Menjadi istri pengganti calon suami kakaknya yang meninggal dalam kecelakaan karena dirinya. Alena harus merasakan siksaan dari suaminya sebagai bentuk balas dendam.
Namun, apakah yang terjadi jika akhirnya kebenaran terungkap mengenai kecelakaan itu?
Season 2
Alea Prasetya adalah anak pertama dari Shaka dan Alena. Namun kepribadiannya yang introvert membuatnya dijauhi teman dan membuat orang tuanya menjodohkannya dengan anak rekan bisnis mereka. Bagaimana kisahnya?
COVER BY NOVELTOON
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yenita wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usaha Tia
Sudah seminggu sejak kehadiran Shaka di Desa itu. Didalam rumah sederhana itu, Shaka terus dibimbing Alena untuk melaksanakan ibadah meski harus dilakukan dengan penuh perjuangan.
Seperti pagi ini, Alena sudah duluan melaksanakan Sholat subuh. Namun dia begitu kesulitan membangunkan Shaka. Ya, Alena membangunkan Shaka untuk melaksanakan Sholat subuh namun Shaka sangat susah untuk membuka matanya. Mungkin karena malam tadi Shaka ikut ronda dan baru pulang pukul 2 pagi.
"Shaka, bangun lah." Alena mencoba menggoyangkan tubuh Shaka namun yang terdengar hanyalah igauan Shaka yang tidak begitu jelas.
"Shaka ayolah. Ini sudah subuh. Bukalah matamu." ucap Alena lagi.
Shaka menggeliat. Kedua tangannya terangkat dan meraih Alena lalu memeluknya erat seperti bantal guling. Alena mencoba melepaskan pelukan Shaka namun tenaga Shaka sangatlah kuat. "Shaka, lepaskan aku." ucap Alena yang masih terus berusaha melepaskan diri.
"Emmhh ya sebentar lagi. Ini sangat nyaman." ucap Shaka yang masih memejamkan matanya.
Alena terpaksa menggigit lengan Shaka agar dia terbangun. Dan benar saja, Shaka langsung bangun dengan sebuah jeritan kecil. "Aaaarrrggghhh."
Shaka memperhatikan apa yang terjadi dan dia terkejut melihat Alena yang tengah berada didalam dekapannya. Seketika, dia langsung melepaskan pelukannya. Alena berdiri dan merapikan rambutnya yang acak-acakan karena ulah Shaka.
"Maafkan aku." ucap Shaka.
"Jika kau sudah bangun. Ayo Sholat dulu." ucap Alena yang berlalu meninggalkan kamar Shaka. Jantungnya terus berdebar setelah kejadian tadi. Pipinya bersemu merah kala mengingat begitu nyamannya pelukan Shaka tadi. Dia bahkan bisa merasakan betapa gagahnya otot tangan dan dada bidang Shaka. "Ah apa yang aku pikirkan." Alena mencoba menepis pikiran liarnya.
Shaka bergegas ke kamar mandi dan langsung mengambil wudhu untuk melaksanakan Sholat subuh. Selesai dengan itu dia kembali lagi ke kamarnya dan melanjutkan tidurnya.
Alena mengerti jika Shaka sangat lelah dan mengantuk jadi dia membiarkannya. Dia pergi ke dapur dan memasak makanan untuk mereka.
1 jam kemudian makanan sudah selesai. Lagi-lagi wangi masakan itu membangunkan Shaka dari tidurnya. Mereka pun sarapan bersama.
"Apa setelah ini kau akan tidur lagi?" tanya Alena.
"Tidak, tidur pagi itu tidak sehat. Aku akan tidur siang hari saja." ucap Shaka.
"Ada apa dengan kulit dan wajahmu." ucap Alena yang baru menyadari bahwa kulit dan wajah Shaka terdapat bintik merah.
"Oh ini hasil meronda malam tadi. Aku hanya kebagian sedikit lotion anti nyamuk karena Pak Ngatiran hanya membawa sedikit." ucap Shaka. Dan aku tau si Bujang Lapuk itu sengaja melakukannya. Batin Shaka.
"Setelah ini oleslah dengan salep. Kau bisa mengambilnya dikamarku. Aku buru-buru." ucap Alena yang mempercepat laju makannya.
"Apa aku boleh kesana?" tanya Shaka.
"Kemana?"
"Ke tempat usaha konveksimu." ucap Shaka.
"Boleh, asal jangan menganggu." ucap Alena.
"Apa kau tidak merindukan Lea Boutique?" tanya Shaka.
Alena terdiam. Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku merindukannya. Batin Alena.
"Aku berangkat dulu. Taruh saja piring kotornya ke belakang. Aku akan mencucinya nanti." ucap Alena yang mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia menaruh piring bekas makannya dan mencium punggung tangan Shaka dan berangkat ke Konveksinya.
Sesampainya disana. Alena melihat semua pegawainya sudah datang dan mulai bekerja. Dia senang mempunyai pegawai yang sangat rajin tanpa harus diawasi.
Alena bergegas masuk ke ruangannya. Menerima orderan setiap harinya adalah aktivitas konveksinya. Saat tengah sibuk, tiba-tiba Alena mendengar suara gaduh diluar. Alena bergegas keluar dan dia terkejut melihat kedatangan Tia dan beberapa ibu-ibu yang merupakan para pedagang pakaian di Desa itu.
"Ada apa ini." ucap Alena seraya melangkahkan kakinya menuju kerumunan yang memadati halaman konveksinya.
