"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 33
Maka Ariella kembali ke dalam, ia bergegas ke toilet dan pelayan itu menunggu di luar. Tak lama kemudian Ariella menjerit pelan.
Si pelayan masuk. Tampak khawatir.
"Ada apa, Nona?"
Ariella menunjuk ke sudut toilet.
"Di sana, tadi aku melihat lipas! Tolong usir dia, aku sangat membencinya!"
Si pelayan dengan polos membungkuk dan mencoba mencari binatang menggelikan itu, tetapi kelengahan yang hanya beberapa detik itu justru dimanfaatkan Ariella. Gadis itu mengunci si pelayan di toilet, dan dengan cepat dia keluar dari pintu kamar.
Ia lantas melangkah dengan terburu-buru.
Lorong itu terasa seperti labirin.
Ketika ia mendengar suara langkah kaki pelayan, dan setiap kali itu terjadi, ia bersembunyi di balik pilar atau memasuki ruangan kosong.
Jantungnya berdebar kencang, tetapi gadis itu tahu ia tidak boleh berhenti.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Ariella akhirnya menemukan tangga yang mengarah ke lantai bawah. Ia berjalan dengan cepat namun hati-hati, berharap segera menemukan pintu keluar.
Namun, ketika ia sampai di ujung tangga, langkahnya terhenti.
Carlton berdiri di sana, bersandar santai di salah satu sudut ruangan. Mata dinginnya langsung terkunci pada Ariella.
"Are you done, Ariella? Atau kau masih ingin bermain petak umpet itu denganku?" tanyanya, nada suaranya ringan, tetapi ada ancaman tersembunyi di baliknya.
Ariella mundur selangkah, tetapi Carlton melangkah mendekat, menghalangi jalan keluarnya.
"Aku menghargai usahamu. Kau cukup cerdik, meskipun sedikit ceroboh," katanya, dengan senyum kecil yang membuat Ariella merasa seperti sedang dihakimi.
"Aku tidak mau terjebak di sini, Carlton," kata Ariella akhirnya, suaranya gemetar tetapi tegas. Kau tidak bisa memaksaku untuk tinggal."
Carlton mendekat, matanya menyipit.
"Apa aku kelihatan peduli?"
"Kau tidak bisa melakukan ini padaku!"
"Ada yang harus kita bahas."
"Maksudmu soal kontrak pernikahan itu?"
Ariella mendesis, tangannya mengepal.
"Aku bukan milikmu. Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti properti, dan aku tidak mau. Aku tidak mau menandatangani kontrak apa pun. Itu tidak masuk akal!"
Carlton mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Ariella. Meskipun saat itu Ariella berada di anak tangga, sementara Carlton berdiri beberapa undakan di bawahnya, mereka bersejajar.
"Aku menyelamatkan nyawamu, Ariella."
Ariella merasakan amarah membakar dadanya.
"Oh, ya? Dan apa kau pikir dengan hal itu bisa membuatku menjadi milikmu?"
Carlton menyeringai.
"Tentu saja. Kau sudah terlibat terlalu jauh dan aku tidak akan memberikan pilihan lain."
Ariella tidak punya pilihan selain menurut.
Carlton membawanya ke ruang makan besar, di mana meja panjang sudah disiapkan dengan menu sarapan tersaji di atasnya.
Aroma roti panggang dan kopi memenuhi udara, tetapi Ariella sama sekali tidak lapar. Ia duduk dengan enggan di ujung meja, sementara Carlton duduk di seberangnya.
Seorang pelayan mendekat, menyajikan kopi
untuk Carlton. Sementara teh untuk Ariella.
Carlton meraih cangkir kopi itu dengan tenang, menyesapnya seolah tidak bersalah.
Setelah beberapa saat, ia meletakkan cangkir itu dan menatap Ariella.
"Kau tahu, aku bisa saja membiarkan mereka membunuhmu semalam," katanya dengan nada datar.
Ariella mengerutkan kening.
"Aku tidak memintamu menyelamatkanku."
"Apa kau lupa ingatan? Kau yang meminta tolong agar aku membawamu dari para penagih hutang itu."
Carlton meraih sarapannya.
"Membiarkan mereka mendapatkanmu akan melukai egoku."
"Jadi kau menyelamatkanku hanya untuk memberi makan egomu yang luar biasa itu?"
Sindiran Ariella tidak lantas membuat Carlton marah.
Sungguh kau benar-benar tidak sopan, Ariella.
