NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22 TIDUR BERSAMA

Setelah makan malam yang terasa begitu berat—tidak hanya karena hidangan yang mengenyangkan, tapi karena tubuhnya masih terasa tidak nyaman sejak mereka tiba—Ava kini berdiri di kamar Esther untuk meminjam baju ganti. Semua orang melarang mereka pulang malam ini, terutama Mama Margaret yang bahkan tidak mau mendengar bantahan setelah melihat wajah Ava yang pucat.

"Esther, bolehkan aku tidur di sini?" ucap Ava pelan, hampir seperti permohonan.

Esther yang sedang berdiri di depan lemarinya langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. “Tentu saja tidak. Nanti kak Arash mengamuk karena aku merebut istrinya,” ucapnya sambil tertawa kecil, matanya berbinar geli. Ia kemudian mengambil sepasang pakaian tidur yang lembut dari lemari dan menyerahkannya pada Ava. “Esther juga sudah menambahkan pembalut di sana,” tambahnya sambil menunjuk kantong kecil di atas baju.

“Terima kasih, Esther,” ucap Ava sambil tersenyum tipis—senyum yang tampak kelelahan namun tetap tulus. “Kalau begitu aku pergi dulu, ya. Bye.”

Ia meninggalkan kamar Esther dan berjalan menyusuri lorong panjang rumah itu. Lampu-lampu menerangi jalur yang sunyi, membuat bayangannya bergerak lembut di dinding. Di setiap langkah, Ava merasa detak jantungnya melambat, mungkin karena lelah, mungkin karena gugup menuju kamar yang kini—entah mau atau tidak—harus ia tempati bersama Arash.

Dengan ragu, ia mengangkat tangannya dan mendorong pintu kamar itu.

Kamar Arash menyambutnya dengan ketertiban yang hampir mengintimidasi. Setiap sudut rapi seolah tidak pernah disentuh kekacauan. Rak kayu menampilkan minifigure motor dan mobil yang tersusun presisi; tidak ada satu pun yang miring. Dinding putih bersih memberi kesan sederhana, tapi elegan—seperti pemiliknya, dingin tapi tidak asal-asalan.

Ava berjalan perlahan, pandangannya tertarik pada sekelompok foto yang dipajang di sisi rak lain. Itu adalah foto masa kecil Arash dan kedua saudaranya. Esther kecil berdiri di tengah dengan lolipop di tangannya, sementara dua pria kecil yang mengapitnya—Arash dan Martin—melipat tangan mereka dan mencoba berpose seperti anak laki-laki paling keren di dunia.

Ava tersenyum tanpa sadar. Ada sesuatu yang hangat dari foto itu. Ia mengangkat tangannya, menyentuh bingkainya dengan ujung jari. Sebuah rasa asing—sedikit iri, sedikit kosong—mengaduk di dada. Ia hanya anak tunggal. Tidak pernah ada foto seperti ini dalam hidupnya. Tidak ada kakak atau adik untuk berebutan permen atau berlagak keren di depan kamera. Ia hanya punya ayahnya… setelah ibunya meninggal, hanya itu yang tersisa.

“Jangan sentuh barang-barangku!” Suara itu memotong lamunannya dan membuat Ava tersentak. Ia menoleh cepat.

Arash berdiri di ambang kamar mandi, hanya mengenakan handuk di pinggang. Rambutnya masih basah, air menetes perlahan di sepanjang garis rahangnya, turun ke dada putihnya. Mata gelapnya menatap Ava dengan ketidaksukaan yang dingin namun tidak sekeras biasanya—lebih seperti terkejut melihatnya berdiri dekat barang-barangnya.

Ava mengedipkan mata, gugup dan malu, lalu segera berjalan masuk ke kamar mandi sambil menundukkan kepala.

Di belakangnya, Arash menghela napas pendek. Ia mengambil pakaian dari lemari, mengenakannya dengan gerakan praktis, lalu duduk di depan komputer kesayangannya. Begitu ia menekan tombol power, cahaya biru dari layar memantul di wajahnya.

Namun belum sempat ia menyentuh mouse, suara ketukan pintu terdengar. Arash memejamkan mata sebentar, jelas tidak senang diganggu. Ia bangkit dan membuka pintu sedikit kasar. “Ada apa?” tanyanya ketus.

“Tuan menyuruh anda untuk ke ruang tamu,” ucap pelayan paruh baya dengan hati-hati. Arash tidak mengenal namanya—rumah ini memiliki banyak pelayan, dan hanya Bi Ana yang wajahnya selalu ia ingat.

