Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Pergunjingan
Utomo sedang termangu-mangu bersandar di tiang teras mess karyawan perusahaannya sembari memeluk sebuah gitar.
Meski suaranya tak bisa dibilang lumayan, tapi Utomo telah menyanyikan hampir setengah lusin lagu galau tanpa ada seorang pun yang memprotesnya.
Malam itu, dengan mengenakan sebuah kaos hadiah deterjen dan sebuah sarung yang terjulur hingga mata kaki, Utomo kembali melamun.
"Win.... win... Salahku apa sama kamu? Kok bisa-bisanya sampai di Jakarta kamu malah berubah, aku ingin jadi suamimu Winarsih..." gumam Utomo.
"Loh? Udah putus sama Winarsih toh?" tiba-tiba suara Jaka muncul dari dalam rumah. Utomo nyaris terjengkang dari bangku yang didudukinya karena terkejut.
"Kamu ngagetin aja," pungkas Utomo.
"Eh serius, aku nanya. Kamu emang bener udah nggak sama Winarsih lagi? Lah kok bisa?" Jaka yang penasaran duduk di tembok pembatas rumah yang tingginya sepaha orang dewasa.
"Iya, udah nggak sama Winarsih lagi. Aku tiba-tiba diputusin. Nggak tau kenapa. Winarsih cuma bilang aku layak dapat yang lebih baik lagi dari dia," jawab Utomo lesu.
"Diputusin karena kamu terlalu baik begitu? Jadi dia maunya gimana? Pacaran sama kriminal? Lah perempuan sekarang kok ya aneh-aneh aja maunya," sungut Jaka yang turut kesal mendengar penuturan sahabatnya.
"Yah nggak tau juga maksudnya gimana? Tapi emang Winarsih sekarang udah banyak berubah. Udah kurang ceriwisnya. Kalau aku telfon jawabnya cuma seadanya dan pendek-pendek mirip operator provider," terang Utomo.
"Jadi maumu piye Ut? Di dunia ini kan bukan cuma Winarsih aja perempuan. Apalagi kamu itu sekarang kuliah. Bakal sarjana. Bakal bisa jadi pegawai tetap. Naik jabatan. Perempuan lebih cantik dan lebih semlohay dari dia kamu pasti bisa dapet," Jaka mengomeli teman dekatnya yang masih memasang wajah merana.
"Tapi aku maunya sama Winarsih," ratap Utomo.
"Tapi Winarsih-nya udah nggak mau sama kamu," balas Jaka.
"Aku cinta dia Jak,"
"Atau cuma penasaran? Ya terserah kamu ajalah. Sak karepmu. Eh tapi apa Winarsih ada kepincut laki-laki lain? Sesama pegawai di rumah Pak Hartono mungkin? Pegawainya kan banyak. Atau sama anaknya Pak Hartono? Yang pengacara terkenal itu. Gantengnya kan sudah terkenal selalu bikin perempuan-perempuan pada nyebut,"
Perkataan Jaka bukannya menghibur Utomo tapi malah membuat pria itu semakin tampak menderita.
"Ah nggak mungkin, nggak ada pegawai yang setampan aku di sana!" sergah Utomo percaya diri.
"Kalau gitu, anak majikannya!" seru Jaka yakin.
"Ah kalau itu juga nggak mungkin. Mustahil kalau orang kaya dan ganteng kayak yang kamu bilang tadi, tapi doyannya sama Winarsih," jawab Utomo tegas.
"Lah, Winarsih juga cantik lho! Badannya bagus, meski orang desa tapi kulitnya putih mulus," ucap Jaka menerawang.
"Kok aku jadinya ngerasa kamu juga merhatiin pacarku selama ini," tuduh Utomo.
"Itu hasil pengamatan dan penelitian aku aja Ut, nggak usah sensi kayak masker!" sembur Jaka pada Utomo seraya berdiri.
"Yowes, aku mau tidur. Kamu di sini aja galau terus," Jaka pergi masuk ke dalam rumah meninggalkan Utomo.
"Besok malam aku datengin Winarsih lagi!" teriak Utomo pada Jaka yang telah menghilang di balik pintu.
"Yo sak karepmu. Wong aku bukan bapaknya!" teriak Jaka yang ternyata masih mendengar perkataan Utomo barusan.
*******
"Win, kamu bisa baca-tulis, 'kan?" tanya Pak Hartono pada Winarsih yang berdiri di sebelahnya.
