Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Lusi keluar dari kamar Nina dengan mengenakan kebaya putih sederhana. Wajahnya memang cantik, rambutnya ditata rapi, make-up-nya pun pas. Tapi suasana di ruang tamu terasa janggal. Biasanya pesta pernikahan digelar di rumah mempelai perempuan, ini malah di rumah mempelai laki-laki.
Bisik-bisik langsung bermunculan di antara kerabat.
“Ini keluarganya Lusi kemana, ya?” bisik Susi, sepupu Mirna, sambil celingukan.
“Iya, masa datang sendiri. Sirih pun dibawa sendiri. Kayak orang habis ketangkap basah kawin,” timpal Tinia sambil manyun.
“Katanya anak pejabat, tapi resepsinya kok kayak hajatan kampung,” tambah Sumi, geleng-geleng kepala.
Mirna mendengar jelas bisik-bisik itu, matanya tajam menatap kerumunan ibu-ibu. Ia pun tak sepenuhnya puas. Tapi ia memang sengaja mempercepat pernikahan ini. Lusi memegang akses ke rekening Raka, dan Mirna tak ingin uang itu dibawa lari. Riki pun akan segera dipindah ke luar kota. Ini kesempatan mengikat Lusi dulu.
Dari pojok ruangan, Adi menatap Riki dengan sinis.
“Rasakan, kamu anak haram. Akhirnya kamu juga nikah sama perempuan yang bawa anak orang. Dulu aku juga begini, menikahi ibumu yang sudah hamil anak orang lain,”gumam Adi dalam hati, pahit.
Sementara itu, Lusi duduk di samping Riki. Senyum manis dipasang, tapi pikirannya penuh perhitungan.
“Aku harus cari aman dulu. Dia kepala cabang, pasti ada proyek. Duit banyak. Aku mainkan sebentar, habis itu kabur ke luar negeri.”Ia melirik Riki sekilas.
Riki sendiri tampak kaku. Senyum dipaksakan. Seharusnya ini hari bahagianya. Tapi entah kenapa, perasaannya tak enak. Hatinya gelisah, seperti ada yang akan hancur. Tapi ia menepis itu semua. Lusi anak pejabat. Koneksi pasti luas. Mungkin semua ini akan jadi awal baru, pikirnya mencoba yakin.
Seorang ustadz mengenakan peci hitam dan sorban merah duduk bersila di depan. Di tangannya ada map biru, berisi dokumen pernikahan. Ia membuka map itu perlahan, lalu menatap ke arah Lusi yang duduk dengan wajah menegang.
“Ini walinya siapa?” tanya Ustadz Karna.
Lusi tersenyum kaku. “Bapak saya sedang ke luar negeri, Pak.”
“Bisa dihubungi lewat telepon?” lanjut sang penghulu.
“Sudah dicoba. Tapi nggak tersambung. Tapi sebelum berangkat, beliau sudah merestui,” jawab Lusi cepat. “Kalau perlu, kita undur saja, Pak.”
Mirna langsung menyela, dengan nada yang terdengar lebih seperti perintah daripada permintaan. “Jangan diundur. Anak saya besok pagi berangkat ke Surabaya. Saya ingin dia ada yang menemani di sana.”
Ustadz Karna mengangguk pelan, lalu berdiskusi singkat dengan dua orang tua yang duduk di dekatnya. Setelah itu, ia kembali menatap pasangan di hadapannya.
“Baiklah,” katanya tenang. “Karena walinya tidak bisa hadir dan tidak bisa dihubungi, maka sesuai syariat, kami akan menikahkan dengan wali hakim.”
Penghulu itu membuka kembali map birunya, kini beralih menatap Riki. “Saudara Riki, sudah siap?”
Riki mengangguk pelan. “Siap, Pak.”
“Karena ayah kandung calon mempelai perempuan tidak bisa hadir dan tidak bisa dihubungi, serta telah memberikan restu sebelumnya, maka wali hakim akan menikahkan.”
Ia menoleh ke para saksi, lalu membetulkan pecinya dan mulai membaca ijab:
“Saya nikahkan engkau, Riki Setiawan bin Adi Wijaya, dengan Lusi Pertiwi binti Riko, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas lima gram tunai.”
