Season 2 Pengganti Mommy
Pernikahan Vijendra dan Sirta sudah berusia lima tahun lamanya, namun mereka belum dikaruniai momongan. Bukan karena salah satunya ada yang mandul, itu semua karena Sirta belum siap untuk hamil. Sirta ingin bebas dari anak, karena tidak mau tubuhnya rusak ketika ia hamil dan melahirkan.
Vi bertemu Ardini saat kekalutan melanda rumah tangganya. Ardini OB di kantor Vi. Kejadian panas itu bermula saat Vi meminum kopi yang Ardini buatkan hingga akhirnya Vi merenggut kesucian Ardini, dan Ardini hamil anak Vi.
Vi bertanggung jawab dengan menikahi Ardini, namun saat kandungan Ardini besar, Ardini pergi karena sebab tertentu. Lima tahun lamanya, mereka berpisah, dan akhirnya mereka dipertemukan kembali.
“Di mana anakku!”
“Tuan, maaf jangan mengganggu pekerjaanku!”
Akankah Vi bisa bertemu dengan anaknya? Dan, apakah Sirta yang menyebabkan Ardini menghilang tanpa pamit selama itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Vi masuk ke dalam rumahnya, terasa sunyi dan hampa. Rumah sebesar dan semewah itu sudah tidak nyaman lagi untuk Vi singgahi, apalagi di saat dia lelah sepulang kerja, tidak ada yang menyambutnya, istrinya masih berada di luar, keluyuran tak jelas. Tidak ada anak yang menyambutnya saat pulang, yang bisa memberikan semangat baru untuk hari esoknya.
Namun seketika wajahnya menerbitkan senyum kebahagiaan, kala mengingat Ardini yang kini tengah mengandung anaknya. Semangatnya terbit lagi, dan Vi tidak mau Sirta curiga saat ini, ia harus terlihat biasa saja, ia harus terlihat bahagia di rumahnya itu, meskipun kehampaan terus menghinggapi hatinya.
“Tuan sudah pulang?” sapa pembantu di rumahnya.
“Baru saja, Bi. Apa Sirta sudah pulang?” tanya Vi.
“Nyonya tadi keluar lagi, Tuan,” jawabnya.
Vi hanya bisa mengerutkan keningnya. Janjinya meleset lagi, padahal Sirta sudah janji pada dirinya, kalau dia akan menyambut kepulangannya, tapi ternyata janjinya tidak Sirta tepati, Sirta masih di luar rumah, dia pergi lagi, urusan dengan teman-temannya yang Sirta pentingkan, daripada menyambut kedatangan suaminya yang seminggu lebih tak pulang.
“Apa dia tidak curiga aku gak pulang seminggu? Ini perempuan macam apa? Suaminya gak pulang seminggu, padahal perginya tanpa pamit dia, malah dia tidak mempermasalahkannya? Aku kagum pada Sirta soal kepercayaannya padaku, tapi tidak seperti ini. Harusnya kamu sambut aku pulang, selayaknya istri pada umumnya yang menyambut kedatangan suami yang baru pergi seminggu lamanya,” batin Vi.
“Tuan mau saya buatkan minum?”
“Buatkan saya lemon hangat ya, Bi? Pakai madu,” jawab Vi.
“Baik, Tuan.”
“Nanti ditaruh di meja ruang keluarga saja, Bi.”
“Iya, Tuan, baik.”
Vi bergegas ke kamarnya, ia membersihkan diri, dan mengganti bajunya dengan pakaian santai. Setelah selesai, dia memilih keluar dan duduk di ruang keluarga sambil menikmati secangkir lemon hangat.
Vi mendudukkan dirinya di sofa, lalu mengambil ponselnya. Ia langsung mencari kontak Ardini, dan menghubunginya lewat chat.
[Sudah tidur, Din? Aku sudah sampai rumah.]
Dengan senyum yang mengembang, Vi membayangkan wajah istri keduanya itu. Ia membayangkan jika malam-malam begini, ia sedang menikmati malam bersama Ardini dengan penuh kehangatan.
Ting!!!
Ponsel Vi berdenting, ada pesan masuk. Vi langsung melihat siapa yang mengirimkan pesan. Ia berharap Ardini membalasnya. Senyuman Vi terbit, saat melihat siapa yang mengirim pesan.
