NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33: Kiran Kembali

#

Seminggu setelah pertemuan dengan Abi—seminggu yang Gavin habiskan dengan telepon setiap malam untuk anaknya, dengan mencoba membangun rutinitas baru sebagai ayah yang terpisah, dengan perlahan mencoba menerima kenyataan bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi—dunia Gavin kembali runtuh.

Dia duduk di kantor kecilnya—bukan lagi kantor CEO yang mewah, tapi ruangan kecil di lantai tiga yang dikasih board sebagai "courtesy" selama dia "transition out" dari perusahaan. Gavin sekarang officially hanya konsultan, bukan lagi bagian dari manajemen. Gaji dipotong drastis. Tidak ada lagi mobil dinas. Tidak ada lagi privilege.

Tapi setidaknya dia masih punya kantor. Masih punya tempat untuk datang setiap hari supaya tidak gila di apartemen yang dingin.

Ketukan di pintu membuatnya mengangkat kepala dari laporan yang sedang dia review—laporan yang sebetulnya tidak penting, hanya sibuk-sibuk untuk mengisi waktu.

"Masuk," kata Gavin tanpa banyak pikir.

Pintu terbuka.

Dan dunia Gavin berhenti berputar.

Kiran Anindita berdiri di ambang pintu—perempuan yang dia tidak lihat sejak pertemuan terakhir mereka di apartemen sebulan lalu, perempuan yang meninggalkannya dengan kata-kata penuh kekecewaan dan kemarahan. Tapi sekarang...

Sekarang dia terlihat berbeda. Lebih kurus di wajah. Mata yang sembab seperti baru menangis. Dan ada sesuatu di postur tubuhnya—sesuatu yang protektif, seolah dia memeluk sesuatu yang invisible.

"Kiran?" kata Gavin, berdiri dari kursi dengan shock yang genuine. "Kamu... apa yang kamu lakukan di sini?"

Kiran menutup pintu di belakangnya—pelan, hati-hati. Dia berjalan masuk dengan langkah yang ragu, tidak seperti Kiran yang biasa dia kenal yang selalu confident dan tegas.

"Aku perlu bicara sama kamu," kata Kiran dengan suara yang lebih kecil dari biasanya. "Ini penting."

Gavin menatapnya dengan perasaan tidak enak yang mulai merayap di perutnya. "Tentang apa? Kiran, kamu bilang kamu tidak mau lihat aku lagi. Kamu bilang—"

"Aku hamil," potong Kiran, dan kata-kata itu keluar dengan datar, seperti statement fakta yang tidak bisa dibantah.

Waktu berhenti.

Gavin menatap Kiran dengan mulut terbuka, otak tidak bisa memproses informasi yang baru saja dia dengar. "Apa?"

"Aku hamil," ulang Kiran, lebih keras sekarang, tangannya turun ke perutnya yang masih rata tapi gerakan itu membuat statement menjadi lebih real. "Dua bulan. Aku baru tahu minggu lalu."

"Tidak," bisik Gavin, menggeleng seperti denial bisa mengubah fakta. "Tidak, itu tidak mungkin. Kamu... kamu bilang kamu minum pil. Kamu bilang—"

"Aku minum pil!" bentak Kiran, mata berkaca-kaca. "Tapi tidak ada kontrasepsi yang seratus persen efektif! Dan kamu—kamu yang selalu bilang 'keluarin aja di dalam, aku gak suka pakai pengaman, itu gak enak' ingat? KAMU yang gak mau pakai kondom karena katanya mengurangi sensasi!"

Setiap kata seperti pukulan karena itu benar—Gavin memang yang selalu mengeluh soal kondom, yang selalu bilang lebih enak tanpa proteksi, yang egois soal pleasure sendiri tanpa pikir konsekuensi jangka panjang.

Dan sekarang konsekuensi itu berdiri di depannya dengan perut yang mengandung anak yang bukan dari istrinya.

"Kamu yakin?" tanya Gavin dengan suara yang bergetar, masih berharap ini salah, ini nightmare yang akan berakhir kalau dia bangun. "Kamu yakin itu... itu anak aku?"