Riki menarik napas. Semua mata tertuju padanya. Ia menunduk sebentar, lalu mengucap dengan suara mantap:
“Saya terima nikahnya Anjani Ramdhani binti Ramlan dengan mas kawin tersebut… tunai.”
Seketika ruangan menjadi senyap. Penghulu mengerutkan kening. Lusi menoleh perlahan, wajahnya menegang. Mirna, ibu Riki, membelalak dari tempat duduknya.
“Hah… salah sebut nama dia. Itu kan nama istri pertamanya, si Anjani. Dia itu sebenarnya baik, tapi ya… katanya miskin. Makanya Riki sekarang nikah lagi sama anak pejabat,” bisik Sumi pada Tinia di sampingnya.
Tinia menggeleng pelan, matanya tak lepas dari pengantin. “Iya emang. Kalau laki udah kaya dikit, langsung kawin lagi. Padahal si Riki dulu cuma ojol, yang nemenin dari nol itu si Anjani. Sekarang udah sukses malah ninggalin. Gue sih takut kena azab.”
Sementara itu, Riki tetap duduk diam. Ia seperti tidak menyadari kesalahan fatal barusan.
“Mas Riki, Anda salah sebut nama,” kata Ustadz Karna hati-hati.
Riki menoleh ke arah ibunya. Mirna melotot tajam, wajahnya memerah.
“Oh… maaf, Pak Ustadz. Saya ulangi,” ucap Riki tergesa, mencoba menenangkan napasnya.
Namun dalam hatinya berkecamuk.
Astaga… kenapa aku sebut nama Anjani? Anjani… kenapa kamu pergi? Kalau kamu ada di sampingku, mungkin aku nggak akan segugup ini. Katanya kamu akan menemani aku dalam susah dan senang. Tapi sekarang kamu di mana?
“Mas Riki, bisa kita ulang ya,” ucap Ustadz Karna dengan tenang.
Ia kembali membacakan ijab dengan nada yang lebih tegas.
“Saya nikahkan engkau, Riki Setiawan bin Adi Wijaya, dengan Lusi Pertiwi binti Riko, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas lima gram tunai.”
Riki menatap map di depan penghulu, mencoba mengunci pikirannya pada nama yang benar.
“Saya terima nikahnya Lusi Pertiwi binti Riko dengan mas kawin tersebut… tunai,” ucapnya akhirnya.
Para saksi serempak mengucap, “Sah.”
Terdengar ucapan syukur dari sebagian tamu, meski banyak yang hanya diam. Suasana tetap terasa aneh. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada senyum tulus. Hanya formalitas yang diselesaikan.
“Sah sih sah,” gumam Sumi lagi, “tapi hati suaminya itu kayaknya belum sah buat istrinya.”
Lusi diam, tak menoleh ke arah Riki. Matanya menatap kosong ke depan. Ia tahu, ini bukan sekadar salah nama. Ini adalah sinyal. Lelaki yang baru saja menjadi suaminya... masih mencintai masa lalunya.
Sementara tamu bersalaman, Adi duduk tenang dengan senyum sinis menghiasi wajahnya. Kemenangan ini sudah ia rancang lama. Ia tahu betul kelemahan Lusi—gadis yang hiper-seksual dan mudah tergoda rayuan. Dengan lihai, Adi memanfaatkannya, menggoda Lusi sampai terpikat, lalu pelan-pelan memperkenalkannya pada Mirna. Semua itu ia lakukan bukan tanpa alasan—dulu, ia menikahi Mirna dalam keadaan hamil, dipaksa oleh keadaan. Kini, ia membalas dendam dengan menjebak anak Mirna sendiri ke dalam pernikahan semu. Riki menikahi wanita yang kelak akan menghancurkannya—dan Adi menikmati setiap detik dari kehancuran yang ia ciptakan sendiri.
......
Sementara itu, Raka mengantar Anjani pulang ke kontrakannya. Obrolan mereka mengalir hangat sepanjang jalan, penuh canda dan diskusi serius. Raka banyak memberikan masukan soal strategi pemasaran dan cara melobi distributor besar. Anjani terkesima, bukan hanya karena wawasan Raka yang luas, tapi juga karena kematangan sikap dan pengetahuan agamanya. Setiap kali Raka mengutip ayat atau hadis, Anjani merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang benar-benar memahami makna hidup.
