Romance modern.
Kisah cinta Anne Halinger dengan Robert Anderson yang bertemu lewat perjodohan.
Anne yang berasal dari keluarga yang tidak menyayanginya. Dia dijodohkan dengan Robert yang hampir bangkrut dan tidak punya penghasilan tetap.
Namun, tiada yang tahu jadi diri Robert yang sebenarnya adalah pewaris dan CEO Black Diamond Group. Bagaimana kisah cinta dua insan ini? Akankah Anne dan Robert berbahagia?
Ikuti terus kisah mereka ya.
IG @cindy.winarto
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cindy Winarto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya itu Rob, kita 'kan sedang liburan," tanya Anne.
Dia sebetulnya enggan menjawab pertanyaan itu. Sejujurnya dia belum siap berhenti bekerja karena sudah nyaman dengan kerjaannya saat ini.
"Kamu tahu, sebaiknya kamu jangan menggenggam terlalu erat pekerjaanmu itu, suatu saat kamu akan menyesal, Anne. Lihat keadaanmu sekarang, saraf kejepitmu tidak kunjung sembuh total, sebentar-sebentar kambuh karena kamu duduk terus, pantatmu sudah menempel di kursi kerjamu. Kamu tertekan dengan pekerjaanmu walau di sisi lain kamu nyaman dengan teman-teman kantormu. Aku tahu kamu passionate, tapi semua ini terlalu menyita waktu dan tenagamu, bahkan merusak kesehatanmu." Robert mengoceh panjang lebar dan terdiam seribu bahasa.
"Tapi, Rob. Kalau aku berhenti, aku mau lakukan apa di rumah? Pasti bosan sekali. Kita belum ada anak, aku tidak mau di rumah saja. Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu, apakah gajimu fix dan cukup untuk menghidupi kita berdua, lalu bila ada anak ya kalau misalnya kita punya dua anak, lalu aku masih harus membayar tagihan tabungan pensiunku di asuransi, belum lagi harus memberi uang bulanan untuk ibuku dan oma Tinka. Intinya aku cuma jadi beban untuk kamu, Rob. Aku bingung. Apa yang mau ku jual online, bisnis online apa aku tidak tahu. Aku tidak bisa berharap pada kedua orang tuaku untuk membukakanku bisnis seperti orang tua temanku yang lainnya, dan sebagainya. Pusing aku Rob," ujar Anne panjang lebar sambil menghela napas panjang.
Robert sudah tahu semua poin yang Anne sebutkan tadi. Mulutnya sudah gatal ingin mengungkap jati dirinya sebagai CEO Black Diamond Group, tapi ini belum saatnya. Dia ingin Anne mencintai dirinya apa adanya, saling mengkhawatirkan seperti pasangan pada umumnya, saling berjuang mencari uang, membangun semuanya berdua bersama walau dari nol bahkan minus.
"Aku memang hanya bermain trading forex, dan tidak selalu untung, tapi lumayan hasilnya. Aku punya tabungan dan deposito juga. Kita pun hidup dengan sangat irit, itu juga sudah menolong sekali. Berhentilah bekerja di perusahaanmu, istirahat sejenak dan kamu bisa coba lamar ke Black Diamond Group yang sedang membuka banyak lowongan." Robert berusaha membujuk Anne.
"Entahlah, Rob. Aku masih belum yakin." Anne mengambil makanan lagi dan memutuskan untuk makan sepuasnya saja daripada galau memikirkan pertanyaan suaminya tadi.
***
Selesai makan, mereka berkeliling sejenak melihat fasilitas hotel. Anne tidak mau sakit perut kalau mereka langsung baku hantam setelah makan banyak. Kalau orang tua zaman dulu berkata, bisa usus buntu kalau habis makan langsung tidur.
Robert mau tak mau mengalah dengan istrinya daripada nanti tidak dikasih jatah. Bibirnya mengerucut sambil menggandeng tangan istrinya.
Pertama, mereka melihat-lihat arena playground anak yang dekat dengan restoran hotel. Ada kolam renang khusus anak, ayunan, jungkat-jungkit, kolam mandi bola, mini perpustakaan, trampolin mini, arena outdoor, dan ada arena mini zoo dengan aktivitas memberi makan hewan ternak, seperti kambing, domba, kelinci, ayam, sapi, dll. Seru sekali. Karena ini hari Minggu, banyak keluarga yang bermain di arena playground tersebut.
Berikutnya mereka melihat-lihat cafe dan spa. Mata Anne melotot begitu melihat harga minuman di cafe itu, matanya juga pusing saat membaca nama-nama minuman beralkohol yang tertera di buku menu di depan cafe.
