Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga puluh
Hujan deras yang semakin membasahi jalanan berliku itu membuat laki-laki berusia lima tahun itu mengeratkan genggamannya pada lengan ibunya. Meski sudah berkali-kali diminta untuk tenang, tetap saja ketakutannya lebih dulu menguasai diri.
"Karel takut ya?" Bisiknya pelan yang berasal dari sebelahnya itu membuat perhatiannya teralih sebelum mengangguk pelan.
"Aku gak takut!" Gadis kecil itu kembali bersuara." Pegang tangan aku sini!" Ia membuka telapak tangannya lebar, menyambut tangan Karel yang mulai terasa dingin.
"Raisa pegang tangan kakak juga!" Angga, laki-laki berusia dua belas tahun itu bersuara sebelum menarik paksa tangan adiknya.
"Kenapa jadi pegangan semua kayak gini?" Kekeh Miska yang duduk di sisi paling kanan.
"Supaya kalau jatuh gak kepisah-"
"Ih ngomongnya kok gitu sih?!" Raisa mengomel." Mama aku tuh jago nyetir tau! Gak mungkin kita gak selamat ."
Karel mencebik." Aku kan takut,," akunya pelan.
Raisa tertawa." Tante Miska nanti nginep gak?" tanyanya yang seolah berharap.
"Raisa maunya tante nginep atau enggak?"
Raisa mengangguk dengan semangat."Raisa mau main sama Karel!" Katanya dengan antusias.
"Emangnya Karel mau main sama Raisa?" Ledek Angga dengan kekehan.
"Pasti mau kan, Karel?" Tanya Raisa was-was.
"Mau dong, Karel kan sahabatnya Raisa! Harus mau kalau diajak main bareng ya?" Balas Miska berusaha menarik perhatian Karel yang takut dengan keadaan.
Dengan ragu Karel mengangguk.
"Kak Angga pacaran itu apa sih?" Tanya Raisa seketika kembali mengganti topik.
"Hmm,,," Angga berdeham pelan tanda Ia berpikir." Apa Oma?" Ia melempar pertanyaan karena tidak bisa membalas.
Miska terkekeh kecil.
"Pacaran itu artinya temenan tapi udah deket banget!" Oma menjelaskan dengan mudah.
"Berarti Raisa sama Karel pacaran dong, Oma?"
Sahutan itu berhasil membawa tawa orang-orang di mobil. Sedangkan dua anak kecil yang seusia itu hanya melongo tidak tahu bagian mana yang lucu.
"Emang Karel berasa pacaran sama Raisa?" Miska bertanya.
Kali ini m tanpa ragu Karel mengangguk.
"Aku sama Raisa mau pacaran terus sampai gede! Iya kan Raisa?"
Raisa mengangguk semangat." Kita pacaran!"
"Eh! Pacaran cuma untuk anak gede sayang!" Rena yang sendiri tadi fokus menyetir akhirnya ikut bersuara.
"Tapi kita udah temenan deket mama?" Raisa membantah.
"Nanti kalau udah gede baru boleh diganti temenan dekatnya Jadi pacaran," ralat Rena dengan kekehan.
"Rena Awa!"
...
Kedua matanya seketika terbuka lebar Ketika mimpi itu kembali hadir tanpa permisi. Dedenya bergerak naik turun dengan peluk keringat yang seketika terlihat jelas di dahinya.
"Sialan." Makinya.
Karel-laki-laki itu memilih bangkit dari tidurnya, menyambar gelas berisi air mineral miliknya sebelum melirik pada jam dinding di kamarnya. Dia masih menunjukkan pukul satu malam, bisa-bisanya ia dihantui dengan mimpi semacam itu.
Ia menyambar ponselnya, berusaha menetralkan otaknya yang seolah baru saja bekerja berat itu.
Sani
Udah tidur belum.
Sania mengirimkannya pesan tiga jam yang lalu.
Anda
Maaf ya San.
Udah tidur aku tadi.
Ini kebangun lagi.
Ia mendesah pelan, sebelum kembali menyadari sesuatu yang sudah lama menghantuinya.
"Raisa?" Gumannya pelan. Seharusnya nama yang berada dalam mimpi itu Sania. Tapi kenapa nama Raisa terus muncul?
