Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Awas Kamu, Den. Kalau mobil sampai lecet gara - gara Kamu!" Ancam Iman pada anak no 2 nya itu. Entah apa yang akan dilakukannya seandainya itu benar - benar terjadi.
"Masih belum ada kabar yang mau beli mobil Kita, ya?" tanya Iman pada Nisa. Nisa menunjukkan iklan yang ia kirim di situs jual beli mobil.
"Yang liat banyak, tapi belum ada yang nawar."
"Papah takut tuh mobil keburu lecet sama Deni." sungut Iman kesal.
Ucapan itu seperti doa. Itu memang benar.
Yang dikhawatirkan Iman akhirnya terjadi. Mobil bukan hanya lecet, tapi penyok parah. Untungnya bukan Deni yang membawa, tapi Nino.
"Mobilnya ditabrak dari belakang, Pah. " lapor Nino saat baru pulang dari berpergian. Nisa langsung berdiri dan menghampirinya untuk memastikan keadaan Nino. Sedang Iman langsung berlari keluar untuk melihat keadaan mobilnya.
"Kamu nggak papa? Kamu lagi sama Wiwi? Dia nggak papa?" berondong Nisa cemas. Nino menggeleng - geleng. Sebenarnya dahi Wiwi sedikit memar karena terbentur dasbor. Tapi ia tidak ingin membuat mamahnya semakin cemas.
Iman masuk lagi setelah mengecek mobilnya.
"Kok bisa gitu?" teriak Iman gusar.
"Kamu nginjek rem mendadak, ya?" tuduhnya lagi. Nino menggeleng.
"Mobil dia nya yang hilang kontrol, Pah. Tiba - tiba nyeruduk aja."
"Terus orangnya bilang apa?"
"Dia minta maaf." hanya itu? Bagaimana dengan penyok parah yang ditimbulkan?
"Terus?"
"Ya Nino maafin. Namanya juga nggak sengaja." Semudah itu?
"Kamu nggak minta ganti buat servis?"
"Enggak."Nino menggeleng. Ia justru merasa kasihan pada orang itu.
"Ninooo..!" teriak Iman frustasi.
"Tau nggak servisnya itu bisa habis berapa?" tanya Iman gusar. Nisa hanya diam mendengarkan.
"Berapa, Pah? Biar Nino yang bayar." Nino berusaha bertanggung jawab. Nisa tersenyum.
Iman menghela nafas sebelum menjawab.
"2 juta." Nisa terkejut.
"Iya, nanti Nino yang bayar servisnya." Nino mengangguk.
"Nino mau istirahat dulu ya, Pah, Mah?" Ia lalu pamit untuk masuk ke kamarnya.
"Pah?!" Nisa mendelik pada suaminya.
"Masa' uang servisnya sampai sebesar itu?"
"Memang segitu, Mah."
"Mamah nggak mau tau. Dia itu udah kena musibah, Pah. Kita harus bantu Dia juga."
"Maksud Mamah apa, sih?"
"Kalau bayar 2 juta, Dia cukup bayar setengahnya aja."
"Terus sisanya gimana?"
"Ya Papah, lah! Katanya itu mobil Papah!" Iman diam. Sebenarnya servis itu juga tidak menghabiskan uang sebanyak itu, tapi seperti biasa Iman ingin mengambil keuntungan juga dari kejadian ini.
Nino anak yang sangat bertanggungjawab, Iman tau itu.
"Papah duit darimana, Mah?"
"Ya pikirin aja sendiri!" Nisa tau suaminya ini ingin mengambil keuntungan dari anaknya.
Iman menggaruk kepalanya. Sepertinya Ia harus mengerjakan servisnya sendiri untuk mengirit biaya.
Iman ini serba bisa. Ketok magic pun Dia bisa. Tapi sekali lagi, rasa malasnya itu menghambatnya untuk menjadi orang sukses.
Tapi untuk urusan yang satu ini ia harus mengesampingkan rasa malasnya itu.
"Kalau nggak mau dijual, malas deh, Papah kerjain." gerutunya. Nisa tersenyum. Setidaknya Nino tidak jadi mengeluarkan uang sampai 2 juta rupiah untuk servis meskipun Dia sendiri merasa berkewajiban mengeluarkannya.
"Kamu 'kan lagi ngumpulin buat nikah, Nang. Simpan aja, ya." kata Nisa saat Nino memberikan uang 2 juta itu ke tangan Nisa dan Nisa mengembalikan setengahnya.
"Tapi Papah minta segitu, Mah."
"Nggak papa. Papah juga bisa ngerjain sendiri, kok. Segitu itu kalau dikerjain sama orang. Kamu bantuin Papah aja sana."
"Bantuin apa? Nino 'kan nggak bisa."
