🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Istri Kedua?
Hafsa menyelimuti Umi Zahra yang tertidur lelap. Setelahnya, ia mulai membereskan beberapa barang yang berserakan di dalam ruangan. Sejak kemarin, banyak sekali orang yang datang menjenguk mertuanya. Sebagai istri seorang pemuka agama, Umi Zahra memang cukup dikenali banyak orang.
Hafsa mulai membersihkan sofa yang berada di sana, menyiapkan selimut untuk tidur. Setelah dirasa beres, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Roha. Dirasa tidak ada gadis itu di sekitarnya, Hafsa berjalan keluar. Ia bermaksud mengajak Roha tidur bersama karena waktu sudah malam.
"Aku janji akan segera menghalalkan kamu, aku akan membawa kamu pergi dari pondok ini,"
Suara seorang laki-laki membuat Hafsa mau tidak mau menghentikan langkahnya. Tampak Roha sedang berbicara dengan seorang santri laki-laki.
"Aku nggak mau pergi, aku mau menjaga Umi. Kalau kamu mau menikah denganku, kamu harus tinggal bersamaku di sini," Suara lembut Roha menjawab tegas.
"Oke, aku akan usahakan. Asalkan kamu bisa segera melupakan Gus Sahil, aku tidak masalah,"
"Aku sudah bilang, aku akan melupakannya,"
"Sebaiknya begitu. Karena nanti setelah Umi Zahra keluar dari rumah sakit, aku akan segera minta restu ke keluarga ndalem untuk melamarmu,"
Laki-laki itu kemudian pergi. Hafsa sekilas dapat melihat wajahnya. Rupanya Kang Alwi, lurah putra ponpes Darul Quran.
Hafsa tidak segera muncul menghampiri Roha, ia takut Roha akan merasa canggung. Tapi memang dasar kakinya tidak bisa diajak kompromi, tiba-tiba saja kaki Hafsa tidak sengaja menendang kotak sampah di sampingnya.
"Allahu Akbar!" Hafsa kaget sendiri. Isi kotak sampah berserakan di mana-mana. Ia buru-buru memungut sampah-sampah yang didominasi botol-botol air mineral dan plastik makanan ringan.
"Saya bantu Ning," Roha turut berjongkok, memungut sampah bersama Hafsa.
"Aku minta maaf mbak," Ujar Hafsa setelah kotak sampah itu dikembalikan ke tempat semula. "Aku tidak bermaksud menguping pembicaraan sampeyan,"
"Tidak apa-apa Ning," Roha menggelengkan kepalanya. "Tapi, njenengan sudah dengar pembicaraan kami sejak kapan?"
"Oh, sejak Kang Alwi janji mau menikahi sampeyan,"
Sejenak, Roha terdiam. Hafsa juga ikut terdiam. Suasana di antara dua wanita muda itu terlihat canggung satu sama lain.
"Mohon maaf karena njenengan harus mendengar hal yang tidak enak didengar Ning," Ucap Roha beberapa saat kemudian.
"Maksud.. Sampeyan?"
"Soal.. Soal saya yang belum melupakan Gus Sahil," Roha menjawab sembari tertunduk.
Hafsa tidak menjawab. Dia tidak menyangka akhirnya akan membahas perihal ini dengan Roha.
"Saya mengerti kok mbak, semua orang berhak punya masa lalu,"
"Tapi saya sudah tidak pernah berhubungan lagi dengan Gus Sahil Ning,"
"Aku tahu, aku tahu."
"Saya juga akan segera melupakan beliau Ning,"
"Iya mbak, saya mengerti."
Canggung lagi. Keheningan dengan cepat berputar mengelilingi mereka berdua.
"Jadi, sebentar lagi sampeyan bakal dilamar sama Kang Alwi?" Hafsa berusaha mengalihkan topik.
"Rencananya begitu Ning,"
"Alhamdulillah, semoga lancar ya mbak,"
Hafsa mengucapkan syukur benar-benar dari sudut hatinya yang terdalam. Bukan hanya karena sebentar lagi suaminya bisa terlepas dari bayang-bayang Roha, Hafsa juga berharap gadis itu bisa segera menemukan kebahagiaannya sendiri.
Beberapa saat kemudian, Hafsa dan Roha duduk-duduk di kursi tunggu depan kamar pasien. Selain mereka berdua, memang masih ada tiga orang santri putra yang ikut menjaga di rumah sakit, termasuk Kang Alwi tentunya. Tapi mereka memilih menunggu di lobby sembari mengobrol di sana.
"Rumah sampeyan dimana mbak?" Tanya Hafsa basa-basi. Sejujurnya, dia memang penasaran dengan asal usul Roha.
"Lumayan jauh Ning, beda kabupaten dari sini,"
"Oh ya? Terus orang tua sampeyan di sana juga?"
"Tinggal nenek, paman dan bibi saja yang tinggal di sana Ning. Kalau bapak saya sudah pergi ke kalimantan bersama istrinya. Kalau ibu, sudah lama meninggal," Hafsa bisa mendengar nada suara Roha terdengar lirih dibagian akhir.
"Oh, maaf," Sesal Hafsa. Dia benar-benar tidak tahu kisah pilu tentang keluarga gadis itu.