Arash mengangguk singkat dan menutup pintu di belakangnya, lalu mengikuti pelayan itu menuju ruang tamu tempat papanya menunggu. Bahunya tegang, langkahnya cepat. Ada sesuatu dalam udara malam itu yang membuat dadanya terasa lebih berat dari biasanya.

...----------------...

Pintu kamar kembali terbuka. Cahaya dari lorong merembes masuk, membingkai sosok Ava yang tengah tertidur di atas kasur besar itu. Tubuhnya naik turun perlahan mengikuti irama napas, wajahnya hampir tidak terlihat karena sebagian tertutup rambut yang jatuh berantakan di pipi. Selimut menutupi tubuhnya hingga ke bahu, membuatnya tampak kecil di tengah ranjang yang luas.

Arash berdiri di ambang pintu selama beberapa detik, menatapnya dalam diam. Ada ketidaksukaan yang jelas tergambar di wajahnya—sorot matanya meruncing, bibirnya mengeras. Ruangan itu terasa asing baginya meski itu kamarnya sendiri, hanya karena ada Ava di sana.

Namun ini rumah orang tuanya. Tidak ada alasan untuk membuat keributan atau memindahkannya ke tempat lain. Dan untungnya, kasurnya memang king size; cukup luas untuk tidak bersentuhan—setidaknya itu yang ia pikirkan.

Dengan napas berat yang menandakan rasa malas dan kelelahan, Arash merebahkan tubuhnya di sisi kosong ranjang. Ia membalikkan badan, menatap langit-langit. hingga akhirnya rasa kantuk segera menenggelamkannya.

Beberapa jam kemudian, Arash terbangun. Bukan oleh suara. Bukan oleh cahaya. Melainkan sesuatu yang berat. Sesuatu yang membuat dadanya sulit bergerak. Arash mengerutkan kening sebelum membuka mata—dan rasa terkejutnya menyerang cepat begitu ia melihat apa yang terjadi.

Ava memeluknya. Benar-benar memeluknya.

Ia tidur seperti seseorang yang tak mengenal batas pribadi. Satu tangannya berada tepat di atas dada Arash, menggantung ringan namun cukup membuatnya sulit bernapas lega. Sementara Satu kakinya melingkari bagian perutnya, membuat posisi Arash tak karuan.

Alisnya langsung bertaut, garis kekesalan muncul jelas di wajahnya. Ia berniat mendorong tubuh Ava menjauh, namun tepat ketika ia mulai menggeser gadis itu, Ava justru bergerak semakin dekat seperti magnet. Tubuhnya menempel lebih erat—dan kini Arash bisa merasakan perut Ava yang naik turun dengan stabil. Dadanya yang lembut menekan ke sisi tubuh Arash, mengapitnya tanpa sadar.

Arash menutup mata, mencoba menahan emosi. lalu kembali membuka salah satu matanya, memandang ke arah lengannya yang kini dijadikan bantal oleh Ava. Lengan itu terasa kaku dan mati rasa. “Bagus. Sangat bagus,” gumamnya dalam hati, setengah frustasi.

Lalu sesuatu membuatnya diam. Ia merasakan sesuatu yang basah meresap pada bagian dadanya. Seketika ia mendengus, berasumsi itu air liur Ava. “Ava, bangun!” serunya rendah namun tegas, sambil mengguncang tubuh wanita itu.

Ava tidak bangun sepenuhnya. Ia hanya menggeliat dan berbisik lirih, suara kecil seperti anak kecil yang sedang bermimpi. “Mama… Ava ikut…”

Arash menatapnya, bingung sekaligus jengkel. Ia mengangkat kepala sedikit, memperhatikan wajah Ava yang masih tertutup rambut. Hidung Ava mengilap terkena cahaya lampu—dan itulah yang membuat Arash tertegun.

“Dia… menangis?” ia bergumam pelan—lebih pada dirinya sendiri daripada pada siapapun.

Gerakannya terhenti ketika ia melihat selimut yang tergeser ke bawah. Selimut itu tersingkap cukup jauh, memperlihatkan kulit putih Ava di atas perutnya—kulit yang halus, kontras dengan kaos tipis yang ia kenakan. Ava terus bergerak pelan, bergeser ke arahnya, membuat nafas Arash tercekat sepersekian detik.

Ruangan yang dingin terasa lebih hangat tiba-tiba. Dan untuk alasan yang tidak ingin ia akui, tubuhnya mendadak terasa gerah.

Arash memejamkan mata sejenak, berusaha mengembalikan kesadarannya agar tidak terbawa oleh situasi. Ia menarik napas panjang—perlahan, tapi jelas terdengar berat. Detak jantungnya tidak seharusnya secepat itu hanya karena seorang Ava yang tidur tanpa sadar. Namun tubuhnya tetap bereaksi seolah ini sesuatu yang lebih dari sekadar kedekatan fisik.

