Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hancur
Gerbang besi mansion Montgomery bergerak dengan keanggunan yang hanya mungkin dimiliki properti yang dirancang dengan biaya tanpa batas. Mobil hitam Ethan meluncur masuk ke jalanan pribadi yang dikelilingi pepohonan tua, batang-batangnya menjulang tegak seperti penjaga setia keluarga. Bangunannya terbuat dari batu impor berwarna putih porselen, pilar-pilarnya tinggi, dan jendela-jendela kacanya terbentang elegan seakan mewakili penghuninya.
Begitu mobil berhenti di depan pintu utama, dua baris pelayan dalam seragam rapi sudah menunggu.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda,” kepala pelayan berkata sambil menunduk hormat sesuai formalitas yang sudah menjadi tradisi di rumah itu.
“Di mana Mama?” tanya Ethan langsung ke inti.
“Di ruang keluarga, Tuan Muda,” jawab kepala pelayan, tangan terlipat rapi di depan perut.
“Terima kasih, Bi,” Celine tersenyum manis.
Ia melangkah beriringan dengan Ethan melewati lorong panjang yang diterangi chandelier kristal. Dinding-dinding dipenuhi foto keluarga. Setiap pigura menunjukkan kemegahan dan wibawa yang hanya lahir dari generasi kekayaan yang tidak pernah runtuh.
Aroma teh hitam langsung memenuhi udara begitu mereka tiba di ruang keluarga. Sosok wanita yang keanggunan dan kecantikannya tidak luntur meski sudah hampir menginjak kepala lima, langsung berdiri dari sofa begitu melihat mereka masuk. Ia merengkuh Celine dalam pelukan hangat, bahkan sebelum sempat menatap putra sulungnya.
“Apa kabar, Sayang?” tanyanya, suaranya selembut sutra.
“Baik, Tante. Tante sehat?” Celine membalas dengan sopan dan penuh kedekatan.
Ariana mengangguk, tersenyum dengan keanggunan yang sulit dibeli.
Ethan berjalan melewati mereka, langkahnya tenang namun penuh wibawa pewaris sulung. Ia berjalan menuju wanita paling berkuasa di ruangan itu.
Florence Montgomery duduk di kursi kehormatannya. Rambut putih keperakannya disanggul rapi, perhiasan melekat di telinga, leher, pergelangan dan jemarinya. Ekspresinya tetap tegas meski kerutan perlahan memenuhi hampir setiap tempat di wajahnya.
“Selamat siang, Grandma,” ucap Ethan membungkuk hormat.
Florence mengangguk kecil. “Duduklah.”
Nadanya mengandung perintah yang tidak menyisakan ruang untuk interpretasi.
Ethan mematuhi tanpa komentar, lalu menyapa Sean, kemudian mengangguk hormat pada Veronika dan Golda Attea. Orangtua Celine, sekaligus pasangan konglomerat yang bergerak dalam dunia pendidikan yang dihormati.
Celine mendekati Florence, menunduk sedikit lalu mencium pipi kiri dan kanan wanita tua itu. Florence meraih lengan bajunya dengan dua jari, mengangkatnya seakan memeriksa kualitas kain.
“Baju apa ini?” tanyanya, mata menyipit seakan mengukur.
Celine tersenyum tipis, “Aku lupa memberitahu Grandma. Ini rancangan terbaru dari Bloom Collection. Aku akan mengirimkan majalah pratinjau lengkapnya padamu nanti.”
“Hm.” Florence menatapnya lebih lama. “Tampilannya sedikit… unik.”
Celine terkekeh halus, elegan dan percaya diri.
“Ini produk yang akan aku luncurkan bulan depan. Slotnya terbatas. Grandma sudah aku masukkan daftar pre-order pertama.”
Florence mengangkat dagunya, lalu mengangguk kecil. Penerimaan yang ia bungkus dengan gengsi tua yang sudah melekat padanya sejak muda.
Celine kemudian mengarah pada Sean.
“Om,” sapanya lembut.
Sean mengusap kepalanya sebentar, senyum terbit di wajah pria yang biasanya tegas dan dingin. Terakhir, Celine menghampiri kedua orang tuanya.
“Papa, Mama.”
Ia memeluk Veronika dan Golda Attea bergantian. “Bagaimana kabar kalian?”
“Baik, sayang,” jawab Veronika hangat. “Kau baik-baik saja?”
Celine mengangguk sebelum kembali ke sisi Ethan, duduk di kursi yang seolah memang dibuat untuk dirinya, di sisi pewaris keluarga Montgomery.
Keheningan turun di ruang keluarga Montgomery seperti kabut tebal yang menenggelamkan segala percakapan. Jam antik di sudut ruangan berdetak pelan, satu-satunya suara yang berani bergerak ketika semua orang membisu. Celine mengerutkan kening, suasana ini tampak asing. Biasanya suara pria akan bersahutan untuk mendiskusikan bisnis, dan wanita akan mendengarkan sekaligus menimpali jika diperlukan. Namun kali ini, semuanya terlalu sunyi.