Kiran menatapnya dengan tatapan yang mix antara terluka dan marah. "Tentu saja itu anakmu! SIAPA LAGI? Kamu pikir aku tidur dengan pria lain selain kamu? Kamu pikir aku apa?"

"Tapi kamu bilang kamu dengan pria lain sekarang!" kata Gavin, mencoba mencari jalan keluar. "Kamu bilang kamu akan nikah dengan pria yang lebih kaya—"

"AKU BOHONG!" teriak Kiran, air matanya jatuh sekarang. "Aku bilang begitu karena aku sakit hati! Karena aku lelah jadi pilihan kedua! Tapi tidak ada pria lain, Gavin! Hanya kamu! Dan sekarang aku hamil dengan anakmu dan aku tidak tahu harus bagaimana!"

Kiran jatuh duduk di kursi di depan meja Gavin, wajah di tangannya, menangis dengan cara yang membuat bahu bergetar. Dan Gavin berdiri di sana—terpaku, otak berputar dengan seribu pikiran tapi tidak bisa fokus ke satupun.

Hamil. Kiran hamil. Dengan anaknya.

Gavin ingat malam-malam mereka bersama—terutama malam-malam terakhir sebelum skandal pecah, saat mereka bercinta dengan desperate karena somehow keduanya tahu ini akan berakhir. Malam-malam di mana mereka tidak hati-hati, di mana Gavin terlalu fokus pada pleasure untuk pikir tentang konsekuensi.

Dia ingat bagaimana dia mengeluarkan di dalam Kiran berkali-kali—tiga, empat kali dalam satu malam—karena Kiran bilang dia minum pil dan itu "aman." Dia ingat bagaimana dia tidak pernah pikir untuk pakai kondom karena dia egois dan bodoh dan sekarang...

Sekarang ada bayi. Bayi yang tidak direncanakan. Bayi dari perselingkuhan. Bayi yang kehadirannya akan menghancurkan apa pun kesempatan kecil yang mungkin Gavin masih punya untuk... untuk apa? Untuk kembali ke Larasati? Itu sudah tidak mungkin. Tapi setidaknya untuk punya hubungan yang decent dengan Larasati demi Abi.

Kalau Larasati tahu tentang ini...

"Kamu akan gugurkan kan?" tanya Gavin tiba-tiba, suaranya dingin dan desperate bersamaan. "Kamu akan gugurkan bayi itu kan? Kiran, kamu masih muda. Kamu punya karir. Kamu tidak perlu—"

"JANGAN!" teriak Kiran, mengangkat wajahnya yang basah dengan tatapan yang penuh horror. "Jangan berani bilang aku harus gugurkan bayiku! Ini anak aku! Anak kita! Bukan cuma kamu yang decide!"

"Tapi Kiran, kamu tidak mengerti—" Gavin berjalan mengelilingi meja, mencoba mendekati tapi Kiran mundur. "Hidup aku sudah hancur. Aku kehilangan pekerjaan, kehilangan istri, hampir kehilangan anak. Media masih memburuku. Kalau mereka tahu tentang ini—tentang bayi dari perselingkuhan—semuanya akan jadi lebih buruk!"

"Jadi ini tentang kamu?" tanya Kiran dengan suara yang bergetar antara marah dan terluka. "Tentang reputasimu? Tentang bagaimana ini akan affect hidupmu? Apa kamu tidak pikir tentang aku? Tentang bayi ini?"

"Tentu saja aku pikir—"

"BOHONG!" Kiran berdiri sekarang, menghadap Gavin dengan mata yang menyala. "Kamu hanya pikir tentang dirimu sendiri! Seperti biasa! Seperti kenapa kamu selingkuh di awal—karena kamu mau pleasure tanpa tanggung jawab! Karena kamu egois!"

