Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Milik Dua Orang Tua
Kaisar belum duduk.
Ia hanya menatap Xuan dalam diam, lalu menggerakkan tangannya pelan ke arah belakang.
"Kau boleh undur, Mei Lin.”
Mei Lin menunduk dalam. Tapi senyum kecil terselip di wajahnya.
Ia tahu tatapan Kaisar pada Nyonyanya itu.
Tatapan yang hanya muncul ketika seorang pria... menyesal terlalu lambat.
“Baik, Yang Mulia.”
“Selamat malam, Nyonya.”
Ia menunduk sopan... tapi lirikan matanya nakal.
Seakan berkata: “Lihat, akhirnya juga. Malam ini milikmu, Majikan.”
Xuan melirik cepat.
Dasar Mei Lin... seperti tidak tahu posisi.
Tapi mulutnya tidak bergerak.
Karena... dadanya mulai berdegup terlalu cepat.
Langkah Mei Lin memudar di balik tirai.
Dan begitu tinggal berdua, Kaisar bergerak. Pelan. Tanpa suara.
Lalu... tangannya menyentuh punggung tangan Xuan.
Sentuhan ringan. Hanya ujung jari. Tapi cukup membuat bulu kuduk Xuan berdiri.
“Masih selembut dulu,” gumamnya.
Xuan menoleh perlahan.
“Saya... sudah tidak muda lagi, Yang Mulia.”
Kaisar menatapnya. Tidak tersenyum, tapi matanya... hangat.
"Tapi masih... sangat cantik.”
Xuan hanya menunduk, tidak ingin menjawab.
Karena ia tahu—pujian itu hanya angin.
Kaisar ini... sudah mengambil banyak wanita muda.
Dan tubuhnya... bukan lagi yang dulu.
Tapi...
"Tapi kenapa... tubuhku masih mengingat wangi ini?"
Aroma lembut khas gaharu bercampur cemara.
Samar, tapi menusuk.
Bukan minyak yang dibeli sembarangan,
ini aroma yang hanya dimiliki satu orang.
“Dia masih seperti dulu…
Tidak berlebihan.
Tapi membuat ruangan ini… penuh.”
Kaisar bergerak lebih dekat.
Tangannya kini menyentuh lengan Xuan, naik sedikit ke bahu.
Xuan tidak mundur. Tapi ia juga tak maju.
Dia hanya berdiri…
dan tubuhnya merinding.
“Xuan,” katanya pelan.
“Aku datang bukan untuk ini.
Aku hanya ingin… melihatmu.”
Xuan menatap Kaisar—laki-laki yang dulu begitu ia cintai, ah tidak, bahkan sampai sekarang. Meski ia punya banyak wanita di sisinya.
Xuan tidak menjawab ucapan bahwa Kaisar hanya datang untuk sekedar melihatnya saja.
Ia hanya diam...
Dan dalam diam itu, ada yang samar.
Bukan marah. Bukan sedih.
Tapi kecewa kecil yang tak sempat dibentuk jadi kalimat.
"Jadi... hanya untuk dilihat.
Seperti lukisan tua yang dulu pernah hidup,
tapi kini hanya digantung demi kesan istana yang ‘lengkap’.”
Ia membuang muka sekilas dan mencoba menutupi sisi wajahnya dengan rambut panjangnya. Ia berusaha membuka gulungan rambutnya itu, untuk menyembunyikan tatapannya.
Tapi sebelum ia selesai membuka gulungan rambutnya — tangan Kaisar menyentuh pinggangnya.
Bukan menarik. Bukan merayu.
Tapi... mengangkat.
Xuan terkejut.
"Y-Yang Mulia...?”
Kaisar tak menjawab.
Dengan gerakan tenang tapi kuat,
ia mengangkat tubuh Xuan ke pinggir kasur,
seolah ia masih gadis dua puluh tahun.
Padahal tubuh itu kini milik seorang ibu yang telah melewati badai,
dan membawa nama agung di depannya.
Xuan tak sempat menolak. Tapi tubuhnya membeku.
Apa maksudnya...?
Lalu...
Kaisar duduk di sisi ranjang, memiringkan tubuhnya perlahan...
dan dengan sangat alami,
menjatuhkan kepalanya di pangkuan Xuan.
Pipinya menyentuh kain sutra.
Dan hembusan napasnya terasa seperti beban besar yang akhirnya dijatuhkan.
“Hanya di sini...
aku bisa diam tanpa dijaga,” katanya pelan.
Xuan tak bergerak.
Jantungnya berdetak pelan,
karena tubuh lelaki yang dahulu...
kini bersandar seperti anak.
Kaisar menutup matanya.
“Semua orang ingin aku tetap berdiri.
Kamu...
kamu satu-satunya yang...
mengizinkan aku duduk.”
Xuan memandangi rambut yang mulai beruban samar.