Perlahan ia menggerakkan lengannya, mencoba menarik tangannya dari bawah kepala Ava. Tapi Ava justru semakin menekan pipinya ke lengannya, seperti seorang anak kecil yang tidak ingin bantalnya diambil. Napas lembutnya menyentuh kulit Arash dan membuatnya berhenti lagi.

"Apa-apaan ini…" gumam Arash dengan suara pelan, frustrasi tetapi nyaris tidak berdaya.

Tangan Ava yang berada di atas dadanya ikut bergerak. Jemari itu menekan lembut bagian dadanya, seolah ia sedang mencari kenyamanan dalam mimpi. Arash menegang seketika. Ototnya kaku. Matanya membesar sedikit, lalu kembali menyipit dengan ekspresi rumit.

Ia mengalihkan pandangannya ke wajah Ava—wajah yang tampak berbeda saat tidur. Tidak cerewet, tidak keras kepala, tidak banyak bicara seperti saat mereka bertengkar. Ia tampak… lembut. Tenang. Rapuh. Ada bekas air mata yang membuat garis tipis di pipinya, mengering perlahan. Dan anehnya, itu membuat Arash terdiam cukup lama.

Beberapa menit berlalu tanpa ia sadari. Ruangan sunyi, hanya suara kipas AC yang berputar pelan. Lampu kecil di meja kerja menyinari sebagian wajah Ava, menonjolkan bulu matanya yang panjang dan alisnya yang lembut. Rambutnya yang sedikit lembap jatuh berantakan ke pundaknya dan sebagian ke dada Arash.

Ava bergerak lagi. Kali ini tubuhnya semakin mendekat, seolah ia mencari kehangatan. Seluruh sisi kiri tubuh Arash kini ditempeli tubuh Ava. Kaki Ava pun menyentuh sisi kakinya. Arash menahan napas selama dua detik penuh.

Cukup. Ini terlalu dekat. Arash menelengkan kepala menjauh, lalu berkata lirih namun tegas, “Ava, bangun.”

Tidak ada respons.

“Ava.” suaranya lebih rendah.

Tetap tidak ada.

Arash menahan diri untuk tidak mengangkat tubuh Ava secara kasar. Ia memutar badannya sedikit, mencoba membuat jarak, namun Ava terus mengikuti gerakannya dan kembali menempel padanya. Kali ini bahkan lebih erat.

“Astaga…” Arash menatap langit-langit, frustasi tanpa tahu harus tertawa atau marah.

Ia mengangkat tangan yang terjebak di bawah kepala Ava, namun baru ia menariknya sedikit, Ava mengerang kecil. Suara rengekan itu seperti pukulan lembut ke dada Arash. Tidak menyakitkan, tapi cukup membuatnya berhenti total.

Ia mengembuskan napas pelan. "Kalau aku bangunkan, dia bisa makin mual…"

Akhirnya ia kembali merebahkan diri, pasrah. Ia merasakan hangat tubuh Ava yang melebur dengan tubuhnya, membuat rasa pegal di lengan pelan-pelan hilang karena tubuhnya terbiasa. Namun gerah itu tidak hilang. Jauh dari itu—perutnya terasa sedikit mengencang karena rasa yang tidak ingin ia akui.

Ia menutup mata. “Besok pagi, kau harus bertanggung jawab, Ava,” gumamnya dalam hati, entah marah atau… tidak.

Sesaat sebelum ia hampir tertidur kembali, Ava bergumam lagi dalam tidur. “Mama… jangan tinggalkan Ava…”

Arash kembali membuka matanya lebar-lebar. Ia memandang wajah Ava yang masih tenang, matanya tertutup, napasnya stabil. Ada sesuatu di dada Arash yang tertarik pelan—bukan karena sentuhan fisik Ava. Tapi karena suara itu. Nada itu. Ketakutan itu.

Untuk pertama kalinya malam itu, ekspresi Arash berubah. Tajamnya mengendur. Sikap dinginnya meretakkan sedikit.

Ia menarik selimut yang sebagian tersingkap dan menutupkannya kembali ke tubuh Ava hingga ke bahunya. Tanpa sadar, ia merapikan sedikit rambut Ava yang menutupi pipinya. Lalu ia membisik pelan, hampir seperti seseorang yang tidak ingin mengakui apa yang ia rasakan.

“Tidurlah.”

Suaranya nyaris tak terdengar, hilang tenggelam dalam keheningan kamar mereka. Dan untuk pertama kalinya, Arash tidak merasa terganggu. Hanya… bingung. Dan entah mengapa, sedikit hangat di dada.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌jangan lupa like komen dan tambahkan ke favorit kalian yaa😘

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!