Ia menatap satu per satu wajah yang dikenalnya sejak kecil, lalu akhirnya bertanya dengan suara penuh kebingungan.
“Ada apa sebenarnya?”
Veronika dan Golda saling bertukar pandang, seolah sedang mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya kembali menghadap Celine. Tatapan mereka berat, seperti seseorang yang sedang membawa kabar buruk.
Veronika mengambil napas panjang. “Sayang, ada yang ingin Mama dan Papa sampaikan padamu.”
Celine mengangguk kecil.
“Aku tahu, Mama.” katanya datar, namun tetap terdengar sopan. “Kalian tidak pernah pulang tanpa kepentingan pribadi.”
Ucapan itu meluncur tanpa amarah, hanya fakta yang sudah lama ia simpan sendirian. Namun bagi Veronika dan Golda, kata-kata itu mengiris. Untuk sesaat mereka terdiam.
“Kami sudah menutupinya dalam waktu lama. Papa pikir sudah waktunya kau tahu, Sayang.” Golda akhirnya berbicara.
“Papa dan Mama akan bercerai.”
Pernyataan itu jatuh seperti bom yang membelah atmosfer ruang keluarga. Tubuh Celine menegang, mata bulatnya kehilangan binar keceriaan. Ariana meraih punggung Celine, mengusapnya lembut seperti sentuhan seorang ibu pengganti yang tahu persis bagaimana rasanya kehilangan tanah di bawah kaki sendiri.
Tidak ada yang berani bersuara dalam waktu lama, semua orang menaruh perhatiannya pada gadis itu.
Celine akhirnya menarik napas, suaranya bergetar halus.
“Kenapa?”
Golda menjawab lebih dulu. “Papa dan Mama sudah tidak cocok, Celine. Kami sudah mencoba memperbaiki pernikahan ini selama bertahun-tahun, tapi hasilnya nihil.”
Semua penjelasan tidak terproses di gelombang otaknya kecuali kata 'cerai'. Celine memindahkan pandangannya pada Veronika.
“Itu benar, Ma?” tanyanya lirih.
Veronika menutup mata sebentar, lalu mengangguk.
“Maaf, Celine. Kami tidak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu.”
Mata Celine perlahan kabur. Dadanya naik turun perlahan, seperti seseorang yang sedang mencoba tetap berdiri di tengah badai. Ia selalu tahu bahwa rumahnya dingin beberapa tahun terakhir. Tapi ia tidak pernah menduga hari ini…
Ia menunduk sedikit, mencoba mengatur napas.
“Apa Papa dan Mama akan bahagia setelah bercerai?”
Pertanyaan itu begitu tulus, begitu polos, tidak ada yang menduga kalimat itu muncul dari gadis ini.
Veronika dan Golda saling menatap, lalu mengangguk.
Celine menyeka sudut matanya. “Baiklah,” katanya tersendat.
“Tidak apa-apa… selama Papa dan Mama bahagia.”
Semua kepala secara refleks menoleh ke arahnya dengan tatapan belas kasihan. Bahkan Florence Montgomery, wanita baja yang sangat jarang terusik merasa dadanya mengencang. Anak ini terlalu pandai bertahan sendiri, pikirnya.
Ethan menatap Celine lekat, rahangnya mengeras, tangannya mengepal di kedua sisi. Ia melihat bagaimana gadis itu menelan luka tanpa suara; bagaimana ia merapikan dirinya di depan semua orang agar tidak menjadi beban. Ia mengenalnya terlalu lama dan ia tahu persis bahwa Celine sedang retak.
Tidak…
Bukan retak,
Gadis itu sedang hancur.
Golda menegakkan punggungnya, menatap putrinya dalam. Kesedihan dan penyesalan menempel pada setiap suku katanya.
“Papa akan menetap di New Zealand dan Mama di New York.” Kalimat itu menggema di telinga Celine seperti vonis akhir.
“Kau bisa memilih ingin tinggal dengan siapa.”
Celine membuka mulut, hendak menjawab. Namun sebelum satu kata pun sempat keluar, suara Veronika memotong dengan cepat.
“Ikutlah dengan Papa.”
“Vero…” Golda mendesis tajam, kemarahan dan kekecewaan bercampur menjadi satu.
Celine memandang ibunya dengan sorot mata terluka. Akhirnya ia memahami sesuatu yang selama ini ia coba tolak. Bahwa mungkin, sejak awal ia memang bukan prioritas. Gadis itu mengerjap beberapa kali, usaha halus untuk mencegah air matanya jatuh. Ia tersenyum kecil, tipis, senyum yang tidak benar-benar hidup.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk