Sebuah cerita perjuangan hidup seorang ayah yang tinggal berdua dengan putrinya. Meski datang berbagai cobaan, selalu kekurangan, dan keadaan ekonomi yang jauh dari kata cukup, tapi keduanya saling menguatkan.
Mereka berusaha bangkit dari keadaan yang tidak baik-baik saja. Ejekan dan gunjingan kerap kali mereka dapatkan.
Apakah mereka bisa bertahan dengan semua ujian? Atau menyerah adalah kata terakhir yang akan diucapkan?
Temukan jawabannya di sini.
❤️ POKOKNYA JANGAN PLAGIAT GAESS, DOSA! MEMBAJAK KARYA ORANG LAIN ITU KRIMINAL LHO! SESUATU YANG DICIPTAKAN SENDIRI DAN DISUKAI ORANG MESKI BEBERAPA BIJI KEDELAI YANG MEMFAVORITKAN, ITU JAUH LEBIH BAIK DARI PADA KARYA JUTAAN FOLLOWER TAPI HASIL JIPLAKAN!❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Aksi Janda Depan Rumah
Yang berpisah hanya raganya.. Bukan rasanya. _Othor gabut. [Lihat di Gugel]
***
Teguh Prasetyo, nama singkat itu mampu membuat seorang Vera Nacia Minolta sesak nafas setiap mengingatnya. Nama Vera terasa aneh? Tidak juga. Orang tua Vera adalah keturunan blesteran negeri barat yang jauh di sana. Maka darah kebule-bulean leluhur Vera menurun hingga ke nama Vera yang dipakai hingga saat ini.
"Guh, kamu yakin enggak mau menikah lagi? Jangan sok lah jadi orang.. Kamu masih muda, Ayu juga pasti butuh kasih sayang seorang ibu kok. Masa kamu mau egois sih? Pikirin perasaan Ayu juga. Tiap kali ketemu kamu kok rasanya pembahasan kita itu-itu saja." Paman Teguh berkunjung ke rumah Teguh untuk menengok keponakannya, Ayu.
Meski cerewet, terkesan semaunya sendiri tapi, pamannya Teguh ini sebenarnya peduli dengan Teguh dan juga keponakannya. Beberapa kali pamannya itu menawarkan perempuan untuk Teguh jadikan istri, dan sebanyak itu pula Teguh menolaknya.
"Paklek ini kopinya diminum dulu. Maaf mungkin agak pahit karena gulanya hampir habis." Teguh berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Hayaaah.. Percuma ternyata ngomong sama kepala batu kayak kamu. Ayu mana? Yu.. Ayu.. Reneo nduk. (Kesini nduk). Mbah tak pulang dulu, ini buat kamu beli jajan ya. Kalau libur sekolah main ke rumah mbah ya. Nanti mbah beliin ikan warna-warni." Paman Teguh pergi setelah meneguk separo kopi bikinan Teguh.
"Pak.. Kenapa mbah kung marahin bapak?" Ayu mendekati bapaknya.
"Mbah bukan marah Yu tapi perhatian itu namanya." Teguh tersenyum yang membuat Ayu menggaruk kepala karena tak paham maksud bapaknya tadi.
"Yu... bisa tolong ambilin gantungan baju. Yang bapak bawa kurang ini," Teguh sedikit berteriak agar Ayu yang ada di dalam rumah mendengar ucapannya.
Teguh habis mencuci, semua bajunya dan Ayu dia yang mencuci. Meski kadang Ayu juga mencuci bajunya sendiri setelah mandi, lebih banyak pekerjaan itu Teguh yang melakukan.
Menunggu Ayu yang mengambil gantungan baju, Teguh memeras baju dan mengibaskannya agar air yang terserap bisa berkurang dan jemuran cepat kering.
"Aduduuh eh apa ini,," Suara perempuan mengagetkan Teguh. Dia menghindar dari cipratan air perasan baju yang dikibaskan Teguh.
"Maaf, aku enggak lihat." Teguh datar saja melihat Vera yang menghampirinya.
"Ini pak gantungan bajunya." Ayu berlari dari dalam rumah menyerahkan gantungan baju kepada bapaknya.
Mata Ayu menangkap sosok yang selama ini dia takuti, dengan takut-takut dia mundur berlindung di belakang Teguh sambil memegang ujung kaosnya.
"Eeh Ayu, sini deh.. Ini ada kue dari tante Ve buat kamu, buat mas Teguh juga" Kali ini memandang Teguh dengan senyum manis mengembang.
Ayu dan Teguh diam saja.
"Aduh kok malah diem sih, ini kue buat kamu. Diambil ya, jangan lupa dimakan. Tadi tante Ve bikin sendiri lho, oiya Yu.. Kamu kalau mau main sama Dinda di rumah tante, kapan aja tante ijinin lho. Pokoknya kamu boleh main ke rumah tante Ve. Emm dan lagi, kalau mas Teguh sibuk... Ayu boleh berangkat sama pulang sekolah bareng Dinda aja. Biar aku yang anterin. Lagian rumah kita deketan gini, alangkah baiknya kalau kita jalin silaturahmi lebih dekat.. Iya kan Yu... Kamu mau kan berangkat sama pulang sekolah bareng Dinda?" Mata itu masih terlihat tak ramah saat memandang Ayu.
