Diandra Aksara adalah seorang putri dari pemilik Tara Bumi Grup yang kaya dan terpandang, karena sibuk mengurus bisnisnya di luar negeri, Diandra mengambil alih tanggung jawab yang diberikan oleh ayahnya untuk mengurus kediaman dan juga perusahaan milik keluarga mereka.
Dibawah tekanan dan iri hati sang ibu tiri dan juga saudari tirinya, Diandra berusaha menjalankan tugas yang diberikan oleh ayahnya dengan baik meskipun sebenarnya ia kerapkali menghadapi rintangan dan juga bahaya yang diciptakan oleh dua orang yang sangat membencinya.
Namun kehidupan Diandra yang penuh rintangan dan juga bahaya pelan pelan sirna ketika ia bertemu dan mengenal Abimana Narendra, Seorang CEO yang dikenal jujur,berani, dan juga tajir melintir.
Penasaran dengan ceritanya? Ikuti terus kisahnya hanya di novel Gadis Kecil Kesayangan Sang CEO.
noted🚨🚨🚨
dilarang baca lompat dan komentar jelek.
Yang suka boleh like, yang tidak suka, semoga suka.
Ingat dosa ditanggung pembaca☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Ketika Diandra tengah sibuk dalam lamunan dan juga perasaannya sendiri, tak lama kemudian datanglah Santi yang disuruh pak Surya untuk memberikan gaun peninggalan ibu Diandra agar bisa dipakai oleh Diandra malam ini.
"Permisi nona, pak Surya meminta saya untuk memberikan gaun ini kepada nona. Pak Surya bilang kalau gaun ini adalah gaun peninggalan ibu nona, dan meminta nona Diandra agar mau mengenakan gaun ini malam ini." ucap Santi
Dengan napas yang masih terasa sesak oleh kecamuk perasaan, Diandra menatap kedatangan Santi sejenak, lalu kembali menatap bayangan dirinya di cermin.
"Taruh gaun itu di atas kasur, Santi." ucap Diandra dengan pelan.
Santi pun segera meletakkan gaun itu di atas kasur, lalu mendekati Diandra karena ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan nona nya itu.
"Ada apa nona? Kenapa nona terlihat murung dari tadi?" tanya Santi dengan peduli yang membuat Diandra mengeluarkan semua uneg unegnya kepada Santi, pelayan setia yang selalu ia percayai.
"Santi, menurutmu— haruskah aku ikut dalam rencana ayah yang ingin menjodohkan salah satu putrinya dengan Abimana?" tanya Diandra dengan gelisah.
"Nona, apakah tadi nona cemas karena memikirkan hal ini?" ucap Santi yang segera membuat Diandra mengangguk pelan.
"Sejak tadi aku memang terus memikirkan hal ini, Santi. Sampai saat ini aku masih belum percaya kalau ayah berniat menjodohkan aku atau Amara dengan Abimana. Santi, kau tahu kalau laki laki itu selalu membuat detak jantungku berdebar setiap kali kami bertemu. Aku merasa kalau ayah mengambil keputusan yang terlalu cepat untuk menjodohkan salah satu putrinya dengan Abimana." ucap Diandra
Santi tersenyum lalu mengarahkan tangannya untuk menggandeng tangan Diandra dengan erat.
"Nona, menurut Santi— keputusan yang diambil pak Surya untuk menjodohkan nona ataupun nona Amara dengan Abimana itu sudah tepat. Tuan Abimana adalah laki laki yang baik dan bertanggung jawab, Santi yakin kalau dia akan bisa membuat nona hidup bahagia. Santi juga merasa sangat yakin kalau tuan Abimana pasti akan memilih nona untuk menjadi pasangan hidupnya, apalagi Santi perhatikan kalau tuan Abimana juga memiliki perasaan cinta untuk nona Diandra." ucap Santi
Diandra mengernyit setelah mendengar ucapan terakhir Santi. Abimana memiliki perasaan cinta untuknya? Kalimat itu terdengar begitu asing, seolah tak masuk akal baginya. Diandra menarik tangannya perlahan dari genggaman Santi dan kembali berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri dengan sorot mata yang samar-samar memancarkan keraguan.
“Santi, kau terlalu yakin dengan pemikiran mu sendiri,” gumam Diandra lirih, “Abimana itu laki-laki yang tidak mudah ditebak. Bagaimana kau bisa merasa yakin kalau dia menyimpan perasaan padaku?” ucap Diandra dengan lirih.
Santi tersenyum lembut, dengan nada penuh keyakinan yang tak goyah sedikit pun, ia berusaha untuk membuat Diandra mengerti.
“Karena mata tidak pernah bisa berbohong, nona. Santi memang hanya pelayan, tapi Santi sudah sering melihat bagaimana tatapan tuan Abimana kalau sedang berbicara dengan nona. Dia memang tidak bicara banyak, tapi caranya memperhatikan nona—itu tidak bisa disembunyikan.”
Diandra terdiam, hatinya seperti ditampar oleh harapan yang bahkan tak berani ia sentuh. Namun bayang-bayang keraguan masih terlalu kuat mencengkeram pikirannya.
“Tapi bagaimana kalau itu cuma asumsi mu saja, Santi?” suara Diandra terdengar nyaris seperti bisikan.