"Aku tidak egois—"

"KAMU EGOIS!" isak Kiran. "Kamu yang bilang kamu cinta aku tapi kamu tidak pernah benar-benar mau ninggalin istrimu! Kamu yang bilang kita akan punya masa depan tapi kamu tidak pernah serius! Kamu yang mau semua pleasure dari hubungan tanpa konsekuensi! Dan sekarang—sekarang saat konsekuensi datang dengan wajah bayi yang belum lahir—kamu mau aku gugurkan?"

Kiran menangis dengan keras sekarang—tidak ada lagi kontrol, tidak ada lagi dignity yang dia coba maintain. Hanya tangisan mentah dari perempuan yang ketakutan dan sendirian.

"Aku tidak minta banyak, Gavin," bisiknya di antara isakan. "Aku tidak minta kamu nikahi aku. Aku tidak minta kamu tinggalkan keluargamu—mereka sudah ninggalin kamu duluan anyway. Aku cuma... aku cuma mau kamu tanggung jawab. Mau kamu akui bahwa ini anakmu. Mau kamu bantu aku secara finansial karena sendirian aku tidak sanggup."

Gavin menatap perempuan di depannya—perempuan yang dulu dia pikir dia cintai, yang sekarang dia sadari hanya object dari egoisme dan eskapisme dia. Dan sekarang perempuan ini hamil dengan anaknya, meminta tanggung jawab minimum yang seharusnya tidak perlu diminta.

"Berapa yang kamu butuh?" tanya Gavin dengan suara yang lelah, seperti ini hanya transaksi bisnis.

Kiran tersentak seolah ditampar. "Apa?"

"Uang. Berapa yang kamu butuh? Aku akan kasih. Tapi Kiran, aku tidak bisa involve secara personal. Aku tidak bisa jadi ayah untuk bayi ini. Aku barely bisa jadi ayah untuk Abi sekarang. Aku—"

"Kamu tidak bisa jadi ayah karena kamu tidak MAU jadi ayah!" potong Kiran dengan marah. "Ini bukan tentang kemampuan. Ini tentang kemauan. Dan kamu—kamu cobek yang hanya mau privilege dari fatherhood tanpa tanggung jawab!"

"Jangan panggil aku cobek!" Gavin merasa amarahnya sendiri naik—amarah yang lahir dari defense mechanism, dari ketidakmampuan untuk handle situasi. "Aku tidak cobek! Aku cuma realistis! Aku tidak punya uang sebanyak dulu! Aku tidak punya pekerjaan yang stabil! Aku едва bisa hidup sendiri sekarang!"

"Lalu gimana dengan aku?" teriak Kiran. "Aku akan kehilangan pekerjaan saat perut aku membesar! Tidak ada perusahaan yang mau hire single mother yang hamil dari skandal perselingkuhan! Aku akan kehilangan segalanya, Gavin! Dan kamu bilang kamu tidak bisa tanggung jawab?"

Mereka berdiri berhadapan—dua orang yang dulu berbagi intimacy tapi sekarang terasa seperti musuh, dua orang yang sama-sama victim dari pilihan buruk mereka sendiri.

"Aku butuh waktu," kata Gavin akhirnya, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Aku butuh waktu untuk pikir. Untuk figure out gimana aku bisa bantu tanpa... tanpa membuat segalanya lebih rumit."

"Lebih rumit?" Kiran tertawa pahit. "Gavin, tidak ada yang bisa lebih rumit dari ini. Aku hamil dengan anak dari pria yang masih legally menikah dengan perempuan lain. Pria yang kehilangan segalanya karena skandal. Pria yang bahkan tidak yakin dia mau anak ini exist. INI SUDAH RUMIT MAKSIMAL!"

"Lalu apa yang kamu mau aku lakukan?" tanya Gavin dengan frustasi. "Aku tidak punya solusi ajaib! Aku tidak bisa bikin segalanya okay tiba-tiba!"

"Aku mau kamu jadi pria!" bentak Kiran. "Aku mau kamu berhenti lari dari tanggung jawab! Aku mau kamu akui bahwa kamu membuat anak dengan aku dan sekarang kamu harus deal dengan konsekuensi!"

