Sekuel off 'Pesona Mama Mertua Muda'
Wajib baca season satu duluan ya ≧∇
"Duniaku ikut mati tanpamu."
Kehidupan Javas hancur saat wanita yang paling dicintainya meninggal. Ia mencoba melarikan diri, menyingkir dari tempat yang menenggelamkan banyak jejak kenangan tentang wanita itu.
Namun, ia tak bertahan lama, Isvara selalu tinggal di kepalanya, sehingga pria itu memutuskan kembali.
Hanya saja, apa jadinya jika Isvara yang mereka pikir telah meninggal—justru masih hidup? Bisakah Javas menggapai dan melanjutkan hidupnya bersama wanita itu lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Donacute, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24 | Javas Berterima Kasih
Setelah memastikan Javas benar-benar pergi dari rumah dan tokonya, Isvara segera mencari ponselnya yang ternyata tertinggal di dalam toko.
Kini ponsel milik Isvara sudah berada di tangannya sendiri, gadis itu memilih menghubungi Chilla. Chilla adalah tersangka yang membuat Javas mengetahui keberadaannya, karena jika bukan karena Chilla. Javas tidak mungkin berada di tempat ini.
"Halo, Kak. Tumben banget nelpon aku? Ada apa ya? Ada yang perlu aku bantu barang kali?" tanya Chilla ketika gadis itu baru saja mengangkat telpon dari Isvara.
"Chilla, aku benar-benar kecewa sama kamu. Kenapa kamu tega sama aku? Aku sudah percaya banget sama kamu, tapi kamu malah kasih tau keberadaan ku sama Om Javas. Sebenarnya niat kamu ini apa sih ngelakuin kayak gini ke aku? Aku sangat nggak suka sama apa yang kamu lakukan, kamu keterlaluan," marahnya tanpa basa-basi.
Mendengar ucapan Isvara, Chilla yang tengah jauh di sana sudah bisa menebak jika Isvara sudah bertemu dengan Papanya. Dalam hati tentu saja Chilla tidak mau sampai Isvara marah bahkan benci padanya, ia melakukan ini semua karena merasa inilah yang terbaik.
"Kak Isvara, kamu bisa dengar dulu penjelasan aku? Aku banget mohon sama buat dengerin dulu penjelasanku, setelah itu terserah kamu. Aku nggak ada niat buat mengecewakan kamu sama sekali, Kak Isvara."
Isvara menghela napas, setelah ia berpikir sebentar ia merasa tidak ada salahnya mendengarkan penjelasan dari Chilla. Sekalipun Chilla bersalah, Chilla tetap berhak diberi kesempatan untuk menjelaskan.
"Kakak salah paham sama aku, aku beneran nggak kasih tau Papa soal keberadaan Kakak. Papa tanya-tanya soal tempat KKN aku, karena mau buat proyek di sana. Aku jawab seadanya kasih alamat juga, udah gitu aja gak lebih. Mana mungkin aku kasih tau Papa kalau Kakak masih hidup dan tinggal di sana," jawab Chilla meyakinkan. Chilla tidak sepenuhnya berbohong, ia memang tidak memberitahu Papanya tentang Isvara. Tapi ia akui dirinya sengaja mengirim sang Papa ke sana agar bisa bertemu dengan Isvara.
Sebagai seorang anak, katakanlah ia gila karena demi kebahagian Papanya dan Isvara ia melakukan itu semua. Bukan Chilla tidak sayang pada Mamanya sendiri, tetapi ia yang merasakan bahwa rumah tangga kedua orang tua sudah tidak dapat diselamatkan lagi bahkan sebelum datangnya Isvara ke dalam kehidupan Papanya.
Chilla juga tahu, Mamanya sudah sangat ikhlas ia melakukan ini semua. Siapa tahu setelah Isvara dan Papanya bahagia, Papanya bisa melepaskan Mamanya. Dan setelah itu Mamanya bisa mencari kebahagiaannya sendiri.
Dirinya sudah dewasa, ia tidak ingin rumah tangga kedua orang tuanya yang tidak ada cinta itu terus dipaksakan. Namun, ia juga tahu Mamanya tidak berani meminta cerai walaupun sangat menginginkannya.
Jadi pertama-tama Chilla akan mengusahakan kebahagian Papanya terlebih dahulu, setelah itu kebahagian Mamanya.
"Kamu nggak lagi coba bohongin aku 'kan Chilla?" tanya Isvara yang kurang yakin, padahal Chilla tadi sudah berbicara semeyakinkan mungkin.
"Enggak mungkin aku bohongin Kakak, aku 'kan selalu terus terang. Bahkan saat aku pertama kali ketemu sama Kakak juga aku terus terang bilang Kakak yang aneh-aneh, sampai Papa marah sama aku." Chilla mengelak, ia berusaha membuat Isvara mempercayainya.
Kini Isvara malah jadi merasa bersalah karena sudah menuduh Chilla, padahal Chilla tidak seperti yang ia tuduhkan. "Maafin aku, udah asal nuduh kamu. Aku cuma lagi kaget aja liat Om Javas ada di sini, sedangkan sebenarnya aku belum siap untuk bertemu beliau."
"Nggak masalah, wajar kok kalau Kak Isvara kayak gitu. Aku memakluminya."
"Yaudah, aku telpon kamu cuma mau konfirmasi soal tadi. Udah dulu ya, aku masih sibuk."
