Raya yang baru saja melakukan ujian nasional, mendapatkan musibah saat akan datang ke tempat tinggal temannya. Kesuciannya direnggut oleh pria tak dikenal. Raya memutuskan untuk melaporkannya ke polisi. Bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun ancaman. Tidak hanya sampai di situ saja, dia dinyatakan hamil akibat insiden itu. Lagi-lagi bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun perlakuan buruk yang dia terima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 Apa Mereka Saling Mengenal
Raya sesekali menengok ke belakang, karena merasa ada yang mengikutinya. Sejak dia bertemu dengan Keanu di kafe tadi siang, perasaan cemas terus melandanya—dia merasa diteror.
"Aaaa!" teriak Raya saat ada yang menepuk pundaknya cukup kencang.
"Hei, ini aku. Kamu kenapa?"
"Hah, Nina!"
"Kamu kenapa?"
"Tidak apa. Kamu dari mana?"
"Dari minimarket, beli cemilan karena aku harus lembur nanti malam."
"Aku juga, banyak yang harus aku kerjakan."
Tekad Raya sudah bulat untuk lulus tiga tahun, bahkan kalau bisa kurang dari itu. Anggap saja dia ambisius, karena ada benarnya juga. Feeling-nya lebih peka dari yang sebelumnya. Sudah beberapa kali dia mengabaikan feeling itu, akhirnya hanya kesialan yang menimpa.
Semoga saja kali ini dia melakukan hal yang tetap, meski banyak yang harus dia korbankan.
Di lain tempat, Justin sedang memandangi sebuah foto usang. Tangannya terkepal kuat dan kembali menyimpan foto itu dalam brankasnya. Dia lalu keluar dari ruang kerjanya. Di ruang keluarga, ada Jenia—istrinya. Perempuan yang masih terlihat sangat cantik, di usianya yang tidak muda lagi.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Justin.
"Tidak ada. Oya, aku berencana untuk menjodohkan Keanu dengan anak sahabatku," ucap Jenia.
"Apa!"
"Kenapa?"
"Tidak, hanya saja aku juga berencana seperti itu. Tidak perlu langsung menikah, yang penting mereka terikat dalam pertunangan dulu."
"Apa sekarang kita akan bersaing untuk menjodohkan Keanu dengan perempuan pilihan kita?"
"Mungkin."
Rean dan Rion kini duduk di taman yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Mereka menatap langit, membayangkan bagaimana wajah Daddy mereka.
"Apa papa miskin sehingga tidak mau mengurus kita?"
"Mungkin papa jelek, sehingga tidak mau bertemu dengan kita. Kan kaya mommy dan mama, kita sangat tampan."
"Apa papa sudah gak ada lagi?"
"Mungkin jatuh dali pesawat."
"Bisa saja kelindas sepeda."
"Atau ketablak keleta."
"Dimakan ikan hiu."
"Digigit tikus."
"Lean, mungkin papa dibawa hantu!"
"Lion, mungkin papa disihil jadi semut, lalu keinjak laksaksa."
Dua orang pria yang tidak jauh dari mereka, meringis, ngilu, antara iba tapi juga ingin tertawa.
Imajinasi kedua anak itu benar-benar luar biasa. Luar biasa menakutkan!
Sedangkan satu orang pria di sana diam saja, menampilkan wajah tidak suka.
"Apa kita cali papa balu?"
"Yang kaya."
"Ganteng, bial gak malu-maluin diajak jalan. Kan kata aunty Cintya, dia nyali pacal yang ganteng, bial gak malu diajak jalan."
"Cali dua papa, bial adil. Kamu satu, aku satu."
Mereka kembali meringis. Apa sebegitu inginnya kedua anak itu memiliki papa? Pria bejat mana yang tega meninggalkan anak kecil seperti mereka? Ketiganya jadi terdiam, tanpa sadar ikut merasakan perasaan kesepian itu.
Hati ikut terenyuh, padahal tidak kenal.
"Ayo pulang, nanti ketahuan kalau kita tidak ada di lumah."
Virza sekilas melihat wajah anak-anak itu, hanya dari samping.
Mirip siapa, ya?
Di rumah, Rean dan Rion menggambar keluarga kecil yang terlihat bahagia dengan wajah tersenyum lebar.
"Mama pulang."
Keduanya langsung menyembunyikan gambar itu di bawah kasur. Jangan sampai Nina atau Raya melihatnya, atau keduanya akan sedih.
"Mama membawakan cake untuk kalian. Tadi teman mama memberikannya."