Tak mungkin orang bisa berubah secepat itu dalam waktu singkat. Ada apa dengan Vera sebenarnya? Teguh dan Ayu saling pandang. Menunggu Vera meneruskan ucapannya.
"Mas.. Aku pulang dulu ya.. Ingat kalau perlu bantuan apapun itu, aku siap bantu kelian. Ayu, tante pulang dulu ya.." Tangan itu terulur untuk memegang pipi tirus Ayu.
Ayu masih diam. Teguh pun sama. Bahkan setelah Vera meninggalkan halaman rumah mereka, mereka masih sama-sama terpaku.
"Ibunya Dinda kenapa itu pak? Kok aneh."
Tentu saja Ayu berkata demikian, selama ini Vera tak pernah sedikitpun menunjukkan sikap baik kepadanya. Ada saja hal yang membuat Vera marah dan menghina dirinya atau bapaknya.
"Bapak juga enggak tahu Yu. Ayo masuk, makan, bapak laper." Ajak Teguh.
"Terus.. Ini kuenya gimana pak?" Ayu menunjuk kue yang diletakkan Vera di kursi atom di depan rumah.
"Ayu mau?" Pertanyaan itu dijawab gelengan cepat oleh Ayu.
"Ya udah kalau Ayu enggak mau, nanti bapak bawa ke tempat kerja aja ya biar dimakan temen bapak di sana, enggak baik buang-buang makanan. Dosa!" Ayu mengangguk cepat.
Vera yang sudah ada di dalam rumah mengintip Teguh dari balik jendela kaca rumahnya. Dia seperti orang kasmaran, senyum-senyum sendiri. Matanya berbinar senang saat melihat Teguh mengambil kue buatannya dibawa masuk ke dalam rumah.
'Aku tahu mas.. Aku tahu, sebenarnya kamu masih menyimpan rasa untukku. Mungkin dulu kamu malu mengungkapkannya, atau mungkin sungkan karena aku masih berstatus istri bandot tua bangka yang sekarang namanya sudah bernisan itu.. Tapi sekarang, aku janda.. Tak ada lagi yang bisa jadi penghalang perasaan kita. Ah kita.. Aku menunggu saat kata kita menjadi penyatu antara namamu dan namaku. Apakah kamu tahu kenapa aku selalu jutek dan marah sama kamu, terlebih anakmu yang sangat mirip dengan Nur itu..? Karena aku benci Nur.. Aku benci Ayu yang menjadi duplikat Nur! Semua yang ada dalam diri Ayu, selalu mengingatkanku pada ibunya yang merebut kamu dari sisiku! Karena itu aku benci Ayu tapi, bukan kamu.. Aku masih selalu sayang kamu mas.. Selalu. Bahkan perasaan itu tak berubah hingga saat ini.'
_____
Setelah seharian bekerja, Teguh yang akan pulang menggerakkan sepedanya pada tempat pemakaman umum di desanya. Tujuannya jelas, ke makam istrinya.
Berjalan dengan pelan, setelah tiba di pusara tempat bersemayam raga istri tercintanya.. Dia duduk di sana setelah menggelar koran untuk alas duduknya.
Diusapnya nisan itu, bibirnya bergetar menahan luapan emosi yang menyesakkan dada. Setelah membacakan doa untuk Nur, seperti biasa dia akan diam tanpa kata. Keheningan membuat Teguh seakan terseret ke masa lalu, masa di mana dirinya dan Nur masih bersama.
"Dek.. Apa kabar? Baik ya..? Tapi kenapa aku enggak bisa baik-baik aja setelah sekian lama kamu berbaring di sini. Oiya dek.. Ayu kita sekarang udah kelas tiga, dia makin pinter, makin cantik, mirip sama kamu. Rambutnya panjang, kadang dia kesusahan menyisir rambut. Aku yang tidak pernah tahu cara mengepang rambut jadi terbiasa ngepang rambutnya.. Dek aku kangen kamu..."
Ucapan Teguh terhenti. Lelaki itu terdiam kembali, tangannya menaburkan bunga di pusara istrinya.
Mungkin bagi orang lain, akan mudah mencari pengganti istri setelah istrinya meninggal.. Tapi, tidak bagi seorang Teguh. Dia merasa hatinya hanya tertambat pada satu nama, meski raga Nur telah tiada tapi rasa untuk Nur tak berubah dari awal dia berjumpa dengan bidadari surganya.
"Insya Allah.. Tunggu mas ya dek, sampai saatnya tiba.. Kita bisa bertemu, karena aku pernah berjanji padamu untuk sehidup sesurga hanya bersama kamu. Aku pulang dulu ya sayang.. Assalamu'alaikum."
mgkn noveltoon bs memperbaiki ini..