Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemajuan dan Undangan
Gedung Zamora Company berdiri megah di antara pencakar langit lainnya. Di ruang CEO dengan jendela besar menghadap kota Jakarta, Indira Zamora duduk di kursi kulit hitam di belakang meja kayu mahoni yang luas.
Sudah dua minggu sejak ia kabur dari rumah Rangga. Dua minggu sejak ia fokus sepenuhnya pada Zamora Company. Dan hasilnya? Luar biasa.
Laporan keuangan di layar laptop-nya menunjukkan grafik yang terus naik, profit meningkat 35% dalam dua minggu terakhir. Tiga proyek besar berhasil ditandatangani. Lima investor baru masuk dengan dana miliaran rupiah. Ekspansi ke Surabaya dan Bandung berjalan mulus.
Zamora Company yang selama tiga tahun ia tinggalkan untuk fokus pada pernikahan yang sia-sia... sekarang bangkit dengan kekuatan penuh. Dan Indira ada di pucuk pimpinan, mengendalikan semuanya dengan tangan besi yang elegan.
Intercom di mejanya berbunyi. "Bu Indira, Pak Lingga ingin bertemu. Beliau sudah di depan."
"Suruh masuk," jawab Indira sambil menutup laptop-nya, bersandar di kursi dengan postur yang tenang namun berwibawa.
Pintu kayu besar terbuka. Lingga masuk dengan map tebal di tangannya. Ia tersenyum melihat Indira, lalu membungkuk hormat.
"Selamat siang, Indira," sapanya dengan nada yang hangat namun tetap profesional.
"Pak Lingga," Indira membalas dengan senyum tipis. "Duduk. Ada kabar apa?"
Lingga duduk di kursi di hadapan meja Indira, meletakkan map tebal di atas meja. "Kabar baik dan... kabar yang perlu kamu putuskan."
"Mulai dari yang baik," ucap Indira sambil menuangkan dua gelas air mineral dari pitcher di mejanya, satu untuk dirinya, satu untuk Lingga.
"Terima kasih," Lingga menerima gelas itu. "Kabar baiknya, Zamora Company semakin maju pesat. Dua minggu terakhir, kita dapat tiga proyek besar senilai total 2 triliun rupiah. Lima investor baru masuk dengan dana 1.5 triliun. Dan yang paling menarik..." ia membuka map, menunjukkan dokumen pada Indira, "...tiga perusahaan properti besar di Asia Tenggara ingin joint venture dengan kita."
Indira menatap dokumen itu dengan mata yang berkilat puas. "Bagus. Sangat bagus. Ini lebih cepat dari proyeksi kita."
"Itu karena strategi kamu sangat brilliant," Lingga tersenyum bangga. "Sejak kamu kembali aktif memimpin, performa perusahaan naik drastis. Board of directors sangat puas. Investor sangat percaya. Dan yang paling penting... nama Zamora Company kini jadi pembicaraan di kalangan elite bisnis Jakarta."
"Dan mereka penasaran siapa pemilik sebenarnya?" tanya Indira dengan senyum misterius.
"Sangat penasaran," Lingga tertawa pelan. "Setiap meeting, setiap pertemuan bisnis, selalu ada yang bertanya 'kapan bisa bertemu Ny. Zamora?' atau 'siapa sebenarnya pemilik Zamora Company?'. Beberapa CEO besar bahkan menawarkan dinner pribadi dengan harapan bisa bertemu Ibu."
"Dan jawaban bapak?"
"Seperti biasa," Lingga menjawab dengan tenang. "Pemilik Zamora Company sangat menjaga privasi dan tidak tertarik bertemu secara personal. Semua urusan bisnis bisa melalui saya."
"Perfect," Indira mengangguk puas. "Biarkan mereka penasaran. Mystery adalah kekuatan. Semakin mereka tidak tahu, semakin mereka ingin bekerja sama."
"Exactly," Lingga setuju. "Dan strategi itu berhasil dengan sempurna. Kita jadi seperti... unicorn bisnis. Semua orang mau tapi tidak semua orang bisa dapat."
Indira tersenyum bangga dengan apa yang ia bangun. Zamora Company adalah warisan dari ayahnya, dari kakeknya sebelumnya. Tiga generasi membangun kerajaan bisnis ini. Dan sekarang ia, wanita yang dulu dikira hanya ibu rumah tangga biasa... membuktikan bahwa ia layak jadi pewaris.
"Sekarang kabar yang perlu aku putuskan?" tanya Indira sambil menyeruput air mineralnya.
Lingga membuka map lagi, mengeluarkan tumpukan proposal yang cukup tebal, mungkin dua puluh dokumen. "Ini proposal kerjasama yang masuk minggu ini. Total 27 perusahaan mengajukan. Dari yang kecil sampai yang besar. Saya sudah sortir yang layak dipertimbangkan ada 15. Yang lain saya tolak karena tidak sesuai visi perusahaan kita."
Indira mengambil tumpukan itu, mulai membaca satu per satu dengan cepat tapi teliti. Matanya yang tajam langsung bisa menilai mana yang potensial dan mana yang hanya buang waktu.
"Yang ini oke," ucapnya sambil meletakkan satu proposal ke sisi kanan, pile 'approve'. "Yang ini juga. Yang ini... hmm, potensial tapi perlu negosiasi ulang term-nya. Yang ini..."
Ia berhenti. Matanya menatap cover proposal yang baru ia buka. Logo yang sangat familiar.
PRADIPTA MEDIKA
Proposal Kerjasama Proyek Pembangunan Klinik Regional
Indira menatap dokumen itu dengan wajah yang berubah dari profesional menjadi dingin. Sangat dingin.
"Pradipta Medika?" ucapnya dengan nada yang membuat Lingga langsung paham ada masalah. "Mereka mengajukan proposal lagi?"
"Ya," Lingga menjawab hati-hati. "Ini proposal ketiga mereka dalam dua minggu terakhir. Mereka sangat... desperate, sepertinya. Proposal ini bahkan menawarkan term yang sangat menguntungkan untuk kita, mereka mau ambil porsi yang lebih kecil, bahkan mau tanggung sebagian besar risk."
"Tentu saja mereka desperate," Indira tersenyum sinis. "Mereka hampir bangkrut. Investor mereka kabur. Bank menagih hutang. Mereka butuh partner besar untuk survive. Dan mereka pikir Zamora Company akan jadi penyelamat mereka."
"Jadi... apa keputusan mu?"
Indira menatap proposal itu... dokumen yang mungkin disiapkan Rangga dengan harapan, dengan doa, dengan desperation. Dokumen yang mungkin jadi satu-satunya kesempatan Pradipta Medika untuk bertahan.
Lalu dengan gerakan yang sangat tenang dan terkontrol Indira merobek proposal itu. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Sampai jadi serpihan-serpihan kertas kecil.
Dan ia melemparnya ke tempat sampah di samping mejanya.
"Tolak," ucapnya dengan nada final. "Dan jangan terima proposal apapun dari Pradipta Medika lagi. Permanent blacklist. Kalau mereka masih mengajukan, balas dengan surat resmi yang menyatakan Zamora Company tidak tertarik bekerja sama dengan mereka. Poin."
Lingga mengangguk, tidak terkejut, karena ia sudah menduga ini akan terjadi. "Understood. Saya akan kirim surat penolakan resmi hari ini juga."
"Bagus," Indira kembali fokus pada proposal lainnya, seolah tidak ada yang terjadi.
Mereka melanjutkan review proposal approve, reject, revise dengan efisiensi tinggi. Dalam tiga puluh menit, 27 proposal sudah diputuskan nasibnya.
"Ada lagi?" tanya Indira setelah proposal terakhir masuk pile yang sesuai.
"Ada satu hal lagi," Lingga mengeluarkan amplop besar berwarna gold dengan seal wax merah sangat formal, sangat mewah. "Ini datang tadi pagi. Langsung untuk Ibu."
Indira menatap amplop itu dengan mata menyipit. "Dari?"
"Keluarga Suryatama," jawab Lingga sambil menyerahkan amplop.
Mata Indira langsung berbinar. "Suryatama?"
"Ya," Lingga tersenyum. "Sepertinya undangan untuk acara besar mereka."
Indira membuka amplop dengan hati-hati, di dalamnya kartu undangan dengan emboss gold dan tulisan kaligrafi yang sangat indah.
Indira menatap undangan itu dengan senyum hangat.
"Kakek Harto," gumamnya dengan nada yang penuh kasih sayang.
"Ibu kenal dekat dengan Bapak Hartono Suryatama?" tanya Lingga dengan penasaran.
"Sangat dekat," jawab Indira sambil menyimpan undangan dengan hati-hati. "Beliau sahabat karib almarhum kakek ku. Mereka membangun bisnis bersama di masa muda. Dan sejak kakek ku meninggal sepuluh tahun lalu, Kakek Harto jadi seperti kakek pengganti untukku. Beliau yang ngajarin banyak hal tentang bisnis. Beliau yang support aku saat kuliah di London. Beliau yang selalu ada saat aku butuh nasihat."
Lingga mengangguk dengan paham. "Keluarga Suryatama adalah keluarga terkaya nomor satu di Indonesia. Kalau Ibu dekat dengan mereka, itu... itu aset yang sangat berharga."
"Mereka bukan aset," Indira mengoreksi dengan lembut. "Mereka keluarga. Kakek Harto, Nenek Aminah, dan cucu-cucu mereka sudah seperti keluarga sendiri untukku."
"Maaf, aku tidak bermaksud..."
"Tidak apa-apa," Indira tersenyum. "Aku mengerti maksud bapak. Tapi bagi ku, hubungan dengan keluarga Suryatama itu personal. Bukan bisnis. Meskipun memang kalau dalam konteks bisnis, dukungan mereka sangat membantu."
"Ibu akan datang?" tanya Lingga.
"Tentu saja," jawab Indira tanpa ragu. "Ini ulang tahun Kakek Harto yang ke-80. Aku tidak akan lewatkan acara ini apapun yang terjadi."
"Acara keluarga Suryatama biasanya sangat... megah," Lingga berkomentar. "Dan semua elite bisnis dan politik akan hadir. Ini kesempatan networking yang luar biasa."
"Aku tidak datang untuk networking," Indira tersenyum. "Aku datang karena aku sayang sama Kakek Harto. Tapi kalau ada kesempatan networking... well, that's a bonus."
Lingga tertawa. "Ibu selalu tahu cara menyeimbangkan personal dan profesional."
"Itu yang ayah ku ajarin," Indira berdiri, menandakan meeting selesai. "Bisnis itu penting, tapi jangan sampai kita kehilangan humanity kita. Jangan sampai kita jadi robot yang hanya mikir profit."
Lingga juga berdiri, membungkuk hormat. "Wise words. Terima kasih untuk waktunya. Aku akan eksekusi semua keputusan yang sudah kita discuss hari ini."
"Terima kasih, Pak Lingga," Indira tersenyum. "Dan satu lagi... untuk acara Suryatama, jangan ada yang tahu aku akan datang. Aku mau low profile."
"Understood," Lingga mengangguk. "Rahasia akan tetap rahasia."
Setelah Lingga keluar, Indira kembali duduk di kursinya. Ia menatap undangan dari keluarga Suryatama dengan senyum hangat, lalu melirik ke tempat sampah di samping mejanya,tempat serpihan proposal Pradipta Medika tergeletak seperti mimpi yang hancur.
Kontras yang tajam.
Di satu sisi, ada orang-orang yang menghargainya, yang melihat nilainya, yang memperlakukannya seperti keluarga. Seperti keluarga Suryatama.
Di sisi lain, ada orang yang mengkhianatinya, yang meremehkannya, yang sekarang desperate meminta bantuan setelah menyakitinya. Seperti Rangga.
Dan Indira tahu dengan sangat jelas... siapa yang layak mendapat waktu dan energinya.
Bukan Rangga. Tidak lagi. Tidak akan pernah lagi.
Ia meraih ponselnya, mengetik pesan untuk Rani.
"Ran, aku dapat undangan ulang tahun Kakek Harto Suryatama. Black tie event. Mau ikut? Kamu bisa jadi plus one ku."
Balasan datang cepat.
"KAKEK HARTO SURYATAMA?! THE Harto Suryatama? Orang terkaya se-Indonesia?! DAN KAMU KENAL DEKAT SAMA DIA?! DIRA, KENAPA KAMU TIDAK PERNAH CERITA?"
Indira tertawa membaca respons dramatis Rani.
"Cerita panjang. Nanti ku jelaskan. Jadi mau ikut atau tidak?"
"MAU! SANGAT MAU! Aku akan beli gaun paling cantik! Aku akan..."
Indira tidak membaca lanjutannya. Ia menyimpan ponselnya dengan senyum, menatap keluar jendela ke arah kota Jakarta yang membentang luas.
Hidupnya berubah drastis dalam beberapa bulan terakhir. Dari istri yang dikhianati menjadi CEO yang ditakuti dan dihormati. Dari wanita yang dikunci di kamarnya sendiri menjadi wanita yang memegang kunci masa depan banyak perusahaan, termasuk masa depan perusahaan mantan suaminya.
Dan yang paling penting... ia menemukan kembali dirinya. Bukan sebagai istri Rangga. Bukan sebagai wanita yang hidup di bayangan suami. Tapi sebagai Indira Zamora. CEO. Pewaris. Wanita yang bisa berdiri dengan kakinya sendiri.
Dan ia tidak akan pernah kembali ke versi lama dirinya.
Tidak akan pernah.