Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Gangguan Emosional (Trauma)
Memotong lidah.....
Merontokkan gigi....
Adalah dua kalimat mengerikan yang terus membayangi pikiran Ajela.
Sayatan benda tajam pada lidah hingga terputus, dan juga deretan gigi yang dicabut secara paksa membuatnya meringis sendiri. Ia mulai menaruh curiga jangan-jangan Tuan Alvian Setyo Darmawan ini adalah seorang mafia berbahaya.
Dan apa tadi? KUA? Apa maksudnya? Apakah yang dimaksud adalah Kantor Urusan Agama atau Kantor Urusan Ajal?
Ajela bahkan tak memiliki nyali untuk bertanya. Kelopak matanya mengatup sembari menghela napas panjang. Entah ke mana takdir akan membawanya, yang pasti saat ini ia dalam keadaan ketakutan.
Tangannya meremas ujung pakaian, kepalanya menunduk.Sejak mobil melaju meninggalkan kontrakan lima menit lalu, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. Hanya ujung matanya yang sesekali melirik ke samping. Alvian duduk sambil memangku anaknya, mendekap bayi mungil itu di dadanya.
Kalau dilihat dari caranya memperlakukan Baby Boy, sepertinya dia laki-laki baik dan figur seorang papa yang penyayang. Lihatlah, betapa bayi kecil itu nyaman dalam pelukannya. Tetapi, jika sudah berhadapan dengan orang yang membuat masalah dengannya, mengapa ia jadi semengerikan itu sampai mau potong lidah dan merontokkan gigi segala? Ajela kembali meringis memikirkan itu.
"Kenapa?"
Ajela terlonjak saat tiba-tiba Alvian bersuara. Manik hitam legam lelaki itu, entah mengapa terasa sangat menakutkan baginya. Seolah mampu melahap tubuhnya tanpa sisa.
"Ti-tidak. Saya tidak apa-apa."
"Tapi dari tadi kamu diam-diam terus menatapku. Ada apa? Katakan!"
Ajela tergugu. Dari mana lelaki ini tahu bahwa sejak tadi Ajela mencuri pandang ke arahnya? Apa dia punya indera ke enam?
"Ayo bicara!"
Ajela menunduk, menggigit bibir bawahnya. "Tu-Tuan, apa boleh saya tanya sesuatu?" tanya Ajela tanpa berani menoleh.
"Hemm ...."
Iya kan? Tidak hanya sorot matanya yang menakutkan, tetapi sikap dingin dan irit bicara itu juga sanggup membuat Ajela merinding. Sejak mengenal Alvian, belum pernah satu kali pun Ajela melihatnya tersenyum.Wajahnya selalu kaku dan datar.Persis kanebo kering.
"Apa Anda benar-benar akan memotong lidah orang bernama Bima itu?" Suara Ajela terdengar gemetar ketika menanyakan hal itu. Galih yang duduk di samping sopir langsung melirik ke belakang melalui kaca spion.
"Benar. Siapapun yang berani bicara sembarangan tentangku akan kehilangan lidahnya.
Memangnya kenapa?" Alvin membalikkan pertanyaan.
Ajela menelan saliva. Tangannya terulur menyentuh lutut, tiba-tiba saja ia tak dapat merasakan kakinya sendiri. Jika Bima yang berani bicara sembarangan akan dipotong lidahnya, lalu apakah kaki Ajela akan dipotong jika berani melarikan diri?
"Kalau ada seseorang yang berani melarikan diri dari Anda, apa Anda juga akan memotong kakinya?"
Tawa kecil menyembur dari mulut Galih mendengar pertanyaan aneh itu. Ia pasti sudah meledakkan tawa jika tidak khawatir bayi dalam pangkuan Alvian akan terbangun. Sedangkan Alvian masih memasang wajah datar. Terdiam sebentar sambil mengusap punggung putranya. Tentunya, ia sangat paham ke mana arah pembicaraan Ajela.
"Jangankan kaki, nyawanya pun akan kupotong sampai habis."
Mendengar jawaban itu, Ajela langsung menggeser tubuhnya ke ujung agar memberinya jarak dari lelaki menyeramkan itu. Ingin rasanya berteriak pada seluruh makhluk Bumi untuk menolongnya dari monster berkedok manusia ini.Dan setelah melihat bias ketakutan di wajah Ajela, Alvian membuang pandangan keluar jendela. Menyembunyikan senyum tipis di bibirnya. Kali ini tidak akan ia beri celah sedikit pun bagi Ajela untuk melarikan diri darinya.
"Memangnya siapa yang mau melarikan diri dariku?"