"Tidak apa-apa Ning, saya sudah biasa. Dulu saya dimasukkan pondok ya karena bapak mau nikah lagi. Bapak sudah nggak mau mengurus saya, nggak mampu katanya. Kalau mau ikut nenek, beliau sudah sangat tua, kasihan kalau ketambahan beban satu lagi. Terus ketika saya masuk pondok, Umi Zahra yang minta saya untuk ngabdi di ndalem. Makanya sekarang saya sudah menganggap Umi Zahra seperti ibu saya sendiri,"
Hafsa mengangguk mengerti. Wajar saja jika hubungan Roha dan Umi Zahra terlihat cukup erat. Bahkan kalau saja orang-orang tidak memperhatikan kemiripan wajah mereka berdua, mungkin sudah dikira ibu dan anak kandung.
"Dulu, waktu Umi sering bolak-balik ke rumah sakit, sampeyan juga yang mendampingi mbak?" Kali ini pertanyaan Hafsa penuh selidik, seolah memastikan apa yang dikatakan orang-orang benar adanya.
"Iya Ning, saya ikut mendampingi beliau kemana-mana. Saya mau minta maaf soal kemarin ya Ning, karena terlalu egois minta menemani Umi Zahra di sini,"
"Nggak apa-apa kok mbak," Hafsa menggelengkan kepala, tanda tidak masalah. Ternyata Umi Zahra sangat berharga bagi Roha. Mungkin jika dia Roha, dia akan melakukan hal yang sama.
Setelah waktu menunjukkan pukul dua belas malam, Hafsa dan Roha masuk ke dalam kamar untuk tidur. Setelah berdebat panjang, Hafsa akhirnya tidur di atas Sofa dan Roha di atas lantai dengan beralaskan karpet. Hafsa sudah memaksa Roha untuk tidur bersamanya di atas sofa, tapi Roha merasa dirinya tidak pantas dan menolak.
Sembari berusaha memejamkan matanya untuk tidur, Hafsa kembali dibuat berpikir. Kira-kira apa reaksi Gus Sahil nanti setelah tahu Roha akan menikah?
...----------------...
Gus Sahil tampak gelisah sendirian di dalam kamarnya. Ia terlihat mondar-mandir di sekitar ruangan dengan raut kebingungan.
Perlahan, Gus Sahil membuka lemari pakaiannya. Ia kemudian membuka laci yang tersembunyi di dalam lemari, mengambil sepucuk kertas yang terlipat rapi.
Berkali-kali, Gus Sahil membaca surat-surat dari Roha dulu. Surat-surat yang membuatnya kuat menjalani hidup setelah sang ibunda divonis menderita penyakit jantung.
Gus Sahil sadar, ia sudah menikah. Istrinya juga bukan wanita sembarangan. Hafsa orang yang baik, terlalu baik malah. Tapi Gus Sahil tidak bisa melepaskan kenangannya bersama Roha begitu saja.
Gus Sahil merebahkan badannya di atas kasur. Ia teringat perkataan Roha kemarin, bahwa gadis itu akan menikah dengan Kang Alwi.
Gus Sahil jelas mengenal siapa Kang Alwi. Lurah putra pondok pesantren Darul Quran dengan kecerdasan di atas rata-rata, mengkhatamkan hafalan Al-Qur'an dalam waktu empat bulan. Santri unggulan yang sering diutus untuk mengikuti lomba nasional, dan sering pula meraih medali emas. Jelas tidak mungkin bagi Gus Sahil untuk melarang pernikahan mereka berdua.
Suara dering telepon membuyarkan lamunan Gus Sahil. Temannya yang juga seorang Gus dari pesantren lain menelepon. Ia pun segera mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum Gus Ilham!" Gus Sahil menyapa dengan suara yang dibuat ceria.
"Wa'alaikumsalam! Apa kabar Gus Sahil?" Suara Gus Ilham terdengar semangat di seberang sana. "Aku sudah menunggu kamu untuk datang ke pernikahan keduaku kemarin, kenapa nggak datang?"
"Maaf Gus, maaf sekali," Suara Gus Sahil terdengar menyesal. "Umi sedang dirawat di rumah sakit. Aku sibuk bolak-balik ke sana menemani Umi,"
"Iya, aku juga sebenarnya sudah dengar dari istriku. Bagaimana sekarang, sudah mulai sehat apa belum?"
"Alhamdulillah sudah Gus, cuma harus dirawat dulu beberapa hari di rumah sakit,"
"Alhamdulillah kalau begitu. Nanti minta tolong sampaikan salamku sama Umi Zahra ya? sekarang aku sedang pergi, jadi tidak bisa menjenguk,"
"InsyaAllah Gus, nanti tak sampaikan. Memangnya sekarang njenengan ada dimana to? Kok kedengerannya ramai sekali?"
Gus Ilham terkekeh. "Biasa, istri muda ribut minta honeymoon. Sekarang sedang liburan di Bali,"
Gus Sahil tertawa. Gus Ilham memang baru menikah dengan istri keduanya, karena istri pertama tidak bisa memberikan keturunan.
Setelah mengakhiri telepon, Gus Sahil buru-buru bangkit dari tempat tidurnya. Ia jadi kepikiran sesuatu. Istri kedua? Mungkinkah itu?