Yang pasti Anne ingin pergi adalah spa walau mahal harganya. Seumur-umur dia belum pernah ke spa. Sekali seumur hidup tak apa lah untuk mencobanya. Dia akan mencoba spa, lulur, facial, manicure, pedicure, dll.
Berikutnya mereka melihat pantai biru berpasir putih. Anne duduk sejenak di tepi pantai. Pandangannya menerawang. Semilir angin bertiup pelan menerpa wajah putihnya. Dia melamun untuk beberapa saat.
"Rob, apa aku salah yah karena aku berharap orang tuaku memberi modal membukakan bisnis toko bangunan juga untukku? Aku hanya ingin keadilan, Rob. Apakah anak perempuan selalu bernasib seperti aku ya, dinikahkan tanpa diberi apapun. Aku tahu kitab suci berkata agar tidak menaruh harapan pada manusia karena bisa kecewa, tapi mereka 'kan lebih dari mampu Rob," tutur Anne dengan sedih.
Robert mendengarkan dengan setia, dia tampak berpikir harus menjawab apa. Dia sudah tahu semuanya dari laporan Matt.
"Anne, kamu akan mati penasaran jika terus bertanya-tanya begitu. Bagaimana jika begini saja cara berpikirnya. Mungkin orang tuamu ingin membantu kakakmu karena dia miskin? Dia menikah dua tahun lalu. Belum ada anak juga sampai sekarang. Dia dan istrinya memang bekerja, tapi dia juga membayar sendiri cicilannya. Mungkin saja orang tuamu ada bantu support mereka secara dana untuk membayar rumah itu, tapi itu hanya dugaan kita saja 'kan. Kalaupun itu benar, kamu tidak perlu iri. Anggap saja itu rezeki kakakmu. Orang tuamu amat menyayangi kakakmu, dan tidak ingin orang lain menganggapnya remeh karena pekerjaannya sebagai salesman produk kesehatan, asumsi orang ya gajinya kecil. Wajar saja jika orang tua yang mampu secara finansial ingin men-support anaknya, itu terserah mereka dan sah-sah saja, 'kan itu uang mereka Anne. Di satu sisi, orang tuamu baik karena men-support kakakmu, tapi di sisi lain itu tidak mendidiknya mandiri. Ya, dia dan istrinya bekerja, tapi apakah mereka murni tulus sayang pada orang tuamu? Belum tentu, bisa jadi hanya mengincar harta saja? Kita tidak pernah tahu, Anne. Mungkin juga, besan atau mertua kakakmu yang mungkin menekan orang tuamu untuk turut bantu men-support kakakmu dan istrinya." Robert jeda sebentar.
"Maksudku, bisa saja besannya mengatakan sesuatu atau bertanya misalnya, 'Besan, kamu 'kan buka toko bangunan, ke depannya 'kan Spencer yang meneruskan, sekarang pekerjaannya hanya sales, nanti anak saya makan apa, lalu kalau punya anak bagaimana, Besan harus bantu mereka juga dong', kira-kira begitu Anne. Jadi, mungkin orang tuamu malu pada besannya dan berusaha menjaga muka mereka dan Spencer di hadapan besan itu," ujar Robert yang berusaha terdengar bijak dan tidak ketahuan bahwa dia mengetahuinya dari Matt.
"Masak begitu Rob? Kalau begitu apa aku beruntung karena tidak punya mertua yang menuntut macam-macam padaku dan orang tuaku?" tanya Anne sambil bertopang dagu.
"Satu hal yang pasti. Jangan iri, jangan marah pada mereka, Anne. Itu hanya akan membawa kejahatan, misalnya pikiran iri, dengki, sakit penyakit, dll. Ambil positifnya saja, kita tidak ada hutang budi dengan siapa pun walau sakit hati itu pasti ada, 'kan kita manusia biasa juga. Satu lagi, percayalah padaku bahwa aku bisa menghidupimu walau hanya aku yang bekerja. Bersyukurlah pada Tuhan karena aku menarikmu keluar dari lumpur, kamu adalah mutiaraku yang belum terasah." Robert berusaha membesarkan hati Anne.
Sore itu mereka duduk di pinggir pantai, menikmati keindahan alam dan langit yang biru. Anne terdiam sambil menyeka air matanya. Sedikit demi sedikit bebannya terangkat dan hatinya lebih lega. Mungkin suaminya benar, harus berbesar hati dan jangan berharap menengadah tangan kepada orang tua sendiri. Mungkin bukan rezekinya dari tangan orang tua, tapi dari tangannya sendiri.
Matahari terbenam dengan indah. Mereka saling bergandengan tangan menyusuri tepi pantai sambil sesekali bermain air.
***
Yuk dukung terus karya pertamaku ini ya. Klik like, vote dan favorit, dan bagi koinnya jika berkenan. Terima kasih.
IG @cindy.winarto
kok pendek skali