Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 32
Udara di markas mafia terasa berat, dipenuhi dengan ketegangan yang hampir bisa disentuh. Setiap langkah kaki terdengar lebih tajam, setiap tatapan membawa kecurigaan. Para anak buah Alexander bergerak dengan kewaspadaan tinggi, seolah-olah siapa pun bisa menjadi target berikutnya.
Amina berdiri di sudut ruangan, mengamati dari balik hijabnya yang sedikit longgar setelah berjam-jam bekerja tanpa istirahat. Dia tidak suka situasi ini. Sesuatu terasa… tidak pada tempatnya.
Dante bersandar pada sofa dengan ekspresi santai, tapi matanya menyapu ruangan dengan teliti. Dia selalu seperti itu, terlihat tidak peduli, tapi diam-diam memperhatikan segalanya.
"Aku tidak suka ini," gumam Amina.
Dante meliriknya dengan sebelah alis terangkat. "Kau tidak suka apa? Suasana yang tegang atau fakta bahwa kau mulai terdengar seperti bagian dari kelompok ini?"
Amina mendengus, melipat tangan di depan dada. "Aku hanya ingin menyelesaikan kasus ini secepat mungkin."
"Dan bagaimana menurutmu sejauh ini?"
Amina menghela napas. "Aku melihat pola di balik pembunuhan ini. Ini bukan hanya pengkhianatan biasa. Ada pesan yang ingin disampaikan. Sesuatu yang lebih besar sedang terjadi."
Sebelum Dante bisa menjawab, suara langkah kaki keras mendekat. Alexander muncul dengan ekspresi dingin, matanya menyipit begitu melihat Amina.
"Kau," katanya, suaranya seperti bilah pisau. "Ikut denganku."
Dante melemparkan tatapan seolah berkata, 'semoga sukses,' sebelum kembali menyandarkan kepalanya ke sofa.
Amina mengikuti Alexander menuju kantornya. Begitu pintu tertutup, pria itu langsung menatapnya tajam.
"Kau mulai mencari pola sendiri?" tanyanya tanpa basa-basi.
Amina tidak gentar. "Karena pola itu ada."
Alexander tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Kau terlalu banyak berpikir, Detektif. Ini hanya urusan pengkhianatan biasa. Seseorang ingin menggulingkanku, dan aku akan menemukan siapa dia."
"Dan kalau kau salah?" Amina menyipitkan mata. "Kalau ini lebih dari sekadar perebutan kekuasaan?"
Alexander membanting tangannya ke meja, membuat beberapa dokumen terjatuh. "Aku tidak pernah salah."
Amina tetap diam. Ketidaksepakatan ini semakin dalam. Alexander hanya melihat dari perspektif kekuatan dan balas dendam, sementara Amina melihat gambaran yang lebih besar.
"Aku tidak akan berhenti menyelidiki," katanya akhirnya. "Dan aku harap kau tidak akan menghalangiku."
Alexander menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. "Jangan buat kesalahan, Amina."
Saat dia keluar dari ruangan, Amina bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena ketakutan—tapi karena firasatnya semakin kuat bahwa ada sesuatu yang lebih gelap di balik semua ini.
Malam itu…
Jalanan sepi. Lampu-lampu kota berkelap-kelip, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Amina menarik napas dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya. Dia sedang menyelidiki petunjuk baru—sesuatu yang ditemukan di dokumen lama yang nyaris terlupakan di kantor Alexander.
Langkahnya cepat, waspada. Dia tahu seseorang mengikutinya.
Kemudian, tiba-tiba—
Sebuah bayangan melesat dari gang sempit di sampingnya. Serangan datang begitu cepat, nyaris tak terlihat. Amina hanya sempat berbalik sebelum sesuatu bergerak ke arahnya dengan kecepatan mengerikan.
Tapi sebelum dia bisa bereaksi—
TANG!
Sebuah suara keras terdengar. Amina tersentak ketika melihat Michael berdiri di hadapannya, menghentikan serangan itu dengan presisi sempurna.
Dengan ekspresi dingin, dia memelintir tangan penyerangnya dan mendorongnya ke dinding dengan kekuatan brutal. Sosok misterius itu merintih sebelum berhasil melepaskan diri dan melarikan diri ke dalam kegelapan.
Amina masih terengah-engah, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Michael menatapnya dengan tajam. "Kau baik-baik saja?"
"Ya… aku…" Amina mengusap keringat dingin di dahinya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Michael tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap gang gelap tempat si penyerang menghilang. "Aku mengikutimu."
Amina mengerutkan kening. "Kenapa?"
Michael mendekat, matanya masih tajam. "Karena aku tahu seseorang akan mencoba membunuhmu."
Amina masih mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Serangan itu bukan kebetulan, seseorang menginginkan dia mati. Namun, yang lebih mengganggu pikirannya adalah kehadiran Michael yang tiba-tiba.
Ia melirik pria itu dari sudut matanya. Michael berdiri tegap, ekspresi wajahnya tetap datar seperti biasa, tetapi ada ketegangan di rahangnya. Matanya yang tajam terus mengawasi sekeliling mereka, seolah siap melindunginya dari bahaya apa pun.
