Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak yang Sengaja Dibangun
Lima hari berlalu sejak kejadian di vila itu.
Lima hari yang terasa panjang, aneh, dan penuh kecanggungan.
Jika sebelumnya Devan selalu dingin, acuh, dan menjaga jarak—sekarang keadaan berbalik. Arash, yang dulu cerewet dalam hati, suka ngomel tanpa suara, sesekali menatap Devan kesal tapi tetap natural… kini berubah total.
Ia menjadi dingin.
Kaku.
Formal.
Seolah memasang dinding transparan yang tak bisa ditembus siapa pun—terutama Devan.
Arash tidak pernah menatap Devan lebih dari satu detik. Ia bicara seperlunya. Ia bekerja sedisiplin mungkin, bahkan terlalu disiplin. Seakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka… tidak pernah ada.
Perubahan itu membuat Devan gelisah. Ia tidak menunjukkannya, tapi ia merasakannya. Setiap kali Arash lewat tanpa mendongak, tanpa memberi ekspresi apa pun, ada sesuatu di dadanya yang seperti mengencang.
Kenapa dia menjauh? Kenapa dia berubah? Dan… kenapa aku peduli?
Pertanyaan itu terus memukul pikirannya tanpa jawaban.
Jumat pagi...
Langit mendung, angin lembap menelusup lewat celah jendela kosan Arash.
Ia berdiri memandangi jalanan sambil menghela napas. Hari itu ia harus mampir ke kampus untuk urusan administrasi. Ia benar-benar tidak ingin naik ojek online. Tidak ingin banyak bicara. Dan terutama… tidak ingin bertemu Devan lebih cepat dari seharusnya.
Ia meraih ponselnya dan menekan nomor yang selalu membuatnya merasa aman.
Aldrich Wiratama.
Satu-satunya kakak laki-lakinya. Rumah, tanpa syarat.
“Hallo, Kak. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Dek. Kenapa?” suara Aldrich terdengar sibuk, tapi hangat.
“Kakak sibuk nggak?”
“Sebentar lagi mau berangkat ke kantor.”
“Bisa anter aku ke kampus nggak…? Lagi males banget, Kak.”
Nada rengeknya kecil.
Aldrich tertawa pendek. “Bisa, Dek. Sepuluh menit lagi Kakak jemput.”
Arash tersenyum. “Makasih, Kak.”
Telepon ditutup… lalu ponselnya langsung bergetar lagi.
Nama yang muncul membuat jantungnya berhenti sepersekian detik.
Devan.
Arash refleks menekan tombol power.
Klik.
Ponsel mati total.
“Bukan hari ini… bukan untuk kamu,” bisiknya.
Tak lama kemudian, mobil hitam milik Aldrich berhenti di depan kosan. Arash melangkah masuk sambil mencium tangan kakaknya.
“Udah sarapan?” tanya Aldrich.
“Belum.”
“Nah, ini bekal dari istri Kakak.” Aldrich memberi kotak makanan.
Arash langsung sumringah. “Makasih! Sampaikan terima kasihku ke Kak Naysila ya.”
“Iya. Kamu tuh ya, pura-pura hidup sederhana,” goda Aldrich sambil mengacak jilbab adiknya.
Arash cengengesan. “Aku bahagia, Kak. Aku nyaman jadi orang biasa.”
“Aku dukung,” kata Aldrich lembut. “Magang kamu masih lanjut?”
“Masih.”
“Di mana?”
“Adhitama Grup.”
Aldrich bersiul. “Wah, keren itu.”
Arash manyun. “Bosnya galak banget…”
Aldrich terbahak keras. “Yang penting kamu kuat.”
“Iya, Kak…”
Sepanjang perjalanan, mobil itu dipenuhi obrolan hangat yang menenangkan hati Arash. Ia selalu merasa menjadi dirinya sendiri ketika bersama keluarga.
Sesampainya di kampus, Aldrich memeluk kepalanya sebentar sebelum Arash turun.
“Jaga diri, Dek.”