Ia menggerakkan kakinya, memakai sandal rumahnya sebelum memilih beranjak dari kamarnya. Sepertinya iya terlalu banyak pikiran mengenai pemilihan ketua OSIS besok.
Langkahnya dengan pasti menuruni setiap anak tangga rumahnya sebelum berhenti pada titik dimana raja kembali menonton televisi di ruang keluarga.
"Belum tidur, Rel?" Suara tenang Praja yang mengudara ketika Karel mendudukkan tubuhnya di samping pria itu dibalas dengan angkutan pelan Karel.
"Kebangun." Balasnya singkat.
"Besok setelah pemilihan OSIS ada rapat atau segala macam lagi nggak?"tanya Praja tanpa mengalihkan perhatiannya dari permainan bola yang sedang menjadi tontonan nya.
"Mungkin enggak, kenapa pah?"
"Besok pemilihannya pagi kan?"
Karel mengangguk.
"Setelah itu kamu izin ya. Besok papa mau ke makam tante Rara, Mama juga mau ke makam temennya."
Karel kembali mengangguk."besok berarti Farel diantar bapak aja ya? Supaya besok nggak usah bawa mobil dua."
"Eh kok besok,," Praja seketika ingat." Maksudnya nanti." Kekehnya yang baru sadar akan perubahan hari itu.
Karel terkekeh, ia kemudian menjilat bibirnya ketika otaknya kembali berpikir.
"Pah?" Panggilnya pelan yang kemudian dibalas dehaman oleh papahnya.
"Papah kenal Raisa gak?"
Dan saat itu Praja bergeming.
--++
"Kan, Lo seriusan gak kenapa-napa?"
Bagi Kania, itu adalah pertanyaan sama yang sudah ia dengar lebih dari seratus kali. Memang aslinya tidak sebanyak itu. Tapi berhubung kalian terus-menerus melengkapi pertanyaan yang sama, telinga Kania sudah bosan mendengarnya.
Wajahnya memang pucat dari pagi. Entah apa alasannya, tapi yang pasti bulunya tidak kenapa-napa. Ia sudah berulang kali menjawab jika dirinya hanya kelelahan. Tetapi sebanyak itu juga kelebihan belum menyerah untuk menanyakan hal yang sama.
Bagaimana tidak lelah? Sudah hampir tiga hari penuh waktu tidurnya tidak tenang. Dimulai dari tengah sekolah tepat setengah enam pagi, berlanjut dengan kegiatan sekolah yang berakhir pada pukul tiga sore, lalu setelahnya berusaha hadir di setiap kerja kelompok yang padahal tidak akan masalah jika kehadirannya tidak ada. Setelah itu berlanjut dengan kerja paruh waktunya yang baru selesai di jam satu malam. Jadi,, bagaimana Kania tidak menampakkan wajah lelahnya?
"Muka Lo pucet-"
"Iya Fabian,,, iya!" Kania berdesis jengkel. Ia menjentikkan batang rokoknya, sebelum kembali menyesapnya. Baginya, masalah apapun dirinya. Selama kebutuhan rokoknya terpenuhi tidak akan menjadi masalah.
"Kalau berhenti kerja aja dulu bisa nggak sih?! Lama-lama badan lo beneran nggak kuat nahan kegiatan Lo yang berlebihan itu, Nia!"
Kania mencebik." Bisa diem gak?!" Omelnya," veneer kok jadi biasa baik gara-gara lo ngomong mulu!"
Di tempatnya, Fabian ikut berdesis tidak terima. Yang dia lakukan hanya mengingatkan Kania. Lalu kenapa temannya itu malah membalasnya seperti itu. Padahal jika dipikir, dirinya seperti ini juga demi kebaikan kami sendiri.
"Lo belum makan dari pagi-"
"Fabian!" Kania semakin jengkel." Menurut lu gue jait lama-lama ya?!" Ancamnya.
Meski kenyataannya, setiap kata yang bagian ucapkan adalah sebuah kebenaran, tetap saja Kania tidak akan mengalah dengan mudah. Baginya, saat sekolah seperti ini adalah waktu terbaiknya untuk beristirahat. Meski memang tidak tertidur, tapi dengan menyesap rokoknya dengan tenang saja sudah lebih dari cukup. Makan jangan salahkan dirinya begitu sensitif dengan setiap ucapan Fabian siang ini.
"Ekhem."