“Ni, kamu punya uang. Tapi kenapa masih tinggal di kontrakan kecil begini?” tanya Raka, memiringkan kepala penasaran.
Anjani tersenyum, santai. “Karena bagiku bahagia itu nggak harus mahal. Aku cuma butuh ruang yang tenang dan rapi buat mikir. Rumah kecil, barang sedikit, hidup jadi simpel. Bajuku cuma dua puluh potong, semua warnanya sama. Sepatu dua pasang, sandal dua, tas juga dua. Satu buat sehari-hari, satu lagi buat naik gunung.”
Raka tertawa kecil, lalu mengangguk. “Aku paham konsep minimalis. Tapi, kita juga harus belajar menghargai diri. Kerja keras itu perlu dirayakan. Bukan buat pamer, tapi sebagai bentuk syukur. Kadang, penampilan luar bisa bantu orang mengenal kita lebih baik. Jangan sampai kesederhanaan bikin orang salah sangka.”
Anjani terdiam sesaat. Kata-kata Raka menusuk lembut—bukan menggurui, tapi mengingatkan. Ia tersenyum, diam-diam mengakui bahwa, mungkin, ada benarnya juga. Sesederhana apa pun hidup, tetap harus ada ruang untuk menghargai diri sendiri.
Raka menoleh, menatapnya. “Yang penting, seimbang, kan?”
Anjani mengangguk pelan. “Iya, seimbang.”
....
Anjani memasuki halaman kontrakannya. Langkahnya terhenti saat melihat mobilnya sudah kembali terparkir rapi di tempat biasa. Ia mendekat, mengamati bodi mobil dengan dahi mengernyit.
“Ini bukan sekadar diperbaiki… ini diganti,” gumamnya dalam hati, melihat cat yang mulus tanpa bekas gores sedikit pun.
Tak lama, Pak Jamal muncul sambil menyerahkan dua kunci—kunci kontrakan dan kunci mobil.
“Bu, ini kuncinya,” ucap Pak Jamal pelan.
Anjani mengambil kunci kontrakan. “Kunci mobilnya, Bapak pegang saja. Saya punya cadangannya.”
Pak Jamal mengangguk. “Siap, Bu.”
“Perbaikannya habis berapa, Pak?” tanya Anjani sambil menatap pria paruh baya itu penuh rasa ingin tahu.
“Itu… mereka yang tanggung semua, Bu,” jawab Pak Jamal, singkat.
Anjani menatap Pak Jamal lebih lama. Ada sesuatu dari pria itu yang selalu menyimpan misteri. Ia tampak biasa, namun jelas bukan orang sembarangan.
Ia menarik napas panjang. “Ya sudah. Terima kasih, Pak.”
“Satu lagi, Bu. Saya mau titip ini.” Pak Jamal mengeluarkan benda kecil seperti token dan memberikannya kepada Anjani.
“Ini apa, Pak? Mirip token Bank,” ucap Anjani heran.
“Itu token darurat, Bu. Kalau sewaktu-waktu dalam kondisi terdesak, tekan tombol nomor satu. Langsung aktif.”
Anjani terdiam sejenak, lalu menerima benda itu dengan pelan. “Baiklah. Terima kasih, Pak.”
Setelah Pak Jamal pergi, Anjani masuk ke dalam kontrakan sederhananya. Tak banyak barang, hanya buku-buku yang tersusun rapi. Ia menaruh tas, lalu membuka ponsel. Sebuah notifikasi dari Nina muncul—foto pernikahan Riki dan Lusi.
“Jadi kamu benar-benar menikah, Mas...” bisiknya.
Masih di layar ponselnya, dua pesan masuk hampir bersamaan.
Dari Rizki: "Secangkir kopi dengan hati yang bahagia lebih berharga daripada kopi mahal dari Italia."
Lalu dari Raka: "Kita harus sukses dulu baru bisa merasa bahagia dan dihargai."
Anjani menatap keduanya. Dua lelaki. Dua kalimat. Dua pemikiran.
Dan kini… dua hati yang mulai berlomba merebut hatinya.
Anjani... laki2 itu gak mesti yg tampan dan bisa bergaya aja, tapi yg lebih tenang adalah yg apa adanya dalam segala hal . gak ribet .. gak mikirin prestige semata aja 👍😏
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