar Malik penuh makna, ia mengelus bahu Afkar tulus hingga membuat kedua tatapan mereka bertemu.
"Opo iku alesan e? Sing gawe mas Malik masih betah sendiri?"
"Ya, karena mas gak mau jadi laki laki pecundang seperti ayah mas. Yang pada akhirnya hanya melukai istri, anak dan keluarganya"
Tatapan kecewa Malik begitu jelas terlihat, Afkar bisa merasakan apa yang kakak sepupu nya rasakan itu. Kejadian itu juga sempat membuat umminya sedih, karena adik perempuan nya harus merasakan kisah kepahitannya berumah tangga.
*****
"Mamah!!"
Seru Camila yang baru melihat mamahnya tengah berbaring di atas tempat tidur dengan bagian tubuh yang penuh perban. Camila melempar tas ke sembarang tempat, dengan penuh kecemasan ia langsung berlari melihat kondisi Farah (Mamahnya)
"Mamah gak papa sayang, maaf ya nak. Mamah jadi bikin kamu pulang lebih cepet"
Ujar Farah sambil mencoba mendudukkan tubuhnya yang lemas pada bantal dan kepala ranjangnya.
"Mamah kok bisa gini sih?"
Camila ikut duduk di atas ranjang tepat di sebelah mamahnya.
"Mungkin mamah kurang hati hati atau kurang fokus, sampe suara klakson mobil mamah gak denger"
"Mulai besok dan seterusnya, biar mba Ita atau mba Surti aja yang ke pasar ya! atau mamah berhenti aja bikin catering nya. Gajih aku tuh cukup mah"
"Tapi orang orang pada suka sama masakan mamah, jadi biarin mamah lanjutin catering ini ya?"
"Tapi mamah janji gak usah ke pasar lagi!"
Farah menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, ia menyetujui apa yang putri sulungnya ucapkan itu.
"Tadi Zela kan yang jemput mamah?"
"Iya"
"Dia ada bilang sesuatu?"
"Dia marah sama mamah, mungkin itu rasa khawatir dan cemas dia. Buktinya ini, dia potongin buah buat mamah"
Farah menunjukkan piring buah yang tinggal menyisakan beberapa potong apel lagi.
"Syukur kalo gitu. Aku mau bersih bersih dulu, mamah istirahat ya! kalo ada sesuatu mamah panggil aku"
"Iya sayang, makasih ya"
Camila keluar dari dalam kamar mamahnya itu. Camila yang hendak membawa semua barang bawaannya ke kamar, tak sengaja melihat pintu rumah nya terbuka. Camila melupakan niat awalnya itu, ia berjalan ke arah pintu rumahnya dan mendapati Nazela yang sedang duduk di atas dinding pembatas rumahnya di depan teras. Pandangan Nazela jauh menembus mega hitam di langit malam, dengan secangkir kopi hangat di genggamannya, sedikit menghilangkan hembusan dingin malam itu.
"Makasih ya Zel"
Ucap Camila membangunkan lamunan Nazela, ia ikut duduk namun di atas kursi tepat di depan Nazela duduk
"Kakak kapan dateng?"
Tanya Nazela heran karena tak mengetahui kedatangan kakak nya itu.
"Belum lama. Kamu sendiri, ngapain di luar?"
"Gak papa, enak aja suasananya. Tadi kakak bilang apa? makasih, buat?"
"Buat kamu karena udah mau merhatiin mamah"
"Itu karena kakak gak ada aja, berhubung kakak udah ada di sini, jadi yaaaa gue gak perlu repot repot lakuin itu"
"Ya, sekarang jadi tugas kakak"
"Lagian ya kak, sekarang tuh sikap mamah aneh. Dia selalu ngelakuin hal hal yang gak pernah dia lakuin. Dan itu bikin gue muak"
"Mungkin sekarang mamah sadar Zel, dan dia mau memperbaiki nya dari awal. Jadi kamu terima aja sikap mamah ya!"
"Terima? sekarang? dari dulu kemana aja?. Oh gue tahu, pasti ini rencana mamah selanjutnya kan, buat menghancurkan gue. Atau kak Mila juga ada di balik semua perubahan mamah ini?"
Tanya Nazela begitu kesal, raut wajah yang tenang sebelum nya, kini berubah masam dan memerah.
"Zel!!"
"Gue gak mau bahas apa pun malam ini, kakak juga baru dateng kan, jadi mendingan istirahat!"
Cetus Nazela yang kemudian masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Camila yang masih ingin mengungkapkan sesuatu.
*****
"Zel! kita makan dulu yuk!"
Seru Camila dari ruang makan sambil menyiapkan beberapa menu makan malam untuk dirinya dan sang adik. Tak lama dari itu, nampak Nazela yang berjalan keluar dari salam kamarnya menuju suara seruan itu berasal. Melihat Nazela yang merespon panggilannya, Camila menciptakan senyum bahagianya walau wajah Nazela terus tertekuk masam.
"Kamu mau makan apa Zel?"
Tanya Camila pada Nazela yang hendak duduk di atas kursinya.
"Lo masak semua ini kak?"
Tanya Nazela tak percaya karena begitu banyak menu makan malam lezat yang terhidang di atas meja. Mulai dari capcay, ayam goreng, ikan gurami asam manis dan lainnya.
"Enggak sih, kakak cuman masak capcay sama ayam goreng doang, yang lainnya gofood"
Jawab Camila jujur. Nazela yang menganggukkan kepalanya dengan mata yang sudah tertuju pada ayam goreng mentega yang sudah memanggil manggil para cacing di perutnya. Tanpa ragu dan malu malu Nazela langsung melahapnya.
Sebelum nya, Nazela memang sempat berdebat kecil dengan kakaknya. Namun Nazela mudah untuk melupakan masalah kecil sama seperti yang sering terjadi antara Nazela dan Sabrina. Mungkin, jika Farah (Mamahnya) tidak terus menerus mendesak Nazela untuk pinda jurusan, Nazela juga akan dengan mudah melupakan setiap perdebatan kecil dengan sang mamah.
Nazela berpikir bahwa makanan kali ini pastinya bukan sang mamah yang memasak, maka dari itu ia langsung mendatangi Camila yang hanya memanggil nya satu kali.
"Kamu makan duluan ya! kakak mau anter ini dulu ke kamar mamah"
Ucap Camila sambil membawa satu porsi makan malam dan segelas air putih. Sambil menyantap ayam goreng nya, Nazela mengiyakan ucapan sang kakak.
"Gimana, enak?"
Tanya Camila yang baru datang dari dalam kamar mamahnya.
"Enak"
"Kakak denger, katanya yang anter mamah ke rumah dan beliin buah itu bos kamu?"
"Iya"
Jawab Nazela singkat. Mendengar jawaban jujur sang adik, Camila tersenyum bangga
"Terus skripsi kamu gimana?"
"Lancar, sekarang gue lagi tahap bimbingan. Dan dosen pembimbing gue itu sepupuan sama bos gue"
Nazela mulai terlihat nyaman bercerita dengan sang kakak, membuat Camila lebih leluasa untuk mengajaknya mengobrol
"Oh ya? terus mamah bilang, katanya bos kamu itu anak nya kyai? pemilik pesantren Al-Imran?"
"Mamah cerita apa aja sama kakak?"
"Itu aja"
Camila menggigit bibirnya, ia menyadari bahwa pertanyaannya salah hingga membuat Nazela berubah ekspresi. Keduanya kembali pada makan malamnya, hanya obrolan singkat yang menemani ruang makan yang hanya menampakan dua orang di dalamnya.