"Bisa Pak."
"Fika asisten saya, sedang pergi ngambil berkas di kantor kementerian. Irman juga sedang pergi mengecek sesuatu. Selain mereka, saya nggak bisa percaya siapa-siapa di luar anggota keluarga saya. Jadi saya harap saya bisa mempercayai kamu," ujar Pak Hartono pada Winarsih yang berdiri tegak di sebelahnya dengan kedua tangannya berada di depan.
"Baik Pak, mudah-mudahan saya bisa melakukannya seperti yang Bapak harapkan," jawab Winarsih.
Mendengar jawaban pembantunya, Pak Hartono mengangguk-angguk senang.
"Ini ada beberapa tumpuk berkas perusahaan. Isinya transaksi jual beli perusahaan lima tahun terakhir. Sekarang saya tulis beberapa nama perusahaan yang saya minta kamu cari dalam tumpukan itu. Satu persatu, kamu harus teliti. Lingkari dengan tinta merah kalau kamu menemukannya," perintah Pak Hartono sembari menuliskan tiga nama perusahaan beserta nama beberapa orang di secarik kertas kosong.
"Nah, ini nama perusahaannya. Ini nama orang-orangnya. Penjelasan sederhananya, kita harus menemukan sejak kapan nama perusahaan itu melakukan transaksi dengan perusahaan saya. Nah, kalau sudah ketemu nama perusahaannya, siapa nama oknum yang bertransaksi saat itu, kamu lingkari. Kamu mengerti Win? Panduan kamu kertas itu saja. Biar kamu lebih paham," jelas Pak Hartono panjang lebar.
"Baik Pak. Saya mengerti," tukas Winarsih.
"Ya sudah, kamu duduk di meja kerja sudut sana, karena itu memang banyak, kalau capek kamu bisa berhenti dan istirahat."
"Iya Pak," jawab Winarsih tanda mengerti.
Kemudian wanita itu pergi membawa sepelukan berkas ke meja kerja yang berada di pojok ruangan.
Winarsih mengerjakan perintah Pak Hartono dengan tekun mulai dari selesai jam makan siang. Menjelang sore, wanita itu pamit pergi ke kamarnya untuk beristirahat.
Winarsih yang belum memastikan soal kehamilannya, sudah mulai merasa mudah cepat lelah belakangan ini.
Pinggangnya akan terasa sakit jika dia terlalu lama berdiri atau duduk. Perlahan pun pakaiannya sudah mulai sempit.
Bahkan rok yang sering digunakannya, harus diturunkannya hingga ke batas pinggul agar tak terlalu menekan perutnya yang terasa menyesakkan.
Sedangkan siang hari, matanya terasa sangat mengantuk. Padahal Winarsih bukan termasuk tipe orang yang pernah menggunakan waktunya di siang hari untuk tidur.
Saat mengerjakan tugas yang diberikan Pak Hartono tadi, berkali-kali kepalanya terhuyung ke depan. Dia nyaris jatuh tertidur diatas kertas yang sedang diperiksanya.
Jadi ketika sore hari dirinya bisa pamit kepada Pak Hartono, Winarsih langsung menghempaskan dirinya di atas ranjang. Dalam hitungan menit dia sudah jatuh tertidur.
*******
Hari itu Dean tiba lebih awal di rumah. Sejak dalam perjalanan, dia tak sabar untuk segera menemui Pak Hartono di ruang kerjanya.
Tentu saja tak sabar itu bukan tanpa alasan. meski menemui Pak Hartono nanti dia harus membawa berbagai berkas yang diminta papanya itu, harapannya untuk bisa bertemu Winarsih di ruang kerja sangat besar.
Dean mulai membayangkan dirinya dan Winarsih memiliki romantisme seperti layaknya atasan dan sekretaris yang berada di ruangan.
Adegan-adegan seperti saling bersentuhan saat sedang sibuk bekerja melintas di kepalanya berkali-kali. Dean tersenyum-senyum genit karena pikirannya itu.
Dean meninggalkan mobilnya terparkir di depan lobby teras dan masuk terburu-buru langsung menuju ruang kerja Pak Hartono.
Namun ketika tiba di ruang kerja itu, Dean hanya menemukan papanya bersama Fika sang asisten.
Tak sadar Dean spontan bertanya, "Winarsihnya mana Pa?"
