NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Sisi Mata Uang

Pertemuan Dion dengan Kiki dan Clarissa calon istrinya, serta Julius pemilik percetakan tak berlangsung lama. Pertemuan itu praktis hanya merupakan tawar menawar biaya pencetakan undangan yang didesain Dion.

Sepeninggal Kiki dan Clarissa, Julius yang sejak pertemuan sebelumnya menginginkan Dion untuk bekerjasama dengannya kembali mengajukan penawaran.

“Tidak ada ikatan. Hubungan kita, Adinda dan percetakan adalah mitra sejajar dan Adinda memiliki waktu bekerja fleksibel. Tapi tentu saja harus menyelesaikannya sesuai tenggat waktu, yang ditentukan oleh Dinda sendiri. Pikirkanlah!” bujuk Julius ketika Dion dengan halus masih berusaha menolak penawaran itu.

“Setiap bulannya, percetakan kami menerima 4 sampai 5 permintaan desain eksklusif dari orang-orang kaya. Adinda Dion tidak harus menyetujui semua permintaan apabila merasa tidak punya cukup waktu. Abang paham seorang desainer itu terkadang butuh waktu untuk mengumpulkan ide.”

“Tarifnya pun Adinda sendiri yang tentukan. Yang aku minta hanya undangan dicetak di perusahaan ini dan hasil desainnya menjadi milik percetakan untuk dijadikan portofolio,” tambahnya.

Dion yang semula ragu mulai tertarik dengan penawaran itu. Fleksibilitas pekerjaan membuatnya tidak akan bentrok dengan rutinitas Dion sebagai manajer produksi. Apalagi Julius masih terbilang sepupu istri Amri atasannya.

Akhirnya Dion pun meminta waktu untuk memikirkan penawaran itu dan meminta pamit karena ingin menuju kampus untuk suatu urusan.

“Adinda parkir di mana?” tanya Julius yang mengantarkannya hingga ke depan percetakan.

“Aku naik angkot, Bang. Tak punya kendaraan,” jawab Dion.

“Ah! Besok atau lusa, kalau ada waktu datanglah ke rumah. Abang punya sepeda motor yang tidak terpakai siapa tahu Adinda tertarik. Aku akan jual padamu dengan harga yang miring,” cetus Julius.

“Motor jenis apa, Abangda?” tanya Dion yang tertarik dengan penawaran Julius, apalagi Dion sedang mempertimbangkan untuk memiliki kendaraan.

“Rahasia. Dijamin Adinda akan suka,” sahut Julius membuat Dion penasaran. Apalagi ketika Julius tiba-tiba membalik badan dan membuka pintu masuk ke kantornya.

“Pokoknya datang ke rumah,” pungkasnya sambil tertawa sebelum menghilang di balik pintu.

...***...

Keesokan harinya, seusai lari pagi dan menghabiskan sarapan, Dion buru-buru mengunjungi rumah Julius untuk melihat sepeda motor yang ditawarkan padanya. Tapi Dion merasa kecewa, sepeda motor itu adalah jenis sport yang harganya tentu mahal.

“Motor ini masih sangat bagus dan jarang dipakai. Aku membelikannya sebagai hadiah ulang tahun ke-17 anak lelakiku. Tapi ia kini kuliah di Jakarta dan tak berminat dengan sepeda motor lagi. Ia bahkan memintaku untuk menjualnya daripada hanya diparkir,” terang Julius.

“Tapi, ini terlalu bagus buatku, Bang. Pasti mahal sekali,” keluh Dion.

“Abang akan berikan harga bagus buatmu. Asal kesepakatan kerja sama itu Adinda Dion setujui,” ujarnya lalu menyebutkan angka.

“Deal!” seru Dion tanpa pikir panjang dan menyalami Julius.

“Tapi karena masa berlaku SIM-ku sudah habis, motor ini harus diparkir di sini dulu untuk beberapa hari,” tambah Dion dibalas anggukan Julius.

...***...

Dion melalui hari-hari berikutnya dengan tambahan kesibukan baru yakni menjadi freelance designer di percetakan Julius. Kurang dari seminggu sejak ia bersalaman dengan pemilik percetakan itu, Dion sudah menerima order pertamanya.

Di sela-sela waktunya, Dion juga membantu Meyleen yang sangat antusias melibatkan diri dengan persiapan lomba maraton yang akan digelar organisasi profesi yang dipimpin Kiki.

Intensitas pertemuan yang meningkat membuat keduanya kian dekat dan akrab. Dion yang tak enak hati setiap kali disopiri akhirnya menuruti saran Meyleen untuk mengambil kelas mengemudi.

Kesibukan itu tak hanya membuat kehidupan Dion semakin berwarna dan membantunya mengembalikan kepercayaan diri. Tapi juga membantunya untuk mengabaikan perasaan kecewa yang selama setahun ini menjadi membebani hati dan pikiran.

