Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Nahla sengaja menghindari sentuhan suaminya, hatinya tengah kesal jadi sama sekali tidak minat untuk bercinta.
"Mana yang capek? Aku pijitin ya," bujuk Hanan terus berusaha. Sepekan lebih tidak mengunjunginya tentu harus ada yang disalurkan.
"Maaf Mas, aku beneran lagi nggak mood," tolak Nahla bangkit dari pembaringan. Jelas betul menghindari sentuhan apa pun.
"Kamu kenapa sih? Aku udah sabar nunggu seminggu lebih, aku lihat kamu udah sholat. Kenapa sikapmu berubah?" tanya Hanan menatap penuh kecewa.
"Aku kenapa? Aku berubah? Tanya sama dirimu sendiri!" ucap Nahla dingin lalu beranjak dari kamar.
"Dek, kamu mau ke mana? Aku berhak atas tubuhmu. Berdosa jika kamu menolakku!" Hanan menghadang Nahla yang hendak keluar.
"Iya Mas, kalau begitu tangguhkan aku untuk keluar dari dosa ini agar aku tak lagi berdosa jika menolakmu," ucap Nahla lantang. Sebenarnya ia tidak ingin marah ataupun berdebat, berharap suaminya itu mau mengerti, tetapi sayang sepertinya pria itu tidak peka sama sekali.
"Maksud kamu apa? Hmm!" Pria itu mengikis jarak, berusaha lebih dekat. Namun, Nahla terus menghindar.
"Jelaskan! Apa maksud kamu, Dek?" tekan pria itu dengan sorot mata tajam.
"Ya aku merasa seperti ****** yang hanya kau dekati jika ada maunya. Selebihnya kamu tidak pernah peduli dengan perasaanku. Kalau belum move on, seharusnya kamu tidak menikahiku!" sentak Nahla meninggikan suaranya.
"Astaghfirullah ... kenapa kamu berpikir seperti itu, aku minta maaf kalau selama ini kurang perhatian sama kamu. Tapi kenapa kamu berpikir sejauh itu." Hanan mencoba mengambil hatinya.
"Jangan sentuh! Kalau kamu hanya mencari perempuan untuk teman tidur dan babby sitter lebih baik kamu cari saja orang lain, aku tidak mau!"
"Jadi selama ini kamu tidak ikhlas mengurusi anakku?" sentak Hanan marah.
"Kalau aku tidak iklhas, aku tidak mungkin bertahan berbulan-bulan seperti ini dengan pria tidak mempunyai hati seperti dirimu!" seru Nahla tak tahan lagi. Air mata yang sudah terbendung, akhirnya tumpah juga membasahi pipi. Sakit sekali rasanya di titik ini.
Perempuan itu mengusap pipinya yang basah dengan kasar. Lalu kembali masuk ke kamar, mengambil koper miliknya. Dia tidak tahan lagi, pergi dan mengakhiri semuanya adalah solusi terbaik saat ini.
"Mau ke mana? Jangan membuatku marah?" Hanan menghalangi Nahla mengeluarkan barang-barang miliknya.
"Minggir, aku mau pulang ke tempat di mana aku dianggap dan dihargai."
"Kamu hanya salah paham, Nahla, bagian mana yang menurutmu tidak diterima."
"Iya, hanya diterima saat kamu butuh saja, selebihnya bahkan kamu tidak peduli. Pulangkan aku ke rumah Bapak!" ucap Nahla berderai air matanya.
"Suami istri itu saling membutuhkan, seharusnya kamu paham, tidak apa-apa harus diselesaikan begini. Kamu jangan membuat masalah enteng ini semakin rumit."
"Iya, bagimu memang mungkin enteng Mas, tapi tidak untuk aku, hatiku sakit. Saat diam-diam kamu duakan dengan masa lalumu. Jangan pernah merajut dengan orang baru kalau belum bisa move on dengan masa lalumu. Sakit," jelas Nahla berharap Hanan mau mengerti.
Perempuan itu terus memasukkan barang miliknya ke koper, tetapi Hanan menahannya bahkan melempar agar Nahla tidak melakukan itu.
"Berhenti untuk berpikir seperti itu, kamu tidak bisa memaksaku untuk melupakan apa yang menjadi bagian dari hidupku. Kamu tidak akan paham!" bentak Hanan murka.
Nahla tercenung di tempatnya berdiri, tidak menyangka suaminya akan semarah ini hanya karena tabir masa lalunya diungkit.
"Iya, aku tidak akan pernah mengerti, dan tidak akan pernah bisa bersaing dengan orang yang telah meninggal. Kalau cintamu agung dan terlalu abadi, seharusnya kamu tidak menikah lagi!" Nahla menyambar ponsel dan sling bag miliknya lalu melesat pergi.