[Aku belum tidur, katanya suruh nungguin mas kasih kabar dulu?]
[Sudah malam, istirahatlah. Aku sudah di rumah, sedang menikmati secangkir lemon hangat, tapi sayangnya ada yang kurang.]
[Hmmm ... kurang apa, Mas?]
[Kurang kamu, gak ada kamu. Biasanya kalau sedang menikmati lemon hangat, kamu menemaniku, kita cerita-cerita, lalu setelahnya .... aku kangen sekali, Adin. Baru beberapa jam gak ada kamu sudah begini.]
[Mas, tahan kangennya, ya? Kamu gak boleh begitu, kan sedang dengan Mbak Sirta.]
[Dia masih diluar, belum pulang. Aku pulang dia masih diluar, Din. Gak tahu apa yang ada di pikirannya, sudah tahu suami mau pulang malah kelayaban.]
[Mas, jangan begitu. Kali saja ada urusan penting. Sudah nanti juga sebentar lagi pulang? Atau mas telefon saja, bilang mas sudah di rumah.]
[Nanti mas telefon, mas kangen kamu, Sayang.]
Ardini yang berada di kamarnya sendirian dia senyum-senyum sendirian, membayangkan jika Vi berada di dekatnya pasti laki-laki itu sudah manja bak bayi besar. Gak mau lepas darinya, sampai pagi pun tidak berhenti memeluknya, dan mengecupi pipinya dengan gemas.
[Aku juga kangen mas.]
Vi terseyum membaca pesan dari Ardini. Namun seketika senyuman itu sirna, karena mendengar pintu depan terbuka, dan mendengar suara manja Sirta memanggil namanya dengan setengah berlari mencari diriya.
Buru-buru Vi membalas pesan Ardini, karena tidak mungkin Vi terus bertukar pesan degan Ardini.
[Sayang, Sirta pulang. Nanti aku hubungi lagi, ya? Love you more, Adin. Istirahatlah, jangan banyak pikiran. Cukup aku saja yang memikirkan kamu. Nanti aku kabari lagi.]
“Mas ... sudah pulang, ya?” ucapnya sambil berjalan.
“Iya, kamu dari mana?” jawabnya sambil memasukkan ponselnya di dalam saku celana. “Baru mau aku hubungi kamu, sudah mau jam sepuluh belum pulang, aku kan bilang malam ini pulang? Aku kira kamu menyambutku pulang? Malah kamu pergi?” ucap Vi dengan sedikit menampakkan wajah kecewanya pada Sirta.
“Maaf, Sayang ... tadi ada acara mendadak, biasa Ralin minta diantar aku. Suami dia main perempuan lain di belakang Ralin,” ucap Sirta dengan wajah yang menunjukkan kalau dirinya berempati pada sahabatnya itu.
“Oh,” jawab Vi lalu mendekati Sirta dan mencium kening Sirta.
“Benar tahu, Mas? Suami Ralin selingkuh? Tadi kita mergoki dia, terus akhirnya suaminya jujur, itu perempuan memang selingkuhannya suami Ralin. Tega sekali, gak habis pikir saja, rumah tangga dia adem ayem gak ada masalah malah begitu? Kurang setia apa Ralin sama suaminya selama ini?”
“Sudah lumrahnya seorang laki-laki melakukan hal seperti itu, jangan fokus menyalahkan laki-laki saja, laki-laki bisa bertindak seperti itu, tergantung dari perempuannya juga,” ucap Vi.
“Jadi kamu membela suami Ralin, Mas? Atau mas sedang selingkuh? Mas mau mewujudkan ucapan oma, mau menikah lagi?!” Sirta sudah tersulut emosinya, bukannya Vi menenangkan pikiran Sirta yang sempat berpikir macam-macam karena takut Vi juga melakukan hal yang sama seperti suami Ralin, malah Vi berkata seperti itu.
“Ya semua tergantung sama kamunya juga, Ta? Kalau kamu mau menuruti keinginan Oma dan Mommy, ya aku gak akan melakukannya?” ucap Vi santai.
“Mas!” bentak Sirta.