Wajah keduanya terlihat senang.
"Telima kasih, Mama."
Tidak lama kemudian Raya pulang.
"Ini buat Mommy." Rean langsung menyuapi kue itu ke mulut Raya.
"Terima kasih, Sayang."
"Sekarang Mommy dan Mama duduk di sini."
Kedua anak itu lalu memijit pundak Raya dan Nina. Raya dan Nina jadi terharu. Rasa lelah mereka hilang seketika. Tangan-tangan kecil itu seolah menarik semua beban di pundak.
Apa ini namanya anugerah atas kehadiran mereka dalam hidup Raya dan Nina? Ya, sudah pasti begitu.
...----------------...
Raya hari ini akan menemani atasannya ke perusahaan lain. Mereka akan melakukan kerja sama untuk desain interior dan eksterior.
"Ini bagus untuk pengalaman kamu."
"Tapi apa tidak akan masalah kalau saya ikut dalam tim ini? Saya tidak enak dengan para senior."
"Atasan yang memintanya. Jangan pikirkan omongan orang, bukan mereka yang memberi kamu makan."
Mereka kini memasuki ruangan VVIP di salah satu restoran ternama.
Kedua perusahaan itu kini telah menandatangani kontrak kerja sama, dan kini saatnya makan siang bersama.
"Pesanlah makanan untuk kalian bawa pulang. CEO kami yang akan membayarnya."
"Terima kasih banyak, Tuan."
Dalam hati, Raya sangat bahagia. Dia bisa membawa makanan enak dan sangat mahal untuk Rean, Rion dan Nina.
Setelah dari restoran, Raya pulang dulu ke rumah untuk memberikan makanan itu.
"Rean, Rion, mommy pulang."
"Mommy."
"Ini makanan untuk kalian. Maaf ya, mommy tidak bisa menemani, karena harus pergi ke kampus."
"Ya, Mommy," ucap keduanya.
Raya mengecup kening keduanya, yang dibalas oleh Rean dan Rion.
Setelah Raya pergi, Rean dan Rion membuka paper bag itu.
"Waahh."
Mereka mengambil sedikit saja, karena harus berbagi untuk Raya dan Nina juga. Betapa pengertiannya mereka, tidak memikirkan diri sendiri meski usia mereka masih sangat kecil.
"Apa papa juga suka makan makanan enak sepelti ini?"
"Kalau papa makan enak tapi tidak ingat kita, bial saja telsedak."
Di sana, seseorang benar-benar tersedak makanannya. Hidung dan tenggorokannya terasa perih. Telinganya juga terasa berdengung.
Sore harinya, Nina pergi ke minimarket.
"Caren?"
Jantung Nina berdetak kencang saat ada seseorang yang menyebut nama itu.
"Bisa kita bicara?"
"Saya tidak kenal dengan Anda."
Nina langsung berlari sebelum sempat berbelanja. Orang itu mengejar Nina.
"Caren, tunggu. Aku mau bicara. Aku mau bertemu dengan anakku!"
Nina memasuki jalan-jalan kecil. Bersembunyi di balik tiang, bahkan menahan nafas. Tidak lagi melihat Nina, orang itu langsung pergi. Setidaknya dia sudah tahu kalau Nina pasti tinggal tidak jauh dari sini.
Raya turun dari bus, dan berjalan kaki menuju rumahnya. Sesekali dia menoleh ke belakang. Kalau pada awalnya dia berpikir itu mungkin perasaannya saja, tapi kini tidak lagi.
Langkah yang tadinya pelan, kini semakin cepat. Nafasnya memburu di tengah cahaya lampu yang remang-remang. Ada sesuatu yang membuatnya ingin menoleh ke belakang, tapi lehernya terasa kaku, selain itu dia juga takut.
Hingga beberapa hari berikutnya, kecemasan selalu menghantui Raya dan Nina. Kantung hitam menghiasi mata mereka. Raya berjalan di bawah gerimis yang semakin lama semakin deras.
"Aaaa."
"Aya, ini aku."
"Ayo, cepat pulang."
Mereka berdua bergandengan tangan dan berjalan dengan cepat, bahkan setengah berlari.
Tidak jauh dari mereka, ada mata-mata yang menatap keduanya.
"Apa mereka saling kenal?"
Raya dan Nina sudah bisa melihat tembok rumah mereka. Begitu mereka tiba di depan pintu, mereka saling menatap.
"Ayo kita pindah dari sini!" ucap keduanya.