Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Di dalam sebuah private room di café mewah yang terletak di kawasan elit Jakarta Selatan, dua wanita dengan penampilan glamor sedang duduk berhadapan. Meja mereka dipenuhi minuman eksklusif dan makanan ringan berkelas. Lampu kristal di atas kepala mereka memantulkan cahaya lembut yang menambah nuansa elegan.
Suasana yang indah tidak seindah isi kepala mereka yang sedang menyusun niat buruk.
Viona menyilangkan kakinya, menatap tajam wanita di depannya.
"Bagaimana? Kapan aku bisa mendekati Raka?" tanyanya tanpa basa-basi, suaranya terdengar tajam dan mendesak.
Tiara menghela napas pelan, memainkan sedotan di gelas mocktail-nya.
"Raka... sekarang lagi dekat sama Anjani,Dia punya koneksi langsung ke Pak Menteri. Mamah aku juga lebih suka dia daripada yang lain."jawabnya, nada suaranya agak kesal.
Mata Viona menyipit. Ia meletakkan gelasnya dengan sedikit hentakan ke meja.
"Aku nggak mau tahu, ya!, Aku udah keluarin banyak uang untuk bisa deket sama Raka. Dan kamu janji— janji! —kamu bakal bantu aku!" Ucap Viona nadanya membentak
Tiara mengangkat tangannya, mencoba menenangkan.
"Tenang... tenang dulu. Jangan emosi dulu, Kak. Dengerin dulu, ya, Raka itu emang lagi deket sama Anjani, tapi dia juga nggak sepenuhnya suka sama cewek itu." Jelas tiara penuh dengan pertimbangan jangan sampai kadang uangnya pergi
"Kenapa?" Tanya tiara penasaran sekaligus kesal
"Dandanannya... duh, kampungan banget. Kamu kan tahu adikku itu perfeksionis. Suka yang classy, sophisticated. Nah si Anjani itu jauh dari kata berkelas."
Viona mengangkat alis, mulai tertarik.
"Begitu, ya? Tapi tetap aja... selama dia di dekat Raka, posisiku terancam. Aku harus segera masuk ke lingkaran itu."
"Makanya kita harus jatuhin Anjani. Kalau dia udah out, tinggal kamu yang masuk." Tiara tersenyum miring.
"Untuk urusan koneksi ke Pak Menteri, aku deket sama istrinya. Bahkan aku udah bayarin dia keliling Eropa tahun lalu. Kalau butuh jalur ke atas, aku bisa atur." Ucap Viona sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa dan menyilangkan tanganya.
"Wow! Amazing! Aku juga mau dong keliling Eropa... sekalian beli tas branded, gitu." Tiara terbelalak
"Bisa aja,.Asal kamu bener-bener bisa dekatin aku ke Raka."kata Viona sambil tersenyum licik
"No problem, Kak. Yang penting satu: kita harus hancurin reputasi Anjani sebagai wanita. Dia harus jatuh, nggak bisa bangkit lagi."
"Kamu punya ide?" tanya Viona cepat.
Tiara meneguk minumannya sebelum menjawab, suaranya rendah dan penuh licik.
"Aku selalu punya ide. Tapi ya, kamu tahu sendiri, butuh uang besar buat main di level ini."
"Uang bukan masalah. Rencana kamu apa?" Jawab
Viona mengangguk.
Tiara mendekat, menurunkan suaranya.
"Kita culik Anjani. Lalu kita lempar ke tangan berandalan. Kita foto-fotoin dia dalam kondisi nggak berdaya, lalu kita sebarin ke media sosial. Skandal seks. Biar orang-orang lihat wajah aslinya."
"Kamu benar-benar gila..."Viona membelalakkan mata.
"Mungkin. Tapi dari awal aku emang nggak suka sama dia. Sok suci, padahal... orang kampung."Tiara tertawa kecil.
"Risikonya tinggi,Kalau sampai ketahuan—" kata Viona hati-hati.
"Makanya kita harus rapi. Semua orang bisa dibayar. Berandalan bisa diam, media bisa dikendalikan. Kamu tahu gimana mainnya."
Viona terdiam sesaat. Ia memandangi gelas minumnya, lalu berkata pelan, "Kalau ini berhasil, aku yang pegang kendali atas Raka."
"Dan aku dapat bagianku," timpal Tiara cepat.
"Deal."
"Tapi kita harus atur semua dengan detil. Tempat penculikan, siapa yang lakuin, kapan, dan ke mana dia dibawa."
“Langkah pertama, kamu minta Ibu Menteri mengundang Anjani ke sebuah hotel. Katakan saja pertemuan itu untuk membahas agenda sosialisasi formula milik Anjani. Setelah itu, suruh ajudan Ibu Menteri menjemputnya,Begitu Anjani sampai dan bertemu Ibu Menteri, aku akan kirim orang-orangku untuk menculiknya." ujar Tiara dengan nada licik.
“Kenapa harus melibatkan Ibu Menteri? Bukankah itu terlalu berisiko?” ucap Viona mengernyit masih ragu dengan rencana tiara
,“Anjani bukan tipe yang gampang diajak bertemu, apalagi oleh orang asing. Dia sangat berhati-hati. Tapi kalau undangan datang dari pihak resmi, apalagi berkaitan dengan program ketahanan pangan—dia pasti datang.” tiara menjelaskan pengamatan dia mengenai anjani.