Hanan mengejarnya, gemas sekali rasanya dengan keadaan ini.
"Mau ke mana? Masuk, jangan membuatku malu!"
"Pulangkan aku!" mohon Nahla di titik nadir.
"Iya, kalau itu maumu, tapi tidak untuk sekarang dan malam ini. Besok aku akan mengantarmu, sekarang masuk ke kamar!" titah pria itu dingin.
Nahla menatap jengkel, berjalan cepat menuju kamar Icha. Hanan yang melihat itu hanya bisa pasrah seraya terdiam. Semalamam pria itu tidak bisa tidur, pening atas bawah ditambah lelah dan kesal, ingin murka saja.
Pria itu memegangi kepalanya seraya duduk di pinggir ranjang. Kesal sekali hatinya, ditambah hasrat yang terpendam membuat pria itu ingin mengumpat saja.
Sementara Nahla mengunci kamar Icha, ia tidak sudi rasanya seranjang lagi dengan pria yang telah membuat hatinya nelangsa. Selama ini ia sudah berusaha menerima, bahkan menyayangi Icha seperti anaknya sendiri. Namun, seakan pria itu tidak pernah peduli dengan perasaannya.
Perempuan itu tidur dengan tangis, sakit sekali rasanya. Entah ia terlelap jam berapa, saat terjaga sudah menjelang subuh, dan malam terasa lebih lama.
Nahla bangkit dari pembaringan, malas sekali untuk ke sekolahan hari ini. Hatinya benar-benar kacau. Ia membangunkan Icha untuk mandi, dan bersikap biasa saja seperti biasanya.
"Ma, nanti aku mau berangkat bareng mama lagi ya?" pinta gadis kecil itu kegirangan.
"Iya, boleh sayang," jawab Nahla tersenyum tipis. Berusaha menyembunyikan kesedihannya terhadap putrinya yang tidak mengerti apa pun tentang masalah orang tuanya kini.
"Icha mau sarapan sama apa? Biar mama buatin," ujar perempuan itu menawarkan seperti biasanya.
"Apa aja yang mama buat," sahut gadis itu seadanya.
Nahla keluar dari kamar, diikuti Icha ke ruang makan. Perempuan itu membuatkan susu dan juga roti selai isi yang cukup mudah dan simple. Ia sengaja tidak masak dan tidak menyiapkan untuk Hanan. Tidak peduli pria itu mau sarapan atau tidak. Ia juga tidak makan karena merasa kenyang. Masih kenyang dengan kejengkelan semalam, jadi tidak berselera sama sekali.
"Icha habisin dulu sarapannya ya, mama mau mandi dulu," pamit Nahla menuju kamarnya. Sebenarnya ia malas menuju kamar suaminya, tetapi terpaksa karena harus berganti pakaian.
Saat perempuan itu membuka pintu kamar, terlihat Hanan masih tertidur pulas. Apakah pria itu tidak ngantor? Nahla tidak ingin peduli, dan tidak mau membangunkan. Terserah mau tidur sampai siang, mau berangkat atau tidak, Nahla tidak ingin peduli.
Perempuan itu mandi, lalu sengaja memasukkan barang-barang penting miliknya. Tak lupa seragam mengajar, selebihnya ia tidak begitu peduli, dan mungkin tidak berniat untuk kembali. Hatinya kadung luka, bahkan ia pun siap jika Hanan benar-benar memulangkan dirinya, karena tanpa diantar sekalipun, ia benar-benar akan pulang sendiri.
Nahla mengeluarkan tas punggung miliknya yang lumayan menggembung. Ia keluarkan lebih dulu dan menaruhnya di motor. Selebihnya membawa tas biasa saja lalu kembali ke ruang makan.
"Ma, papa mana? Kok nggak makan?" tanya Icha mencari-cari ayahnya.
"Pagi sayang, ada kok, Icha udah mau sekolah?" sapa Hanan baru bangun tidur.
"Papa nggak ngantor, kok belum mandi?" tanya hadis kecil itu jeli sekali.
"Nanti siang, Icha mau papa antar?"
"Nggak usah Pa, mau berangkat bareng mama aja," ujarnya senang.
Nahla sama sekali tidak menanggapi obrolan ayah dan anak itu. Sedang Hanan sesekali menatapnya dingin.
"Icha, ayo berangkat, nanti telat!"
"Iya Ma, aku pamit dulu sama papa."
Icha terlihat menyalim takzim ayahnya, hal serupa yang seharusnya Nahla lakukan. Namun, mulai pagi ini perempuan itu bahkan tidak melakukan apa pun sama sekali.