"Tidak ada, Tuan!" jawab Ajela cepat. Kemudian mengambil jurus diam seribu bahasa demi memutus pembicaraan tentang potong memotong.
"Oh ya, kita ke mana sekarang?" tanya Galih, menengok ke belakang.
"Ke apartemen saja. Untuk saat ini apartemen adalah tempat yang paling aman untuk Ajela."
Alvian tidak mungkin membawanya pulang ke rumah keluarga Darmawan. Ia khawatir mama akan menyakiti atau mengusir Ajela lagi. Meskipun sudah berulang-ulang mama memohon maaf atas perbuatannya dan berjanji akan menerima Ajela dan anaknya.
"Langsung saja atau mau mampir ke tempat lain dulu?"
tanya Galih lagi.
"Langsung saja!"
"Oke."
Keheningan melanda selama beberapa saat, hingga tangisan Baby Boy kembali terdengar. Ia tampak membuka mata dan mulut sambil menggesekkan wajahnya pada permukaan dada Alvian, seperti sedang mencari sesuatu.
"Sepertinya dia lapar." Ajela mengulurkan tangan untuk meraih putranya. Alvian lalu melepas pelukan dari tubuh mungil itu, kemudian ia pindahkan ke pangkuan Ajela.
Tangisan Baby Boy yang mulai melengking menandai bahwa ia sudah tidak sabar lagi. Jemari kecilnya bahkan sudah masuk ke mulut.
"Sabar ya, Sayang." Ajela membenarkan posisi duduknya agar menyamping, sehingga sekarang duduk membelakangi Alvian. Posisi yang tampak tidak begitu nyaman baginya. Ia membuka kancing kemeja di bagian dada. Membuat sudut mata Alvian berkerut sembari melirik Galih dan sopirnya. Dua lelaki yang duduk di depan terkadang menengok ke belakang demi memastikan semuanya baik-baik saja. Bukankah ini berbahaya?
"Sebentar-sebentar!" sambar Alvian, melepas jas mahal yang dipakainya, lalu gunakan untuk menutupi bagian depan tubuh Ajela. "Hey, kalian! Jangan menengok ke belakang kalau tidak diminta!"
"Ba-baik, Tuan," ucap sang sopir tanpa berani lagi melirik kaca spion. Sementara Galih menyandarkan punggung sambil memainkan ponselnya.
"Posesif sekali bapak satu ini,"gerutu Galih dalam hati.
**
**
Butuh satu jam untuk tiba di gedung pencakar langit itu. Mobil berhenti di basement. Ketika hendak membuka pintu mobil, Alvian melirik Ajela yang sudah terpejam dengan menyandarkan Boy di dadanya.
Napas Alvian terasa sesak melihat wajah letih Ajela. Tak terbayangkan bagaimana ibu dari anaknya itu menjalani satu bulan merawat bayi seorang diri. Pasti sangat berat baginya.
Tak tega membangunkan, Alvian memilih turun lebih dulu.
Berniat menggendong Ajela ke kamar. Namun, baru menyelipkan tangan di bawah lutut dan punggung, wanita itu tiba-tiba membuka mata.
"Anda mau apa, Tuan?" tanya Ajela terkejut.
"Kakimu masih sakit, kan? Biar aku yang gendong ke atas."
"Tidak usah. Saya bisa jalan sendiri!"
"Jangan keras kepala, kalau kakimu tambah parah dokter bisa saja memotongnya!" ucap lelaki itu, membuat Ajela merinding.
"Pegang Boy baik-baik."
Ajela tak lagi menolak. Ia merapatkan kedua tangan memeluk putranya. Alvian membopongnya menuju sebuah lift khusus yang akan membawa mereka menuju lantai teratas. Sementara Galih dan sopir tetap mengikuti di belakang.
Sepanjang lift bergerak ke atas, Ajela terdiam. Berada dalam posisi sedekat ini dengan Alvian membuat jantungnya seperti akan melompat keluar. Saking dekatnya, ia dapat merasakan hangatnya embusan napas lelaki itu. Aroma parfum maskulin yang menguar dari tubuhnya benar-benar memanjakan indera penciuman. Tanpa sadar Ajela menyesap, lagi dan lagi. Seolah aroma tubuh Alvian adalah candu baginya.
"Hubungi seorang dokter wanita dan minta datang untuk memeriksa Ajela!" perintah Alvian pada Galih.
"Malam ini?"
"Tentu saja!" dengus Alvian kesal.
"Tapi mana ada dokter yang mau datang mendadak di malam seperti ini?"
Bersambung ~