"Layanin Papahnya. Kalau perlu apa - apa Kamu yang ambilin."
Nino menurut. Ia ke depan untuk menjadi asisten sang Papah. Iman juga merasa senang Nino mau menemaninya.
*******
"Mah, uang Nino sudah cukup buat ngelamar Wiwi." Nisa merasa sedih dan terharu sekaligus.
"Tapi uang Mamah belum cukup, Nang. Tunggu sebentar lagi, ya." Nino mengangguk. Ia memang anak yang penurut.
Nisa menelpon Mama Wida untuk memberitahukan hal ini.
"Nisa, kalau seseorang itu sudah siap untuk menikah, sebaiknya jangan ditunda - tunda lagi. Itu tidak baik, Nak."
"Tapi Nisa belum punya cukup uang, Mah."
"Lamar aja dulu. Kamu masih bisa ngumpulin sampai ke acara pernikahan. Insyaa Allah Mamah bisa bantu juga."
"Tapi, Ma.."
"Kamu nggak ingin melihat Nino bahagia?"
Mama benar, pikir Nisa. Kenapa harus menunda kalau itu untuk kebahagiaan Nino?
Nisa menutup telpon nya setelah Wida berjanji akan datang pada saat lamaran nanti.
Ia harus segera memberitahu Iman.
"Papah, Nino mau nikah. Kapan Kita bisa pergi melamar pacarnya itu?" Iman terkejut.
"Kamu memang punya duit, Mah. Buat nikahin Nino?"
"Untuk ngasih uang ke pihak mempelay, Nino yang menabung, Pah. Kita tinggal mikirin buat bawaannya."
"Apa aja bawaannya?" Sungguh Iman tidak mengerti. Dulu waktu Dia menikahi Nisa tanpa persetujuan dari orang tua Nisa. Mereka kawin lari. Jadi tidak ada acara bawa - bawaan.
"Nah itu. Namanya orang betawi, Pah. Bawaannya harus 1 set isi kamar tidur, 1 set isi ruang tamu dan 1 set keperluan dapur." mata Iman membesar.
"Maksudnya, tempat tidur, lemari dan lain - lain gitu?"
"Sofa dan buffet juga."
"Itu juga? Apalagi?"
"Kompor, rak piring, kalau bisa kulkas dan mesin cuci." Mulut Iman terbuka lebar.
"Sampai kayak gitu?"
Nisa mengangguk.
"Belum kue - kue dan buahnya. Harus sepasang - sepasang. Harus ada roti buaya juga." Iman berkali - kali menelan salivanya.
"Perasaan Bang Mumu nggak begitu lagi nikahan."
"Itu karena bakal istrinya bukan orang betawi, Pah. Memang cuma orang betawi aja yang repot kayak gini, Pah."
"Ya Nino suruh cari calonnya bukan orang betawi aja." Iman bercanda atau mengigau?
"Pah?!" Iman malah tertawa melihat kekesalan istrinya.
"Mamah ada duitnya?" kata Iman akhirnya setelah puas tertawa.
"Mamah udah lama nabung buat ini. Nino mintanya udah lama, Pah. Tapi tetap aja belum cukup. Papah tambahin, ya?"
"Papah duit darimana? 'Kan duitnya sama Mamah semua." selalu begitu. Nisa kadang benci mendengarnya. Duitnya sama Mamah semua. Memang berapa banyak sih, duitnya?
"Terus bagaimana? Apa Papah mau lepas tangan?" ketus Nisa sebal. Ini mengenai rencana pernikahan Nino, anak pertama mereka!
Bibir Iman mengerucut. Ia merasakan kekesalan istrinya. Tapi kenapa?
"Kok Mamah ngomongnya gitu?"
"Tau, ah! Gelap!"
"Mah?"
"Pokoknya Mamah nggak mau tau. Papah harus mastiin kapan Kita akan pergi ngelamar!" Nisa membalikkan tubuh membelakangi suaminya. Padahal ia tahu itu tidak boleh.
'Nggak papalah, sekali sekali.' cicit hatinya.
Iman juga diam. Biasanya ia akan protes bila istrinya ini memunggunginya.
'Nino sudah mau menikah? Aih, cepatnya waktu berlalu. Padahal rasanya
baru kemarin Aku menggendongnya saat Dia baru lahir.' rupanya Iman sedang terharu biru dengan perasaannya sendiri.
Dipelupuk matanya terbayang bayi Nino yang tidak menangis saat ia lahir hingga dokter harus membalikkan tubuhnya dengan posisi kepala di bawah seraya menepuk - nepuk pantatnya.
"Nangis, Nak. Menangislah!" dan suara tangisan itu lirih terdengar seperti suara kucing kecil yang mengeong.
*******