Pak Hartono dan Fika yang sedang menunduk melihat kertas-kertas di atas meja mendongak heran pada Dean.
"Ini ruang kerja papa De, bukan dapur. Tumben banget kamu masuk ke sini yang kamu tanya langsung Winarsih bukannya papa. Mana berkas yang papa minta taruh di sini. Kamu ke dapur sana kalau mau cari Winarsih." Pak Hartono tergelak.
Fika yang mendengar apa kata pak Hartono hanya tersenyum-senyum.
Dean berjalan mendekati meja kerja ayahnya dan menaruh dua buah map di hadapan Pak Hartono dengan wajah datar. Dia tak menyangka jawaban Papanya akan seperti itu.
"Ya udah, Dean ke kamar dulu. Gerah, mau mandi. Nanti selesai makan malam Dean ke sini lagi," ucapnya sambil meninggalkan Pak Hartono.
Papanya hanya menjawab "Hmmm" tanpa menoleh.
Meski tadi dikatakannya dia akan langsung ke kamar, tapi Dean menjadi penasaran ke mana gerangan Winarsih.
Dia tak bisa bertanya dengan lugas kepada papanya. Apakah Winarsih tadi telah berada di ruang kerja itu atau belum sama sekali.
Akhirnya Dean memutuskan turun dan menuju dapur. Kakinya terus melangkah melewati dapur bersih menuju tiga undakan yang turun ke dapur kotor.
Dia tak melihat seorangpun di dapur utama. Namun saat langkahnya berbalik hendak meninggalkan dapur itu Dean menangkap satu suara yang sedang menyebutkan nama Winarsih.
Suara itu berasal dari ruang makan pegawai yang terletak di balik dinding tanpa pintu. Di ruangan itu jugalah ada dua buah kamar tempat Mbah dan juga Tina beristirahat.
Dean mendengar suara seorang pria yang sedang bertanya, dia mengenali suara itu sebagai Pak Lutfi, salah satu satpam mereka.
"Winarsih mana Tin?" tanya Pak Lutfi Yang sepertinya ditujukan kepada Tina.
"Tidur kayaknya. Dari siang tadi di ruang kerja Pak Hartono. Kayaknya Winarsih capek banget belakangan ini," jawab Tina.
"Apa bukan karena sering keluyuran malam sama pacarnya itu?" tanya Pak Lutfi dengan suara mulut yang seperti sedang mengunyah.
Dean semakin mendekatkan langkahnya ke dinding penyekat ruang makan pegawai dan dapur utama. Sekarang Dean sedang menguping para pegawai rumahnya yang sedang bergosip. Sedikit-banyak Dean membenarkan apa yang selalu dikatakan oleh Bu Amalia.
Akan sangat berbahaya jika para pegawai di rumah itu mengetahui sedikit saja urusan pribadi yang sedang dialami oleh majikannya. Para pegawai di rumah itu selalu pergi ke luar dan bertemu dengan orang yang berbeda setiap harinya.
Setiap cerita yang mereka dengar, baik itu yang sepotong ataupun utuh, memiliki potensi besar untuk sampai ke telinga orang lain dalam bentuk versi yang mungkin saja jauh berbeda.
"Memangnya Winarsih sering keluyuran malam?" Suara Tina jelas bertanya.
"Ya 'kan pacarnya itu termasuk sering datang. Kadang cuma ngobrol di dekat pos satpam, kadang ya pergi keluar jalan kaki. Malah akhir-akhir ini Winarsih sering keluar sendirian. Aku kok ya lama-lama curiga lihat perubahan Winarsih. Tubuhnya itu loh," nyinyir Pak Lutfi yang semakin lama mirip ibu-ibu kepala arisan.
"Jangan-jangan pikiran kamu sama dengan saya. Winarsih kayaknya hamil 'kan? Hamil muda itu kayaknya. Perutnya belum gitu keliatan, tapi badannya udah ngembang. Aku yang udah beranak-pinak ini pengalaman kalo ngeliat ciri-ciri perempuan hamil," beber Tina pada Pak Lutfi.
"Iya, bener yang kamu bilang. Mungkin waktu di kampung dia nggak bebas pacaran. Gitu nyampe di kota malah kebablasan. Winarsih kan cantik, badannya itu.... Mana mungkin pacarnya tahan."
"Mata kalian laki-laki ternyata semuanya sama aja," tukas Mba Tina.