"Iya, Kak. Sehat terus ya, salam buat Sheva," ujar Chilla sebelum Isvara mematikan sambungan telponnya.
***
Javas sendiri baru sampai rumah Rizal ditemani Eno, sepanjang jalan Javas senyum-senyum sendiri. Pria dewasa itu memang baru saja diusir, tetapi ia tidak terlalu mempermasalahkannya karena setelah sekian lama akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan cintanya yaitu Isvara.
Javas juga tidak lupa bertanya banyak hal tentang Isvara yang Eno kenal sebagai Kinan, pada pria yang bernama Eno itu.
"Pak Javas, ini kamar yang akan Pak Javas gunakan. Pak Rizal dan Istrinya belum pulang, tetapi beliau sudah meminta saya untuk mengantarkan Bapak ke rumah beliau langsung. Bahkan saya juga diminta untuk memberitahu kamar yang akan Pak Javas tinggali sementara." Javas hanya mengangguk, ia lalu masuk ke dalam kamar. Sebelum itu, pria itu juga sudah mengucapkan terima kasih yang banyak pada Eno.
Di dalam kamar yang sederhana, Javas memang tidak terbiasa tidur di kamar sederhana selama ini. Namun, ia bukanlah orang yang ribet sebenarnya. Setidaknya ia bersyukur karena mempunyai tempat tinggal sementara dibandingkan harus tinggal di jalanan karena memang tidak ada penginapan.
Javas memutuskan untuk mandi dulu sebelum akhirnya beristirahat, tetapi setelah mandi ia malah teringat dengan Chilla—putrinya. Pria itu merasa bahwa dirinya harus segera mengucapkan terima kasih pada Chilla, jika Chilla tidak memaksanya pergi ke desa ini mungkin Javas tidak akan pernah bisa bertemu dengan Isvara.
Javas mencari keberadaan ponselnya, untuk ia gunakan menghubungi Chilla. Tidak perlu waktu lama, setelah ponselnya di tangan pria itu langsung menghubungi Chilla.
Di tempat berbeda, Chilla sedikit terkejut melihat sang Papa menghubunginya. Padahal hal itu sangat jarang Papanya lakukan selama ini.
Chilla sudah menebak bahwa sang Papa menghubunginya karena ada hubungannya dengan Isvara, itu sangatlah jelas tidak dapat sangkal lagi. Namun, gadis itu sendiri tidak tahu Papanya menelpon untuk memarahinya atau untuk apa.
"Chilla," panggilnya dengan bersemangat, ketika Chilla sudah mengangkat telponnya.
"Iya, Pa," jawab Chilla cepat.
"Terima kasih, Chilla. Kalau saja kamu nggak minta Papa ke tempat ini, Papa nggak akan pernah bertemu lagi dengan Isvara. Jujur sekarang Papa merasa bahagia, karena Isvara ternyata masih hidup."
Chilla tersenyum di seberang sana, ia ikut merasakan kebahagian sang Papa hanya dari suara Papanya. Ia sebenarnya juga sedikit tidak menyangka Papanya akan mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Sama-sama, Pa. Aku ikut bahagia kalau Papa bahagia," ujar Chilla tulus.
"Chilla, jangan bilang kamu sudah sejak lama tahu soal Isvara masih hidup? Karena kamu KKN juga sudah dua tahun lalu, kenapa kamu nggak kasih tau Papa dari dulu. Kalau Papa tahu Papa nggak akan mungkin pergi ke luar negri untuk menenangkan diri walau di sana juga Papa nggak mendapatkan apapun."
Chilla juga sudah menduga bahwa Papanya akan bertanya seperti itu kepadanya
"Maafin aku, Pa. Kak Isvara yang minta aku janji buat nggak kasih tau siapapun, tentang dirinya yang masih hidup. Jadi mau nggak mau aku harus lakuin itu. Sebenarnya Papa ketemu sama Kak Isvara pun takdir, hanya saja aku yang memberikan jalan. Tapi jika Papa memang tidak ditakdirkan bertemu, berada di tempat yang sama pun tidak akan pernah bertemu."
"Kamu nggak salah, Papa yang salah karena sudah menyalahkan kamu, Chilla. Papa mengerti, kamu hanya menuruti kemauan Isvara saja."
"Satu lagi, Pa. Tolong jangan kasih tau siapapun tentang Kak Isvara yang masih hidup, aku nggak mau Kak Isvara marah sama aku kalau semua orang tau tentangnya. Padahal ia belum siap dengan hal itu."
"Papa janji nggak akan kasih tau siapapun, tapi Papa minta kamu ceritain semua soal Isvara yang kamu tahu. Soal siapa Sheva juga, Papa jadi tau kamu pasti yang undang Sheva dan Isvara ke Ulang tahun Given dan Givana dulu. Sebenarnya Papa juga merasakan keberadaan Isvara, cuma Papa nggak yakin."
Chilla tidak langsung menjawab, ia berpikir apakah pantas ia menceritakan soal Isvara dan Sheva pada Papanya. Padahal yang lebih berhak menceritakan itu semua adalah Isvara sendiri bukanlah orang lain.
"Pa, aku nggak berani. Kak Isvara udah percaya sama aku, ini aja aku udah ngerasa mengkhianatinya. Apalagi jika aku menceritakan semua yang aku tau tentangnya ke Papa, Kak Isvara pasti bakalan benci banget sama aku," tolaknya dengan halus.