NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20 — Kembali ke Sarang Emas

​Kembalinya keluarga Arganata ke penthouse adalah perjalanan yang sunyi, namun suasananya terasa jauh berbeda dari keberangkatan mereka. SUV hitam itu tidak lagi terasa seperti kendaraan pengangkut sandera, tetapi sebagai sarang sementara bagi sebuah keluarga yang rapuh. Arvan, yang sudah pulih sepenuhnya dan penuh energi, tidur di tengah, bersandar di bahu Aira dan kaki Dion.

​Dion membiarkan hal itu. Dia mengamati kepala kecil putranya di bahu Aira. Arvan, meskipun baru pulih, tampak sangat bergantung pada Aira. Kebiasaan-kebiasaan kecil ini, yang luput dari perhatiannya selama empat tahun, kini menjadi fokusnya.

​Perjanjian yang mereka buat di bawah pohon beringin tua di desa terasa seperti sumpah suci. Tidak ada lagi hukuman kamar tidur. Tidak ada lagi ‘Tuan Arganata.’

​“Aku akan memenuhi janjiku, Aira,” kata Dion, suaranya pelan agar tidak membangunkan Arvan. “Tapi kau harus mengajariku.”

​Aira menoleh. “Mengajarkan apa?”

​“Segalanya,” jawab Dion. “Aku tidak tahu apa-apa tentang anak berusia empat tahun. Aku tidak tahu apa yang dia suka makan, dongeng apa yang membuatnya tertidur, atau bagaimana cara membuatnya berhenti menangis saat jatuh. Kau harus memberitahuku apa pun yang kau berikan padanya selama empat tahun ini, agar aku bisa menebus semua waktu yang kucuri darinya.”

​Aira menatap mata Dion. Ada kejujuran yang menakutkan di sana. Ini adalah Dion yang tulus yang ia cintai empat tahun lalu, kini muncul kembali di bawah bayangan tiran.

​“Dia suka sereal gandum dengan sedikit madu di pagi hari. Dia hanya mau minum susu sapi murni, bukan susu kemasan,” ujar Aira, mulai membuka pertahanannya. “Dia suka lagu-lagu lama yang dinyanyikan Neneknya, bukan lagu-lagu pop. Dan dia suka… dia sangat suka jika Ayahnya bercerita tentang dunia. Bukan tentang bisnis, tapi tentang bintang, atau laut.”

​Dion mengangguk, mencatat setiap detail. “Aku akan belajar. Aku akan menyewa guru privat, aku akan membaca buku.”

​“Anda tidak perlu menyewa siapa pun, Dion,” sela Aira. “Anda hanya perlu… menjadi dirinya sendiri. Dia merindukan Ayah yang tulus, bukan Ayah yang sempurna.”

​Kembali ke penthouse, perubahan segera terasa. Dion tidak lagi menghilang ke ruang kerjanya. Dia meluangkan waktu—waktu yang dulunya diisi dengan telepon konferensi dan analisis pasar—untuk Arvan.

​Sore itu, Dion mencoba bercerita. Ia membawa Arvan ke ruang tamu yang megah, di mana terdapat jendela besar setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan kota.

​Arvan duduk di sofa, sabar menunggu. Dion duduk di lantai di hadapan Arvan, terlihat canggung.

​“Baiklah, Arvan,” kata Dion. “Papa akan bercerita tentang… tentang bintang.”

​Arvan tersenyum lebar. “Yeay! Seperti yang Mama bilang, Ayah Arvan di bintang paling terang!”

​Dion merasakan tusukan kecil, tetapi ia mengendalikan diri.

​“Ya,” kata Dion. “Tapi, Ayahmu tidak hanya di bintang. Ayahmu juga membuat bintang. Di kotamu, ada banyak sekali lampu kecil, seperti bintang yang jatuh. Papa yang membuatnya, Arvan. Papa memastikan semua bintang kecil itu menyala.”

​Dion berbicara tentang jaringan listrik, tentang infrastruktur kota yang ia bangun. Dia mengubah presentasi korporat yang rumit menjadi cerita sederhana tentang pencahayaan dan energi. Arvan terpukau. Mata anak itu bersinar penuh kekaguman.

​Aira, yang mengamati dari ambang pintu, melihat pemandangan itu. Dion tidak tahu cara bercerita, tetapi dia tahu cara membangun dunia. Dan Arvan terpesona oleh dunia yang dibangun Ayahnya.

​Namun, momen canggung datang saat Arvan ingin tidur.

​“Tuan Dion, sekarang Papa yang bacakan dongeng!” pinta Arvan, saat ia sudah di tempat tidurnya.

​Dion mengambil buku cerita yang dibelikan Aira—sebuah buku cerita rakyat sederhana tentang si Kancil.

