Ingat Aku, Suamiku!

Untuk beberapa saat Arlan tertegun. Informasi yang diberikan mami membuat pikirannya menerawang jauh dan menciptakan kesimpulan sendiri dalam pikirannya. Arlan sendiri sadar bahwa saat ini ia tidak boleh gegabah dan mudah percaya kepada sembarang orang. 

“Maksud Mami apa? Ibunya Maysha penyebab kematian papi?” 

“Iya, Arlan. Andai saja ibunya Maysha bukan penyebab kematian papi kamu, Mami tidak akan menghalangi niat kamu untuk menikahi dia.” 

Arlan kembali tertegun. Rasa tak percaya menyerang hatinya. “Tapi bagaimana ibunya Maysha bisa menjadi penyebab kematian papi?” 

“Ceritanya panjang. Dulu kamu itu sangat membenci Maysha. Tapi entah kenapa pada saat itu kamu malah dibutakan cinta. Kamu bahkan rela memindahkan semua aset-aset kamu atas nama dia.” Mami menyeka air mata yang membasahi kedua sisi pipinya. “Tapi karena sekarang kamu sudah kembali, kamu bisa mengalihkan kembali semua aset-aset itu, kan?” 

Arlan menatap maminya yang masih terisak-isak. Memperhatikan setiap gestur tubuh wanita itu. Kemudian menimbang semua perkataan mami dalam hati. 

“Saya akan pikirkan lagi. Nanti saya bicarakan baik-baik dengan Andre.” 

“Apa lagi yang harus kamu bicarakan, sih, Nak? Maysha bisa saja mengambil semua milik kamu. Kalau itu terjadi kamu tidak akan punya apa-apa lagi.” 

Arlan hanya diam. Tak pula berjanji untuk memuluskan keinginan sang mami. Dari tempatnya duduk ia melirik ke arah Andre. Sejak tadi Andre hanya diam dan tak ikut campur dalam pembicaraan itu. 

*

*

*

“Kamu yakin mau mengalihkan kembali aset-aset yang sudah kamu pindahkan atas nama Maysha?” tanya Andre setelah kepergian Mami Gina. 

“Menurut kamu?” Arlan malah balik bertanya. Menciptakan kerutan di kening Andre. Bisa dibilang saat ini Andre sangat bingung dengan tingkah sang bos. Baru kemarin ia datang dalam keadaan polos dan tidak tahu apa-apa. Dan sekarang ia terkesan sangat misterius dan penuh rencana rahasia. 

“Aku tidak tahu. Tapi aku hanya mau mengingatkan, jangan sampai kamu salah ambil tindakan dan menyesal.”

“Tenang saja. Tidak akan ada penyesalan setelah ini.” Arlan terkekeh sambil memainkan ponselnya. Saat ini ia sedang membuka beberapa berita seputar kecelakaan tiga tahun lalu di internet dan baru sadar bahwa kejadian tersebut sempat menghebohkan masyarakat. Sedikit banyak Arlan menemukan beberapa informasi menarik. Termasuk penyebab kecelakaan yang masih menyimpan misteri. 

“Siapkan saja keberangkatan keluar kota secepatnya. Aku ingin kamu ikut, karena kita akan memeriksa sesuatu yang penting.” 

*

*

*

Arlan tiba di rumah setelah seharian menghabiskan waktu di kantor. Saat dalam perjalanan pulang tadi ia menyempatkan diri mampir di sebuah kedai makanan dan membeli nasi rendang untuk Maysha. 

Beberapa hari lalu Bik Wiwin memberitahu bahwa Maysha sangat menyukai makanan satu itu karena bundanya dulu sering membuatkan untuknya. 

Baru akan memasuki kamar, langkah Arlan sudah terhenti. Di dalam sana tampak seorang lelaki duduk di sisi pembaringan sambil menyuapi Maysha. 

“Apa-apaan ini?” gumam Arlan dalam hati. 