"Lagian, namanya kehamilan itu kan nggak bisa disembunyikan. Lama-lama orang juga pasti tahu. Lah dia nunggu apa? Nunggu perutnya kempes sendiri? Emang jerawat bisa kempes sendiri? Ya minta di kawinin dong sama pacarnya."
Sesaat dada Dean bergemuruh mendengar Winarsih dijadikan bahan gunjingan oleh sesama rekannya sendiri. Dean masih berdiri di balik dinding ruangan itu sambil berpikir. Dia hanya mengetahui jika setiap Winarsih ke luar sendirian akhir-akhir ini, sudah pasti sedang bersama dirinya.
Jika Winarsih memang hamil? Itu anak siapa? Kenapa Winarsih tak pernah mengatakan hal apapun kepadanya? Jika memang itu anak kekasihnya, kenapa Winarsih tak pernah menolak jika pergi bersamanya?
Moodnya tiba-tiba berubah menjadi buruk. Ada terselip rasa kesal di hatinya karena Winarsih masih menerima kedatangan pacarnya itu meski Dean sering bersamanya. Tapi menyadari dirinya yang memang bukan siapa-siapa bagi Winarsih, Dean semakin kesal.
"Ehem!!!" Dean berdehem keras.
Suara kursi dan meja yang tergeser dan beradu terdengar dari ruang makan pegawai.
Dengan kedua tangannya berada di saku dan pakaiannya yang masih lengkap dengan sebuah jas dan dasi yang masih terpasang rapi, Dean melangkahkan kakinya ke ruang makan pegawai.
"Lagi pada ngapain?" tanya Dean dengan wajah datar yang sudah menjadi trademark-nya.
"Baru selesai makan Pak, ngobrol-ngobrol sedikit" jawab Pak Lutfi bangkit dari duduknya dan membenarkan letak kursi.
Tina tampak menumpuk-numpuk piring kotor bekas lauk.
"Siapa satpam di depan?" tanya Dean lagi.
"Ada Rojak kok Pak yang jaga," jawab Pak Lutfi yang merasa tak bersalah karena tak meninggalkan pos satpam itu kosong.
"Ooo, kalo gitu kamu cuci dua mobil saya di parkiran belakang. Mumpung pos depan ada Rojak yang jaga," perintah Dean.
"Baik Pak...." Pak Lutfi langsung berbalik mencari pintu keluar. Jika pada saat itu dia bisa menembus dinding, dia pasti akan melakukannya untuk segera kabur dari Dean.
"Tin, karena Winarsih sedang membantu bapak di ruang kerja, tolong dia jangan kamu kasi ke dapur ya. Cuci piring juga nggak boleh. Pokoknya Winarsih nggak boleh ke dapur sama sekali. Itu pesan langsung papa ke saya," ujar Dean kepada Tina yang berdiri menunduk sambil memegang lap meja.
"Baik Pak," jawab Tina mengangguk.
Dean pergi dari ruang makan pegawai itu dengan wajah angker.
Setelan lengkap dengan warna pilihan yang dikenakannya tadi untuk memukau Winarsih ternyata malah berakhir sebagai setelan untuk menghukum pegawainya yang bergosip. Ingin sekali rasanya dia langsung mendatangi Winarsih dan bertanya saat itu juga.
Tapi Dean tak mau mengganggu wanita yang katanya sedang hamil itu beristirahat. Terlepas itu anaknya atau bukan. Dean merasa kasihan pada Winarsih yang baru saja digunjingkan.
Kasihan? Lagi-lagi Dean menyadari bahwa dirinya memakai kata kasihan untuk seorang wanita. Teringat apa yang pernah dikatakan oleh ibunya. Harusnya Dean bisa membedakan mana yang namanya cinta atau hanya sekedar kasihan.
Malam nanti dia bisa bertemu Winarsih di ruang kerja Papanya. Dean akan mengamati tubuh wanita itu lebih dekat seperti yang didengarnya di dapur tadi.
To Be Continued.....
Likes, Comments or Votes will be loved.
kok malu ya😂😂
apa ada di lapak lain?
Ada Dr Firza juga /Rose//Wilt//Rose//Wilt//Kiss//Kiss//Kiss/
Pinter bener tuh Pakde klo ngeles..Ampe Bude winar manut aj
untuk bisa tau besarnya Arus sungai..
#catat dech