Amina menghela napas, lalu menyilangkan tangan di dada.
“Apa kau selalu muncul di waktu yang tepat, atau ini hanya kebetulan yang aneh?” tanyanya, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Michael menoleh perlahan, matanya berkilat dalam cahaya lampu jalan yang redup. “Aku tidak percaya kebetulan,” jawabnya singkat.
Amina mendecakkan lidah. “Tentu saja. Kau selalu punya agenda, kan?”
Michael tidak menjawab, hanya menatapnya sejenak sebelum kembali memperhatikan sekitar.
Mereka berjalan menuju markas dalam diam. Hanya suara langkah kaki mereka yang bergema di gang sempit itu. Amina merapatkan jaketnya, bukan karena dingin, tetapi karena perasaan tidak nyaman yang merayap di dadanya.
Michael menyembunyikan sesuatu.
Tapi apa?
Di sisi lain kota, Alexander berjalan mondar-mandir di ruangannya, wajahnya penuh frustrasi. Tangan kanannya mencengkeram telepon genggam, tetapi panggilan yang ia tunggu tak kunjung datang.
“Sial,” desisnya.
Pintu terbuka, dan Lorenzo masuk dengan ekspresi malasnya yang biasa. “Kau terlihat seperti bom waktu yang siap meledak. Berita buruk?”
Alexander menatapnya tajam. “Amina hampir terbunuh malam ini.”
Lorenzo berhenti bersandar di pintu. “Dia baik-baik saja?”
“Sejauh ini, ya. Tapi dia terus bergerak sendiri. Itu membuat penyelidikan semakin sulit.” Alexander mengusap wajahnya dengan kasar. “Dan Michael selalu ada di dekatnya.”
Lorenzo mengangkat alis. “Oh? Kau cemburu?”
Alexander menegang. “Jangan konyol.”
Lorenzo hanya menyeringai, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tahu lebih baik daripada menantang Alexander saat sedang dalam suasana hati seperti ini.
Hari berikutnya, misi pengintaian mereka berubah menjadi bencana.
Amina, Lorenzo, dan Felix awalnya hanya ditugaskan untuk mengamati aktivitas kelompok musuh di salah satu gudang tua di pinggiran kota. Namun, entah bagaimana, mereka justru terjebak di dalam wilayah musuh.
Amina merapatkan tubuhnya ke dinding gelap, mencoba mengatur napas. Jantungnya berdebar keras. Di luar, suara langkah kaki musuh terdengar semakin dekat.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” bisik Amina, matanya berkilat marah ke arah Lorenzo.
Lorenzo mengangkat bahu santai. “Bukan salahku kalau mereka punya lebih banyak orang dari yang kita perkirakan.”
Felix menghela napas, menempelkan punggungnya ke dinding di sebelah mereka. “Kita butuh rencana. Sekarang.”
Amina mengintip ke luar lorong sempit tempat mereka bersembunyi. Dua orang berjaga di pintu keluar.
“Kalau kita bisa mengalihkan perhatian mereka, kita bisa keluar,” gumamnya.
Lorenzo menyeringai. “Aku bisa membuat sedikit kekacauan.”
Felix menatapnya tajam. “Jangan bodoh.”
“Terlalu terlambat untuk itu.”
Lorenzo mengambil batu kecil dari lantai dan melemparkannya ke arah lain lorong. Batu itu memantul di atas tong besi, menghasilkan suara keras yang membuat para penjaga menoleh.
Saat itulah mereka bergerak.
Amina melesat cepat, menghantam salah satu penjaga dengan siku tepat di rahang. Pria itu terhuyung, tetapi sebelum bisa berteriak, Felix sudah menjatuhkannya dengan pukulan ke tengkuk.
Lorenzo menangani penjaga lainnya dengan mudah, menjatuhkannya dengan tendangan ke lutut.
“Keren,” gumam Amina, mengusap tangannya.
Lorenzo berkedip. “Terima kasih.”
Mereka bergegas keluar, tetapi baru beberapa langkah, suara tembakan menggema. Amina menahan napas. Mereka ketahuan.
“Lari!” serunya.
Mereka melesat di antara kontainer-kontainer besi yang berkarat. Peluru berdesingan di sekitar mereka, memantul dari logam dengan bunyi tajam.
Felix tiba-tiba menarik Amina ke belakang salah satu kontainer, membuatnya jatuh terduduk.
“Hati-hati,” katanya dengan suara rendah.
Amina menatapnya, sedikit terkejut dengan ekspresi Felix yang berbeda dari biasanya. Biasanya, pria itu tenang dan nyaris tak berekspresi, tetapi kali ini ada sesuatu di matanya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Amina.
Felix mengangguk pelan, lalu menunduk, seolah ragu ingin mengatakan sesuatu.
Amina menunggu, tetapi yang keluar dari mulut Felix justru mengejutkannya.
“Kau mengingatkanku pada seseorang,” bisiknya.
Amina menatapnya dengan alis terangkat. “Seseorang?”
Felix menelan ludah, matanya menatap jauh ke depan. “Dulu, aku pernah kehilangan seseorang. Dan… kau mengingatkanku padanya.”
Amina diam. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Felix yang rapuh.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.