“Jadi kamu yakin dia tidak akan curiga kalau yang mengundangnya Ibu Menteri?” tanya Viona lagi, masih mempertimbangkan rencana itu.
“Yakin. Apalagi kalau dibungkus sebagai kolaborasi strategis. Anjani akan menganggap itu penting.”
“Baiklah, kalau begitu aku akan segera hubungi Ibu Menteri. Kita harus buat semuanya terlihat alami.”Viona mengangguk pelan, akhirnya menerima logika Tiara
“Bagus,Permainan baru saja dimulai.” ujar Tiara.
....
Pagi itu, seperti biasa, Anjani memulai harinya dengan kegiatan yang paling ia sukai—merawat tanaman hias di halaman kecil rumahnya. Dengan gerakan penuh kelembutan, ia menyiram pot-pot anggrek yang berjejer rapi, memeriksa daun-daun yang mulai menguning, dan sesekali berbicara lirih pada bunga-bunga itu seolah mereka bisa mendengar.
Udara masih segar, embun belum sepenuhnya mengering, dan sinar matahari menyorot lembut dari sela-sela dedaunan. Bagi Anjani, inilah momen terbaik untuk merenung dan menyusun rencana-rencana besar tentang inovasi pertanian berkelanjutan yang sedang ia rintis.
Namun ketenangan itu terusik oleh dering ponsel yang tiba-tiba memecah keheningan. Anjani melirik ke layar—nomor tidak dikenal. Ia menghela napas kecil. Ia tidak terbiasa menjawab panggilan dari nomor yang tak tersimpan di kontaknya, apalagi di pagi hari seperti ini.
Dering itu berhenti sejenak, lalu kembali berbunyi. Kali ini disertai notifikasi pesan masuk. Dengan sedikit rasa enggan, Anjani membuka pesan tersebut.
"Maaf Bu Anjani, Ibu Karisma, istri dari Bapak Menteri, ingin berbicara. Mohon waktunya sebentar."
Alis Anjani terangkat. Nama itu tidak asing, tapi cukup mengejutkan baginya. Ia masih ragu. Apa urusannya istri menteri menelepon dirinya pagi-pagi begini? Ia belum membalas pesan, tapi ponsel kembali berdering, memaksa perhatiannya.
Dengan rasa tak enak, akhirnya ia mengangkat panggilan itu. "Ya, ada apa?" tanyanya singkat.
Suara perempuan terdengar dari seberang, lembut dan teratur. “Oh, saya Karisma, istri Bapak Menteri. De Anjani bisa ketemu Ibu? Ada pertemuan kecil dengan teman-teman istri menteri lainnya, membahas program pertanian. Saya sudah izin dengan Bapak, dan beliau menyarankan agar saya langsung menghubungi De Anjani.”
Nada bicara yang sopan namun tegas itu membuat Anjani tidak bisa serta-merta menolak.
“Baik, Bu. Jam berapa saya harus datang?” tanyanya sopan.
“Jam sembilan malam, ya, di Hotel Grand. Pertemuan santai saja, informal,” jawab Karisma dengan ramah.
“Baiklah. Nanti saya datang ke sana, Bu,” ucap Anjani, masih agak bingung dengan maksud undangan itu, tapi ia mencoba berpikir positif. Mungkin ini memang peluang untuk memperluas jaringan program ketahanan pangannya.
“Nanti jam delapan malam, ajudan saya akan menjemput De Anjani, ya,” lanjut Karisma.
Anjani buru-buru menolak dengan halus, “Tidak usah repot, Bu. Saya bisa datang sendiri. Lagipula, saya tidak ingin merepotkan.”
Namun Karisma tertawa kecil, hangat, lalu berkata dengan nada yang lebih dalam, “Jangan, De. Kamu adalah aset bangsa ini. Kami punya tanggung jawab untuk menjagamu dengan baik.”
Anjani terdiam sejenak. Kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi entah mengapa membuat bulu kuduknya sedikit merinding. Ia tidak suka terlalu dielu-elukan, apalagi kalau belum tahu jelas niatnya.
Namun ia juga tahu menolak langsung bisa dianggap tidak sopan, terlebih ini permintaan istri seorang pejabat tinggi negara.
“Baiklah, Bu. Kalau memang begitu, saya akan menunggu ajudannya,” jawab Anjani akhirnya.
“Terima kasih, De. Sampai jumpa nanti malam,” ucap Karisma sebelum menutup sambungan.
Setelah panggilan berakhir, Anjani menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu meletakkannya di atas meja teras. Ia kembali menyiram tanaman, tapi pikirannya tidak lagi tenang. Ada perasaan tak nyaman yang mulai merayap di dadanya. Ia belum pernah diajak bertemu oleh kalangan pejabat secara pribadi seperti ini, apalagi malam hari dan di hotel.
Namun, sebagai seorang aktivis pertanian yang mulai dikenal luas, ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini mungkin bagian dari jalannya menuju perubahan besar. Ia belum tahu bahwa malam nanti akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
dulu gampang an deket dng raka, sekarang dng diko.
entah lah jadi malas, gmpang di kompori. padahal pinter, jenius tp gmpang bnget nemplok sana sini, mudah di kompori.
karakter nya kurang mencerminkan wanita mahal mlh kayak janda murahan