Tapi sejauh apapun Dion menjauh dan mengabaikannya, kekecewaan seolah terus saja menghampirinya. 

Minggu pertama Juli 2002, Dion mengantarkan madu buat Oppung Duma. Dion menyukai kisah Oppung hari itu yang menceritakan pengalaman masa gadisnya ketika menjadi sukarelawan guru bantu di sebuah Sekolah Rakyat pada masa pendudukan Jepang, setahun sebelum kemerdekaan Indonesia.

Apalagi ketika Oppung bercerita ia menolak pendekatan banyak pemuda kaya, para ‘sinyo’ maupun pemuda ‘Blijvers’. Oppung Duma justru memilih pemuda dari kalangan biasa menjadi suaminya.

Sinyo adalah istilah untuk pemuda peranakan Belanda-Indonesia, sementara Blijvers adalah keturunan Eropa yang tinggal permanen di Indonesia dan berkewarganegaraan Hindia-Belanda, bukan Belanda. Ketika Indonesia merdeka, orang-orang Blijvers umumnya ingin berkewarganegaraan Indonesia, tapi penerimaan dan sikap negatif kaum pribumi pada orang berkulit putih membuat mereka hijrah dan tak sedikit yang luntang lantung tanpa kewarganegaraan.

Oppung sempat tertawa ketika Dion bertanya alasan sesungguhnya di balik keputusannya memilih pemuda dari kalangan biasa.

“Aku punya banyak alasan untuk memilihnya. Selain baik, sopan, pekerja keras dan tampan, aku melihat dia punya potensi dan cita-cita luhur untuk membantu orang lain,” ujar Oppung.

“Itulah alasannya kenapa aku dan suamiku banyak sekali terlibat dalam kegiatan dan organisasi sosial.”

“Hidup ini tak ada artinya kalau kita tidak berguna bagi orang lain. Walaupun orang yang dibantu tidak mampu mengucapkan terima kasih atau bahkan tidak sadar telah dibantu, itu tak penting,” tutur Oppung sembari memberi nasihat.

“Tentu kita akan bahagia ketika menerima bantuan, apalagi saat sangat membutuhkannya. Tapi aku mau bilang, kita akan lebih bahagia ketika bisa membantu orang lain. Kau tau kenapa?”

“Kenapa, Oppung?”

“Karena saat itu kita merasa bahwa kita telah menjadi garam dan terang bagi dunia. Saat itu kita merasa hidup kita telah dipakai oleh Tuhan dan saat itu kita merasa menjadi orang yang berarti di mata Tuhan.”

Untuk sesaat Dion memikirkan kata-kata Oppung. Tapi ia lebih tertarik pada alasan Oppung Boru memilih pemuda biasa.

“Seandainya Oppung Doli tidak setampan itu, apa Oppung Boru masih akan memilihnya?” tanya Dion setelah beberapa saat memikirkan kata-kata wanita tua itu.

Mendengar pertanyaan Dion, Oppung kembali tertawa tapi ia heran karena melihat mimik Dion yang tampak serius dan tidak sedang bercanda.

“Serius nya kau dengan pertanyaanmu itu?” tanyanya.

Dion tak menyahutnya karena malah sibuk berpikir kemungkinan telah menyinggung perasaan Oppung dengan pertanyaannya.

“Aku tak bisa memberi jawaban pasti. Salah satu alasan kenapa aku jatuh hati padanya ya karena dia tampan. Tapi setelah mengenalnya, bukan ketampanannya yang paling kuhargai, melainkan kesetiaan, kebaikan dan cita-cita luhur yang aku ceritakan tadi.”

“Setelah bertahun-tahun menikahinya, aku bahkan berharap dia tidak setampan itu karena banyak sekali perempuan yang berusaha mendekatinya, meskipun setelah anak kami sudah remaja.”

Penjelasan Oppung membuat Dion tertawa. Bagaimanapun bijaksananya, Oppung Boru tetaplah seorang perempuan biasa yang pastinya juga memiliki rasa cemburu.

“Aku hampir tak percaya kalau Oppung Boru bisa cemburu juga,” ujar Dion yang gagal menawan tawa gelinya.

“Sayang dan cemburu itu kan seperti dua sisi dari mata uang yang tidak bisa dipisahkan,” jelas Oppung yang ikut tertawa.

Cukup lama juga keduanya tertawa.

“Bagaimana denganmu? Apa kau belum menemukan seseorang? Kenapa tidak pernah kau kenalkan sama Oppung?” tanya wanita tua kemudian.

Meskipun sedikit kaget karena pertanyaan seperti itu tiba-tiba ditujukan padanya, Dion menjawab dengan menggeleng-gelengkan kepala.