“Kenapa? Pernikahan itu paling utama memiliki keturunan, Ta? Aku butuh penerusku, tolong mengerti. Aku sudah memberikan kesempatan kamu selama ini, jadi aku mohon kita mulai semuanya lagi, kita perbarui semuanya. Jadilah ibu untuk anak-anakku, Sirta? Aku mohon,” pinta Vi.
Bagaimana pun, Vi pun mendambakan Sirta untuk menjadi seorang ibu. Meskipun ia punya Ardini yang juga sedang mengandung anaknya. Vi mencintai Ardini, sama dirinya pun mencintai Sirta meskipun kelakukan Sirta seperti itu. Ia sebisa mungkin adil membagi hatinya. Tidak tahu kenapa Vi sampai bisa jatuh di dua hati. Vi ingin Sirta berubah sikap dan kebiasaannya. Vi tidak ingin Sirta semakin terjerumus ke dalam pergaulan yang malah akan menjerumuskan dirinya.
“Aku gak mau punya anak, Mas!”
“Ya sudah, terima resikonya?” ucap Vi lalu meninggalkan Sirta.
Vi tidak mau meneruskan perdebatannya lagi. Ia memilih ke kamarnya, menenangkan hatinya, meredam emosinya, karena dia tidak mau semakin berkata kasar pada Sirta. Vi tahu tabiat Sirta, semakin ia kasar bicara, kasar juga ucapan Sirta padanya. Jadi Vi memilih diam saja.
“Resiko apa, Mas?!” ucap Sirta lalu menyusul Vi ke dalam kamar.
Vi tidak menjawabnya, ia memilih merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Biar saja Sirta ngedumel tidak jelas. Mungkin memang saatnya Vi harus membicarakan semuanya pada keluarganya kalau dirinya sudah menikahi Ardini.
Sirta ke kamar mandi, karena Vi tidak menanggapi ocehannya. Ia memilih membersihkan dirinya, lalu mengganti pakaian dinas kesukaan Vi.
“Sayang ... maafin aku, aku sudah marah-marah,” ucap Sirta dengan merayu Vi.
“Tidur sudah malam!”
“Mas ... gak mau sentuh aku? Aku kangen permainanmu, kangen sekali,” rengek Sirta.
“Untuk apa begituan, kalau kamu gak bisa kasih aku bayi mungil! Aku akan menyentuhmu kalau kamu berhenti mengonsumsi obat kontrasepsinya!” tegas Vi.
“Kamu tega meninggalkan nafkah batin padaku karena itu?”
“Kamu juga tidak mau menjadi seorang ibu? Salah aku meminta anak padamu, yang jelas sehat, tidak sakit apa pun, dan kamu bisa memberikannya? Salah, Ta?”
“Jangan bahas anak lagi! Aku gak mau punya anak, Mas! Tidak! Sekali tidak, tidak, Mas!”
“Oke, aku akan kenalkan wanita padamu suatu hari nanti, dan jangan pernah salahkan aku!”
“Kamu kenapa sih, Mas? Apa kurangku ini sampai kamu mau menikah lagi?”
“Kamu bisa punya anak, tapi kamu menolak! Itu kekuranganmu!” jawab Vi tegas.
“Aku bisa memaklumi kamu kelayaban, hura-hura ke sana kemari, tapi aku tidak bisa memaklumi jika kamu menolak permintaanku untuk memiliki seorang anak dariku. Jangan salahkan aku jika aku menikah lagi, dan mencintai wanita lain yang mau memberikan anak untukku!”
“Apa kamu sudah menikah lagi? Apa kepergianmu kemarin karena kamu menikahi perempuan lagi?”
“Kalau iya kenapa? Kamu mau marah? Laki-laki bisa menikah lagi, jika istrinya tidak bisa memenuhi apa keinginannya!” jawab Vi.
Sirta terdiam, matanya menatap kosong ke depan. Ia tidak tahu kenapa bisa sesakit itu hatinya mendengar ucapan Vi. Setelah mengetahui perselingkuhan suami sahabatnya, sekarang suaminya malah membahas soal menikah lagi, hanya karena ingin memiliki seorang anak, sama halnya dengan suami Ralin, yang juga ternyata inginkan seorang anak, dan wanita selingkuhannya sudah dinikahi suami Ralin sejak lima bulan yang lalu, kini tengah hamil tiga bulan.