Rambut yang dulu hanya bisa ia sentuh dua bulan sekali,
kini...
berbaring di pangkuannya,
tanpa mahkota, tanpa singgasana.
Kepala Kaisar masih bersandar di pangkuan Xuan.
Tapi sunyi yang tadi terasa hangat… kini berganti menjadi berat.
Xuan tahu… malam ini bukan datang hanya untuk bernostalgia.
Rong Gao Ming membuka matanya perlahan, menatap tirai berkelip lembut.
“Lembah Utara…
Aku seharusnya tidak menundanya selama ini.”
Xuan tidak menjawab.
“Itu bukan tanah biasa.
Emas, ternak, dan hasil bumi mereka bisa menopang separuh kerajaan jika dikelola dengan baik.
Tapi aku biarkan terlalu lama… hanya jadi pos kecil pajak.
Dan sekarang…”
Suara Kaisar menurun.
“…adik tiriku sendiri mencoba merebutnya.”
Xuan mengangkat kepala sedikit.
Tak terkejut, tapi… tidak mengira secepat itu akan muncul dalam percakapan.
“Negara Kecil Gu di perbatasan barat?”
Kaisar mengangguk.
“Masih membawa nama Dinasti sebelumnya... dengan darah yang sama.
Dan keyakinan bahwa wilayah itu... seharusnya milik keluarga ibunya.”
“Mereka kirim orang-orang berseragam rakyat.
Berbicara dari warung ke warung, dari ladang ke ladang.
Katanya, ‘jika kalian lelah ditindas, ikutlah kami.’
Katanya, ‘kerajaan pusat hanya tahu memungut pajak.’
Dan ironinya…”
Ia menarik napas panjang.
"…mereka tidak sepenuhnya salah.”
Xuan menunduk.
"Karena memang... kita lalai.”
"Benar.”
Kaisar duduk pelan, memindahkan kepalanya dari pangkuan Xuan ke posisi duduk di sisinya.
Tangannya terulur memijat pergelangan tangannya sendiri. Sepertinya seharian ini sudah terlalu banyak menggunakan kuas.
"Aku sibuk dengan administrasi internal, mediasi keributan di barat, urusan ritual di ibu kota, intrik faksi dalam istana…
dan kukira Lembah Utara akan tetap diam.
Tapi tanah subur yang ditinggal lama...
akan tumbuh tanaman liar.”
"Dan rakyatnya…
yang dulu setia, kini mulai menyebut ‘Rong Hui Hui’ sebagai tumpuan.”
Xuan merapatkan selendangnya.
"Dan kini Anda kirim Jing Rui ke sana…”
Kaisar menoleh. Mata lelahnya menatap dalam.
“Bukan hanya karena dia bisa dipercaya.
Tapi karena dia adalah satu-satunya…
yang bisa merebut kembali kepercayaan rakyat
tanpa perlu mengangkat pedang.”
Kaisar menyandarkan punggungnya ke tiang kayu di sisi ranjang.
Tangannya masih mengusap kening, tapi nadanya mulai berubah.
Lebih pelan. Lebih pribadi.
“Rui…”
Xuan diam, tapi tubuhnya menegang sedikit.
Dia tahu nama itu tidak akan disebut tanpa alasan malam ini.
“Dia... menyelesaikan lebih banyak perkara negara daripada yang kita umumkan.
Beberapa kali negosiasi antar provinsi, penyelesaian konflik pajak antar wilayah, bahkan insiden diplomatik yang nyaris jadi perang dagang.
Tapi dia... tidak pernah meminta pujian.”
Xuan perlahan meletakkan cangkir tehnya.
"Dan kau biarkan semua itu... disimpan dalam diam?”
Kaisar menoleh padanya. Matanya lelah, tapi jernih.
“Karena aku tahu, dia tidak membutuhkannya.
Dan karena aku juga sedang menimbang.
Aku harus tahu... apakah dia tetap bisa adil tanpa sorotan.”
“Dan dia bisa?”
“Lebih dari bisa. Dia tidak mencari sorotan, dia memang ingin melakukannya."
Suara Kaisar mengeras sedikit—dengan bangga, tapi tetap terjaga.
"Dia tidak rakus. Tapi bukan berarti lemah.
Dia bisa meenolak suap, tapi tidak membiarkan rakyat menderita.
Dia... bisa menahan marah saat dihina. Tapi bisa menghukum dengan tepat saat hukum dilanggar.”
Xuan menatap Kaisar lama.
“Kau mengaguminya.”
Kaisar tidak menyangkal.
“Karena ia memiliki satu hal yang aku tidak miliki saat seusianya.”
Xuan mengangkat alis.
"Apa itu?” tanyanya dengan suara lembut seakan kembali seperti gadis.
Kaisar memejamkan mata.
"Kesadaran... bahwa kuasa bukan untuk menundukkan, tapi untuk menjaga.”