“Aku sebenarnya tak ingin menceritakan ini, tapi kalau tidak, rasanya sepertinya menyembunyikan sesuatu darimu,” Oppung berubah serius.

“Ada apa, Oppung?” Dion heran karena tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang tak bisa ia tebak arahnya.

“Minggu lalu Wina datang ke sini untuk memperkenalkan calon suaminya.”

Penuturan Oppung membuat Dion tertunduk diam meskipun hatinya tersentak bagai terkena sengatan listrik.

“Dia sehat-sehat saja Oppung?” tanya Dion dengan suara sedikit bergetar karena belum sepenuhnya bisa menguasai diri.

“Iya sehat-sehat. Tapi dia hanya menginap satu malam di sini. Pagi-pagi dia kembali ke Jakarta sendirian,” jawab Oppung.

“Aku tak suka si Barandika itu. Angkuh sekali dan memandang remeh kepadaku. Sejak datang dia hanya duduk sambil memperhatikan ponselnya. Tak sampai satu jam dia pergi, ada rapat katanya. Dia bahkan tak mau meminum kopi yang disajikan si Sari.”

Dion tak menanggapi keluhan Oppung karena sibuk menahan perasaan cemburu dalam hatinya.

“Kenapa kau diam dan pucat begitu?” tanya Oppung menyadarkan Dion dari lamunan.

“Ah tidak apa-apa, Oppung. Yang penting dia sehat-sehat saja, bukan?” sahut Dion.

“Jujurlah sama Oppung, apa kau masih belum bisa melupakan hubungan kalian yang dulu?” Oppung justru balik bertanya.

“Tidak mungkin aku melupakan itu. Tapi aku sudah rela, kok.”

“Tapi raut wajahmu tampak kecewa begitu?”

“Ya, karena aku juga sama seperti Oppung Boru, pasti merasakan cemburu juga,” Dion sedikit bercanda tapi Oppung hanya tersenyum datar.

Wanita tua itu merasa kasihan kepada pemuda di hadapannya. Pemuda yang dulu sempat ia harapkan akan menjadi cucu menantunya dan kini yang selalu mengunjunginya dan menjadi teman ngobrolnya selama dua tahun belakangan itu tampak tak berdaya.

“Itulah sebabnya aku ingin kau mencari perempuan lain,” Oppung merasa tak menemukan kalimat yang lebih baik untuk menghibur hati Dion.

“Tentu saja, Oppung. Mungkin kalau Wina sudah menikah aku bisa lebih rela dan tidak cemburu lagi.”

“Aku tak tahu kenapa aku menceritakan ini padamu. Tapi menurutku si Wina itu sepertinya tak serius ingin menikah. Entah apa alasannya dia perkenalkan calon suaminya itu kepadaku. Itu makanya aku marah padanya,” Oppung menceritakan isi pikirannya.

“Dion tak mengerti. Kalau dia tidak serius kenapa pula mau menikah dan meminta restu?” tanya Dion heran.

“Begitulah si Wina. Dia suka sekali menyimpan sendiri segala sesuatu di hati. Bukan hanya susah dimengerti, tapi juga sering sekali bikin orang lain kaget dengan keputusannya.”

“Iya, Oppung. Sedikit banyak aku paham sifatnya,” timpal Dion.

“Aku mengkhawatirkan kalian berdua,” gumam Oppung lirih.

Kali itu Dion tak bisa membantah wanita tua itu. Oppung memang memiliki alasan untuk khawatir, kemungkinan Wina mengambil keputusan yang salah dan Dion masih kesulitan melupakan hubungannya dahulu dengan cucunya itu.

“Biarlah urusan percintaan itu menjadi bagian kami yang masih muda-muda ini, Oppung. Lagipula kami berdua sudah dewasa dan harusnya sudah tahu konsekuensi dari setiap keputusan,” Dion berusaha diplomatis.

“Sayang sekali Oppung Doli sudah tidak ada. Kalau tidak kau bisa tanyakan padanya kenapa dia memilih aku,” Oppung mengalihkan topik pembicaraan.

“Ah, itu tidak perlu. Tidak sulit menebak mengapa dia memilih Oppung Boru.”

“Tebakanmu apa? Oppung mau tahu.”

“Ya, apalagi kalau bukan karena Oppung Boru cantik. Selain itu baik hati dan ramah.”

“Bah, tahu dari mana kau kalau aku dulunya cantik?”

“Sampai sekarang Oppung masih kelihatan cantik, kok. Hanya saja sudah kelihatan lebih tua.” Jawaban Dion membuat Oppung tertawa senang.

Pembicaraan itu masih berlanjut untuk sesaat sebelum akhirnya Dion harus pamit karena harus mengikuti latihan sore.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!