Bagaimana mungkin kau bisa berbicara seperti itu seolah kau adalah orang yang setara dengan Carlton, seolah kau lupa bahwa pria itu telah menyelamatkanmu dari maut sebanyak tiga kali, pikir Ariella.
Apakah ia termasuk gadis yang tidak tahu diri?
Karena meskipun sudah ditolong dan diberi fasilitas, ia tetap tidak mau berterima kasih.
Bagaimana tidak, Carlton pernah akan memerkosanya!
Dia tidak lebih baik dari orang-orang itu, dan kini pria itu menuntut balasan.
"Selain karena ego, kau jelas melakukannya untuk membuatku merasa memiliki hutang budi denganmu, kan?"
Carlton memasukkan sarapannya berupa bacon dan telur orak-arik ke mulutnya. Pria itu melirik Ariella sebentar sementara ia mengunyah.
"Kau tahu tidak ada yang gratis di dunia ini, Ariella."
Wajah Ariella memerah.
"Sudah kuduga, kau ingin menjebak dan memanfaatkanku!"
Ariella menggeleng, tidak percaya.
Piring Carlton sudah kosong, sementara sarapan Ariella bahkan tidak disentuh. Carlton mengisi kembali piringnya dengan bacon dan telur lagi.
"Kenapa aku?"
Carlton memasukkan daging ke mulutnya, " Karena kau keras kepala."
"Kau menginginkan aku hanya karena aku keras kepala?"
"Aku butuh hiburan, aku suka membuat orang menderita."
"K-kau benar-benar psikopat!"
Ariella berdiri dengan seketika, membuat Carlton yang sedang mengunyah berhenti melakukannya. Tubuh pria itu, yang tadinya santai. Kini menjadi tegang, dan ekspresi di wajahnya dingin serta mengancam.
"Duduk," perintahnya penuh penekanan.
Ariella tetap berdiri, ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Carlton mengangguk ke piring Ariella.
"Duduk dan makan sarapanmu, aku belum
selesai bicara." Kali ini, dengan nada yang lebih tegas lagi, sampai-sampai Ariella merasa sangat terancam ketika mendengarnya.
Akhirnya gadis itu duduk lagi, ia meraih sendok dan garpunya, mulai memakan sarapan yang tersaji di piring. Carlton sudah menghabiskan sarapan di piring keduanya dan pria itu mulai berkata setelah menyesap kopinya lagi, "Aku ingin anak laki-laki, Ariella."
Mendengar itu, Ariella kesulitan menelan baconnya.
"Kakekku ingin seorang pewaris, tetapi aku malas melibatkan diri dengan keluarga dari calon istriku, meskipun aku tetap akan menikahi salah satu gadis dari empat pilihan. Aku tetap harus berjaga-jaga, karena aku tidak percaya keluarga orang lain. Jadi aku mencari alternatif lain. Kupikir kau gadis yang cocok."
"Kenapa kau pikir aku gadis yang cocok?"
"Karena kau terlilit hutang. Sendirian, tidak berdaya dan bodoh," kata Carlton.
Kini pria itu duduk bersandar di kursi, sementara tangannya tetap berada di atas meja dengan matanya mengawasi Ariella.
"Aku akan melunasi seluruh hutang-hutangmu, tetapi sebagai gantinya. Kau akan melahirkan anak laki-laki untukku."
"Kau ingin aku menjual anakku padamu?"
"Kalau anak itu hadir, itu juga anakku. Anak itu akan kurawat dengan baik, dia akan makan makanan enak setiap hari, mendapatkan pendidikan yang bagus. Hidupnya akan terjamin. Anggap saja ini hubungan simbiosis mutualisme."
"Aku tidak percaya kau berpikir aku akan memberikan anakku begitu saja padamu!"
"Uang yang berbicara, bukan?"
Saat mendengar itu, Ariella mendengkus dan memalingkan wajah.
"Kau benar-benar keji."
"Kurasa ini penawaran yang bagus. Kau akan terbebas dan juga akan memiliki banyak keuntungan."
Carlton mengangkat alis.
"Kau tidak hanya terbebas dari orang-orang yang mengejarmu, tetapi dari semua kekacauan yang kau buat sendiri. Hutangmu, pelarianmu semua itu sudah tidak jadi persoalan lagi. Kau aman sekarang, tapi hanya jika kau tetap di bawah perlindunganku. Berlindung berarti kau setuju dengan kontraknya."
"Perlindungan? Kau menyebut ini perlindungan? Ini penjara!"