Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6: Jatuh Cinta Tanpa Sadar
Arsyan mulai sadar satu hal: dia udah jatuh cinta.
Jatuh cinta beneran. Bukan cuma suka, bukan cuma tertarik—tapi cinta. Cinta yang bikin dia bangun pagi langsung mikirin Wulan. Cinta yang bikin dia senyum-senyum sendiri pas lagi ngaduk kuah. Cinta yang bikin dia... rela ngejalanin warung ampe sore cuma buat nunggu Wulan dateng.
Dan itu... nyeremin.
Karena Arsyan nggak tau siapa Wulan sebenarnya.
"Gue gila," gumamnya sambil nyuci piring di ember plastik. "Gue jatuh cinta sama cewek yang... yang mungkin bukan manusia. Anjir, ini plot film horror atau gimana sih?"
Tapi hatinya nggak peduli.
Hatinya cuma tau: Wulan baik. Wulan lembut. Wulan... bikin dia hidup.
Sore itu, warung Arsyan sengaja dia tutup lebih cepet. Dia mau ke masjid, shalat Maghrib, terus... mungkin minta petunjuk. Arsyan bukan orang yang suka curhat ke manusia—dia lebih suka curhat ke Allah langsung.
Masjid kampung kecil, dinding catnya udah kusam, tapi bersih. Wangi sajadah lama campur aroma kemenyan dari tetangga sebelah yang lagi bakar-bakar nggak jelas.
Arsyan masuk, ambil wudhu di tempat yang kerannya mancur pelan, terus shalat.
Pas sujud terakhir, dia bisik pelan di dalam hati:
Ya Allah... aku bingung. Aku suka sama dia. Tapi aku takut. Kalau dia emang bukan manusia... aku harus gimana? Aku tetep boleh cinta dia? Atau... atau ini salah?
Nggak ada jawaban.
Cuma ketenangan. Ketenangan aneh yang bikin dada Arsyan agak lega.
Pas keluar masjid, Arsyan kaget.
Wulan ada di sana.
Berdiri di depan gerbang masjid, pake kerudung putih, mukanya tenang, mata menatap langit sore yang jingga kemerahan.
"Mbak—" Arsyan hampir tersandung sendal. "Lo... lo dari kapan di sini?"
"Dari tadi. Aku... nunggu Mas selesai shalat."
"Kok nggak masuk?"
Wulan tersenyum sedih. "Aku... nggak bisa masuk masjid, Mas."
Arsyan jantungnya langsung dingin.
"Kenapa?"
"Karena... aku..." Wulan nggak ngelanjutin. Dia cuma natap tanah.
Arsyan pengen nanya lebih banyak, tapi dia tahan. Dia tau—kalau dia nanya sekarang, Wulan bakal ngaku semuanya. Dan Arsyan... belum siap.
"Udah, nggak apa-apa. Yuk, jalan bareng."
Mereka jalan bareng ke arah rumah Arsyan. Jalanan kampung yang sepi, cuma ada suara jangkrik sama motor sesekali lewat.
"Mas..." kata Wulan pelan. "Boleh aku nemenin Mas shalat Isya nanti?"
"Loh, Mbak nggak shalat?"
Wulan menggeleng. "Aku... nggak bisa shalat kayak Mas. Tapi... aku suka dengerin Mas baca Al-Qur'an."
Arsyan bingung. Tapi dia ngangguk. "Oke. Nanti di rumah aja ya."
Malamnya, Arsyan shalat Isya di mushola kecil di belakang rumahnya. Wulan duduk di luar, di teras, dengerin Arsyan baca surat pendek.
Pas Arsyan selesai, dia keluar, liat Wulan nangis.
Nangis diam-diam. Tangan nutup mulut, bahu bergetar.
"Mbak—" Arsyan langsung duduk di sebelahnya. "Kenapa nangis?"
"Aku... aku kangen, Mas."
"Kangen apa?"
"Kangen... suara ini. Suara Al-Qur'an. Aku... dulu sering denger. Tapi... sekarang aku nggak bisa denger lagi. Kecuali... kecuali dari Mas."
Arsyan makin bingung. "Dulu denger dimana?"
Wulan nggak jawab. Dia cuma nangis terus.
Arsyan peluk Wulan. Peluk erat. Tubuhnya dingin, tapi Arsyan nggak peduli.
"Mbak... gue nggak ngerti apa yang Mbak rasain. Tapi... gue di sini. Selalu."
Wulan balas peluk Arsyan. Erat banget. Kayak takut Arsyan bakal hilang.
"Mas... aku cinta Mas."
Arsyan beku.
Jantungnya berhenti. Napasnya tertahan. Dunia kayak slow motion.
"Mbak... Mbak serius?"
"Iya. Aku cinta Mas. Dari dulu. Dari... sepuluh tahun lalu."
Arsyan pengen nanya "sepuluh tahun lalu gimana?" tapi kata-katanya застry застryються di tenggorokan.
Yang keluar cuma, "Aku... aku juga cinta Mbak."
Wulan dongak, menatap Arsyan. Mata berkaca-kaca, tapi senyum.
"Mas... yakin? Padahal Mas nggak tau aku siapa."
"Aku nggak peduli. Aku cuma... aku cuma tau aku cinta sama Mbak. Apapun yang terjadi."
Wulan menangis lagi. Tapi kali ini... nangis bahagia.
Mereka berpelukan lama di teras rumah kecil Arsyan. Langit malam penuh bintang, angin sepoi-sepoi, aroma kenanga makin kuat.
Dan di moment itu, Arsyan ngerasa—ini adalah malam paling indah dalam hidupnya.
Malam dimana dia jatuh cinta.
Jatuh cinta tanpa sadar.
Jatuh cinta... pada seseorang yang mungkin bakal ngubah takdirnya selamanya.