Mulanya ia sangat kesal dan ingin menghajar lelaki mana pun yang berani memasuki kamar pribadinya. Namun, setelah ia perhatikan lagi lebih teliti, sosok yang ada di dalam ternyata cukup familiar. 

Ya, itu ayah Maysha. Ayah mertuanya. Arlan ingat pernah melihat potretnya pada album foto pernikahan. 

"Makasih Ayah. Tolong jangan bilang sama bunda, ya. Bunda pasti sedih kalau tahu," ucap Maysha kepada sosok yang tengah memeluknya. 

"Iya, Nak. Tapi nanti kalau ada masalah jangan simpan sendirian. Kamu kan bisa bilang sama ayah. Nanti akan jadi rahasia kita." 

Maysha mengulas senyum. 

"Kalau begitu ayah mau pulang dulu. Kamu banyak istirahat, ya." 

"Iya, Ayah." 

Lelaki paruh baya itu membenarkan selimut yang membalut tubuh putrinya. Sebelum keluar kamar ia sempat membenamkan kecupan sayang di kening. 

Sementara Arlan masih mematung di dekat pintu. Ia bahkan tak sadar sejak kapan ayah mertuanya itu berdiri di hadapannya. Ia baru sadar setelah mendengar deheman dari sang mertua. 

Sikap canggung langsung diperlihatkan Arlan. Entah mengapa tatapan ayah mertuanya itu seperti sanggup membekukan tubuhnya. 

“Tiga tahun lalu saya menyerahkan tanggung jawab atas Maysha kepada kamu dengan modal kepercayaan. Saya mengerti bahwa kamu mengalami kecelakaan dan sakit. Tapi, kalau kamu sudah tidak bisa menjalankan tanggung jawab itu dan bersikap adil, saya minta kembalikan Maysha kepada saya.” 

Arlan hanya mematung di tempat. Mulutnya seperti terkunci. Ayah mertua baru saja menyambutnya dengan menjatuhkan ultimatum mematikan. 

"Saya akan beri kamu waktu untuk menyelesaikan semua ini. Kalau sampai kamu tidak bisa mencari jalan adil untuk Maysha. Saya akan ambil dia dari kamu." 

"Baik, Ayah. Saya benar-benar minta maaf," balas Arlan, tanpa berani lagi bersitatap dengan mertuanya. 

Lelaki paruh baya itu sempat menepuk bahu Arlan sebelum akhirnya beranjak pergi. Meninggalkan Arlan yang masih terdiam di tempat. 

"Kamu sudah pulang, Mas?" Suara Laura menyapa telinga. Arlan menoleh demi menatap wanita itu. Namun, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. 

“Mas, tadi mami kamu ke sini. Aku bicara banyak hal tentang pertemuan kita sampai akhirnya menikah. Mami kamu sangat bahagia dengan kehamilanku.” 

“Oh ....” Hanya jawaban singkat itu yang diberikan Arlan. Membuat Laura kelimpungan oleh sikap dinginnya. 

“Oh ya, mami kamu merestui pernikahan kita. Katanya mami mau membuat resepsi pernikahan kita, sekalian syukuran atas kepulangan kamu.” 

Apa yang diucapkan Laura membuat sepasang mata Arlan menyipit. Sekarang ia paham mengapa ayah mertuanya tadi tampak sangat kecewa dan marah. Sudah pasti ada hubungannya dengan Laura dan mami.  

 “Resepsi? Untuk apa?” 

“Kamu gimana sih, Mas? Ya tentu saja untuk mengenalkan aku kepada semua orang bahwa aku juga istri kamu.” 

“Istri? Sepertinya di sini kamu yang amnesia.” 

“Maksud kamu apa? Apa kamu lupa bahwa kamu sudah menikahi aku tiga bulan lalu?” 

Arlan menyeringai, lalu melepas tangan Laura yang melingkar di lengannya. 

“Kamu harus ingat satu hal, bahwa yang menikahi kamu itu Devan, bukan Arlan. Sampai sini paham, kan?” 

...****...