“Iya, Kak. Makasih banyak.”
......................
Pagi menjelang siang...
Setelah urusan kampus selesai, Arash langsung menuju kantor. Ia memperbaiki mood-nya. Hari ini ia harus profesional. Kebal.
Sesampainya di lantai 20, kantor sudah ramai. Arash bekerja cepat—mengecek dokumen, revisi angka, menyusun map untuk ditandatangani Devan.
Setelah memastikan semuanya rapi, ia berdiri.
Langkahnya cepat, efisien, dan tanpa suara. Ia terbiasa melakukan ini.
Hanya saja, kali ini ia lupa satu hal penting.
Ia lupa… mengetuk pintu.
Arash membuka pintu begitu saja—
Dan tubuhnya langsung membeku.
Di depan matanya, Devan duduk di kursi kerjanya.
Dan Vena Utomo…
duduk di pangkuannya.
Gaun ketatnya menonjolkan lekuk tubuh, rambutnya bergelombang rapi, dan aroma parfumnya langsung menguasai ruangan.
Tangan Vena melingkar manja di leher Devan. Posisi mereka sangat intim.
Devan memegang pinggang Vena—atau mungkin hanya sekadar tidak sempat menepis—Arash tidak tahu.
Yang ia lihat hanyalah satu hal:
Mereka terlihat dekat.
Terlalu dekat.
Arash terpaku.
Jantungnya berdegup keras, lalu jatuh.
Map dokumen di tangannya bergetar.
Dalam sepersekian detik, sederet emosi menghantam:
kaget, panas, malu—dan sesuatu yang tidak boleh ia akui.
Dengan reflek cepat, ia menutup pintu.
Brak.
Napasnya memburu. Tangannya mencengkram map sampai buku jarinya memutih. Rasanya seperti seseorang menyayat hatinya dari dalam.
“Bukan urusanku…” gumamnya pelan. “Dia bosku. Cuma bos. Itu saja.”
Tapi logika tak pernah bisa mengalahkan rasa.
Ia berjalan cepat menuju mejanya.
Duduk.
Dan untuk pertama kalinya, ia meletakkan map cukup keras hingga Malik yang lewat menoleh sebentar.
Arash menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Aku bodoh…” bisiknya dengan suara pecah. “Kenapa harus lihat itu…”
......................
Di ruangan Devan—
Begitu pintu tertutup, Devan langsung mendorong tubuh Vena menjauh.
“Apa-apaan kamu duduk di pangkuan saya?” ucap Devan tajam.
“Kak Devan, kita kan—”
“Kamu keluar.”
“Tapi kak—”
“Keluar, Vena,” tegas Devan, suaranya lebih dingin dari lemari pendingin.
Vena mendengus kesal. “Suatu hari kakak bakal nyari aku.”
“Saya tidak tertarik,” balas Devan tanpa menatap.
Vena menghentakkan langkahnya dengan marah sebelum akhirnya keluar.
Begitu pintu tertutup, Devan mengusap wajahnya dengan kasar.
Ia bahkan tidak memikirkan Vena. Tidak peduli perempuan itu memaksakan diri. Tidak peduli drama apa yang akan ia mainkan setelah ini.
Yang memenuhi benaknya hanyalah satu hal:
Tadi itu… Arash?
Devan berdiri cepat.
Ia membuka pintu sedikit, mengintip ke arah meja Arash.
Di sana, Arash duduk tegak, wajah datar, tapi kelopak matanya berkedip lebih cepat dari biasanya. Rahangnya mengeras, tanda ia sedang menahan sesuatu.
Devan menghela napas panjang.
“Arash… bukan seperti yang kamu lihat…” gumamnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Devan merasa benar-benar takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah ia miliki.
mellow banget...... beneran nangis aku ini.....
pe di ledekin ma bocil......😭😭😭😭
😡
ga sabar tunggu update nya....💪
dengan begitu Devan bisa istirahat dari kerjaan nya...ga seperti robot lagi....
di tambah bonus...bisa lebih intens lagi dengan Arash.....💪