Dehaman pelan yang kemudian memunculkan sosok Karel berhasil membuat Fabian berdesis. Ia rasa, sudah hampir satu minggu penuh dirinya mengacuhkan seorang Karel. Tidak peduli kenyataannya bahwa laki-laki itu menyadarinya atau tidak, tapi yang pasti sesuai ucapannya waktu itu, ia tidak ingin lagi mengenal yang namanya Karel.
Senyum Kania perlahan terukir tipis ketika Karel memilih duduk di samping nya. Wajah suntuk laki-laki itu seakan sudah menjadi makanan sehari-hari nya.
"OSIS lagi?" Tebaknya yang kemudian menyulurkan kotak rokok ke hadapan Karel.
Karel terkekeh pelan, sebelum mengangguk mengiyakan. Jika dikatakan sejujur-jujurnya, Karel akui Kania jauh lebih mengerti dirinya dibanding Sania. Tapi jika dikatakan tentang keinginan, jelaskan yang akan tetap memilih Sania dibanding memilih Kania yang bukan merupakan bagian dari keinginannya.
Keinginan macam apa?
Keinginan yang jelas mencakup semua tentang nya. Keinginannya untuk siapa yang bisa mengertinya. Keinginannya untuk siapa yang lebih bisa menerima kehidupan nya. Keinginannya yang jelas tidak akan terwujud jika Kania yang menjadi pilihannya.
"Lo udah lama gak ke antariksa." Karel basa-basi sebelum menyalakan rokok hasil pemberian Kania.
Kania terkekeh pelan." Sadar aja. Kangen ya-"
"Diem deh," desis Karel pelan.
"Tadi Lo nanya," keluh Kania.
"Gue nggak nanya, cuma basa-basi doang,"
Balas Karel enteng. Ia kemudian beralih pada Fabian yang duduk di pojokan dengan perhatian yang tertuju pada ponsel nya.
"Lo juga, Bi. Dicariin Sania-"
"Hmm!" Fabian berdeham pelan tanpa berkeinginan untuk menatap Karel barang sedetik saja. Bukankah ia masih baik? Bahkan pertanyaan Karel yang tidak ada gunanya aja masih ia balas.
"Kan," panggil Karel pelan." Sabtu depan bantuin gue siapin kejutan buat Sania mau gak?"
Beda halnya dengan Fabian yang seketika kembali emosi dengan ucapan yang keluar dengan mudahnya dari bibir Karel , yang Kania rasakan pertama kali adalah sebuah rasa sakit lain yang tidak bisa terlihat dengan nyata.
Ia tersenyum tipis sebelum kembali menyesap rokoknya.
"Tetap deketin Karel boleh, tapi jangan murahan!"
Itu pesan yang Laras sampaikan beberapa waktu lalu ketika tekadnya untuk mendekati Karel belum memudar walaupun laki-laki itu sudah memiliki kekasih baru.
"Kania sibuk!" Fabian menyahut. Nada bicaranya jelas menyiratkan kekesalan yang memuncak. Tapi berhubung Karel tidak peduli, juga Kania terlalu buta akan yang namanya cinta, maka kelanjutannya agar kalian pasrahkan pada yang Maha Kuasa.
"Bisa gak?"
Fabian tersenyum sinis. Benar kan? Bagi Karel suaranya hanya sapuan halus yang bahkan tidak bisa membuat hati batu laki-laki itu bergerak.
Ia bangkit dari posisinya, melempar rokoknya, sebelum menginjaknya penuh penekanan. Jika Karel tidak bisa ia injak, maka biar emosinya terlampiaskan pada rokoknya saja.
"Gue cabut, Nia!" ketusnya yang kemudian memilih untuk meninggalkan Kania juga Karel di sana.
Ia akan menerima apapun keputusan Kania. Tapi ia tidak akan menerima keputusan Kania jika harus mendengarnya secara langsung.
Tangannya merogoh saku celananya dengan cepat, mencari kontak Kania di sana sebelum dirinya berdesis jengkel.
Anda
Bisa nggak sih sekali aja lo nggak bego?
Gue yang capek ngelihat kalau dimanfaatin terus sama dia.
Iya, itu isi kekesalan dia. Andai saja tangannya bisa ikut memaki Karel, sudah jelas dia akan melakukannya. Tapi berhubung Karel juga tidak akan membaca pesannya, jadi lebih baik untuk menceramahi Kania saja.