​Dion mulai membaca, tetapi suaranya terlalu formal, terlalu datar. Dia terdengar seperti membaca laporan keuangan, bukan dongeng.

​Arvan tertawa. “Papa! Tidak seperti itu! Mama! Mama ajarkan Papa cara membaca dongeng!”

​Wajah Dion memerah. Ia merasa dipermalukan di depan putranya. Ia telah memenangkan pasar saham, tetapi ia gagal dalam membaca dongeng anak-anak.

​Aira tersenyum kecil. Ia masuk, duduk di sebelah Dion, dan mengambil buku itu.

​“Papa tidak terbiasa, Sayang,” kata Aira lembut. “Papa terbiasa membaca laporan yang serius.”

​Aira mulai membaca, suaranya merdu dan penuh ekspresi. Ia membuat suara karakter, memberikan emosi pada kata-kata. Arvan segera terlelap, wajahnya damai.

​Setelah Arvan tidur, Aira keluar dari kamar. Dion menunggunya di lorong.

​“Aku gagal,” kata Dion, rasa frustrasi terlihat jelas. “Aku tidak tahu bagaimana menjadi suami atau Ayah yang lembut.”

​“Anda tidak gagal, Dion,” kata Aira. “Anda hanya butuh waktu. Anda harus melepas baju besi tiran Anda. Anda tidak perlu memenangkan hati Arvan dengan harta. Anda hanya perlu memberinya waktu.”

​Dion mengangguk. Ia meraih tangan Aira, sentuhan yang kini penuh hormat, bukan tuntutan.

​“Kau mengajariku, Aira,” kata Dion. “Ajari aku bagaimana menjadi manusia lagi. Aku ingin menjadi pria yang kau cintai di masa lalu.”

​Aira menatap tangannya yang digenggam Dion. “Saya tidak tahu apakah saya bisa. Kepercayaan itu butuh waktu untuk dibangun kembali.”

​Hari-hari berikutnya diisi dengan upaya canggung Dion untuk menjadi Ayah yang baik.

​Ia mencoba membantu Arvan mandi, tetapi ia menggunakan sabun yang terlalu wangi. Ia mencoba bermain sepak bola di halaman, tetapi ia terlalu serius dan tidak sengaja membuat Arvan menangis karena tendangannya terlalu keras.

​Setiap kegagalan Dion adalah kemenangan kecil bagi Aira, karena itu menunjukkan betapa rapuhnya dia di luar ruang rapat.

​Suatu malam, Aira melihat Dion duduk di sofa, membaca buku tebal. Aira penasaran. Ia mendekat dan melihat sampulnya: Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini: Seni Bercerita.

​Dion benar-benar berusaha.

​“Anda tidak perlu membaca buku tebal itu,” kata Aira. “Arvan hanya butuh Anda. Apa adanya.”

​“Aku tidak tahu apa adanya diriku, Aira,” jawab Dion, menutup buku itu. “Aku telah menjadi CEO begitu lama, aku lupa bagaimana menjadi ‘Dion.’ Aku hanya tahu bagaimana memberi perintah dan menghukum.”

​Dion menatap Aira. “Bagaimana kau bisa mencintaiku malam itu? Aku bahkan tidak ingat apa pun.”

​Aira duduk di sofa yang berlawanan. “Anda mabuk, tetapi Anda tulus. Anda berbicara tentang impian Anda untuk membangun kota yang lebih baik, tentang bagaimana Anda membenci kemunafikan di sekitar Anda. Anda tertawa. Anda menangis. Anda adalah pria yang kesepian, Dion. Sama seperti saya.”

​Dion mendengarkan, matanya terpaku pada Aira. Ini adalah pertama kalinya ia mendengar versi dirinya yang hilang.

​“Aku tidak akan menghukummu lagi, Aira,” kata Dion, nadanya adalah janji yang tulus. “Kontrak itu… aku akan mengubahnya. Kau akan mendapatkan uang itu, tetapi kau akan tetap di sini sebagai istriku, sebagai Ibu dari anakku. Bukan karena paksaan, tetapi karena pilihan.”

​“Pilihan yang tidak saya miliki,” balas Aira. “Saya tidak bisa pergi. Arvan akan tetap di sini, kan?”

​Dion menghela napas. “Aku tidak akan mengambilnya darimu, Aira. Aku butuh kau di sini untuk mengajariku. Kita akan membesarkan dia bersama.”

​Itu adalah tawaran gencatan senjata yang paling tulus yang pernah Dion berikan. Aira tahu, ini adalah risiko yang harus ia ambil. Demi Arvan, dan demi menemukan kembali pria yang ia cintai.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!