Keheningan turun—keheningan yang berat, yang dipenuhi semua yang tidak bisa diubah, semua pilihan buruk yang sekarang jadi reality yang tidak bisa dihindari.

"Aku akan pikirin," kata Gavin akhirnya, suaranya datar. "Aku akan pikirin dan aku akan kontak kamu. Tapi Kiran—kumohon—jangan bilang siapa-siapa dulu. Jangan sampai ini bocor ke media. Jangan sampai Larasati tahu."

"Kenapa?" tanya Kiran dengan mata menyipit. "Kenapa kamu masih peduli apa yang Larasati pikir? Dia sudah ninggalin kamu. Dia sudah move on."

"Karena kalau dia tahu tentang ini," bisik Gavin, dan sekarang suaranya pecah dengan desperation yang genuine, "kalau dia tahu aku hamil-kan kamu—perempuan yang aku selingkuh dengannya—saat aku masih married, dia akan ambil Abi sepenuhnya. Dia akan bilang ke hakim bahwa aku tidak fit jadi ayah. Dan aku akan kehilangan anak aku selamanya."

Kiran menatapnya dengan tatapan yang complicated—mix dari simpati dan contempt. "Jadi kamu peduli soal Abi tapi tidak peduli soal bayi di perut aku?"

"Itu bukan sama—"

"Kenapa tidak sama?" potong Kiran. "Keduanya anak kamu! Keduanya darah daging kamu! Tapi yang satu kamu fight untuk keep, yang lain kamu mau aku gugurkan? Itu tidak adil, Gavin!"

Gavin tidak bisa jawab karena Kiran benar. Ini tidak adil. Tidak ada yang adil tentang situasi ini.

"Aku harus pergi," kata Kiran akhirnya, berjalan ke pintu dengan langkah yang goyah. "Aku kasih kamu seminggu untuk pikir. Setelah itu, aku akan decide sendiri apa yang aku lakukan. Dengan atau tanpa kamu."

Dia buka pintu, berhenti sebentar tanpa berbalik. "Dan Gavin? Aku akan pertahankan bayi ini. Apapun yang kamu putuskan. Jadi kamu better prepare untuk jadi ayah lagi. Entah kamu mau atau tidak."

Pintu tertutup.

Dan Gavin jatuh ke kursinya, kepala di tangan, napas yang tidak teratur.

Hamil. Kiran hamil.

Ini bukan mimpi buruk yang akan berakhir saat dia bangun. Ini reality. Dalam tujuh bulan, akan ada bayi—bayi dari perselingkuhan, bayi yang kehadirannya akan destroy apa pun yang tersisa dari reputation dia.

Dan yang paling menakutkan: kalau Larasati tahu...

Kalau Larasati tahu bahwa tidak hanya dia selingkuh, tapi dia sampai hamil-kan perempuan lain, tidak ada hakim manapun yang akan kasih dia custody atau bahkan proper visitation dengan Abi. Dia akan kehilangan anaknya—satu-satunya hal yang masih membuat hidupnya worth living.

Gavin ambil ponselnya dengan tangan gemetar, menatap contact Larasati. Dia tidak tahu kenapa—maybe untuk telepon, maybe hanya untuk lihat namanya, maybe untuk remind dirinya sendiri tentang segalanya yang sudah dia hancurkan.

Tapi dia tidak telepon. Karena apa yang akan dia bilang?

"Hai, aku tahu kamu sudah cerai sama aku karena aku selingkuh. Tapi sekarang perempuan yang aku selingkuhin hamil dengan anak aku. Jadi... yeah, aku lebih bajingan dari yang kamu pikir."

Tidak. Dia tidak bisa bilang itu. Tidak sekarang. Mungkin tidak pernah.

Dia harus pikir. Harus figure out bagaimana untuk handle ini tanpa kehilangan Abi.

Tapi di dalam hatinya, Gavin tahu: tidak ada jalan keluar dari ini yang tidak akan berakhir dengan lebih banyak kehancuran.

Dia membuat pilihan. Dan sekarang—seperti selalu—konsekuensi datang untuk collect.

---

**Bersambung

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!