"Alena, lebih baik kau tutup saja usaha konveksimu. Kau hanya membuat para pedagang pakaian kehilangan omset mereka karena kau sudah membuat semua penduduk dalam maupun luar Desa membeli pakaian di konveksimu ini." ucap Tia dengan lantang.
"Maafkan saya. Saya tidak bermaksud menurunkan omset para pedagang. Saya hanya berusaha menciptakan lapangan pekerjaan disini. Jika saya tutup usaha ini bagaimana dengan mereka? Mereka akan kehilangan mata pencaharian." ucap Alena.
"Kau menciptakan lapangan kerja disini tapi kau juga mematikan mata pencaharian para pedagang pakaian di Desan ini." ucap salah satu pedagang.
"Iya, sejak kau dirikan konveksi ini, pelanggan kami malah beralih kepadamu. Kami mau makan apa jika kau terus merebut pelanggan kami." ucap pedagang lainnya.
Alena hanya bisa terdiam. Dia merasa sangat dilema dengan semua ini. Tidak disangka usaha konveksinya ini akan berpengaruh pada pedagang pakaian yang ada di Desa itu.
"Saya punya usul." ucap seorang pria yang baru saja datang. Para pedagang menoleh ke arahnya dan seketika tatapan kesal mereka berubah menjadi tatapan penuh kekaguman.
"Shaka." ucap Alena. Shaka tersenyum padanya. Dia ikut berdiri disamping Alena dan berbicara dengan penuh wibawa.
"Saya punya usul untuk mengatasi masalah ini." ucap Shaka.
Alena dan semua yang ada disitu terdiam dan terlihat penasaran dengan usul yang ingin disampaikan Shaka. "Begini, konveksi Alena menciptakan bermacam ragam pakaian. Jadi usul saya, Alena bisa mendistribusikan pakaian itu ke para pedagang sesuai dengan jenisnya. Contohnya begini. Ibu cantik, jenis pakaian apa yang kau jual?" tanya Shaka kepada seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri didepannya.
Seketika wajah wanita itu memerah sangking senangnya. Shaka memanggilnya cantik. "Saya menjual pakaian anak-anak." ucap wanita itu.
"Nah, maka konveksi Alena akan mendistribusikan pakaian anak-anak ke toko Ibu dan Ibu bisa menjualnya kepada para pelanggan Alena. Dia akan mengarahkan semua pelanggannya ke toko para Ibu-Ibu cantik sekalian." ucap Shaka.
Wajah para Ibu-Ibu bersemu merah. Tak terkecuali Mbah Mona. Seorang janda berusia 65 tahun yang merupakan pedagang pakaian sekolah. Dia sampai tersenyum lebar dan memamerkan deretan gusi yang sudah tak di tumbuhi gigi lagi.
"Bagaimana dengan harganya?" tanya salah seorang pedagang.
"Untuk harga saya akan menjual kepada Ibu-Ibu dengan harga yang lebih murah. Dengan begitu Ibu-Ibu bisa menjualnya dengan harga yang sama saat saya menjualnya kepada para pelanggan saya, bagaimana?" tanya Alena.
"Baiklah kami setuju." ucap salah seorang dari mereka sedangkan yang lain mengangguk mengiyakan.
Tia terlihat kesal karena usahanya kali ini gagal. Dia pun pergi dari kerumunan para pedagang itu. Dia ingin mempengaruhi para pedagang itu agar menolak saran itu namun keberadaan Shaka mengurungkan niatnya.
Alena mulai mendata para pedagang yang berjumlah 10 orang itu untuk jenis pakaian apa yang mereka jual. Semua pedagang sudah pergi, tinggallah Mbah Mona. Perlahan dia berjalan mendekati Shaka dan memegang lengannya. "Nak, terima kasih ya. Selain tampan kau juga sangat pintar." ucap Mbah Mona.
Shaka terkejut dengan keberadaan Mbah Mona yang kini menempel dilengan kekarnya. Alena melongo melihat kelakuan Mbah Mona. Dia hanya bisa menahan tawa.
Shaka mencoba melepaskan lengannya namun Mbah Mona masih menempel. "Nenek, lepaskan ya. Nenek seharusnya pulang bersama mereka." ucap Shaka sesopan mungkin.
"Panggil aku Mbah Mona ya anak tampan." ucap Mbah Mona.
"Apakah Mona adalah nama Nenek?" tanya Alena.
"Nama asli Mbah adalah Munaroh. Tapi Mbah lebih senang di panggil Mbah Mona." ucapnya.
Alena semakin cekikikan melihat tingkah Nenek yang sedikit centil itu.
Shaka masih berusaha melepaskan tangannya. "Mbah Mona tolong lepaskan ya." ucapnya.
"Tidak, panggil cantik dulu baru aku lepaskan." ucap Mbah Mona.
"Baiklah, Mbah Mona cantik tolong lepaskan ya." ucap Shaka.
"Uuuh kau sangat tampan dan menggemaskan." Mbah Mona mencium pipinya dan dia bergegas pulang.
Mata Alena membulat. Dia tidak bisa menahan tawanya lagi. Dia pun tergelak melihat kejadian yang baru saja dialami Shaka. Shaka hampir pingsan karena baru saja mengalami pelecehan dari seorang Nenek tua. Bahkan pipinya itu ibarat masih perawan karena belum pernah dicium seorang gadis. Dia terus mengelap pipinya dengan perasaan kesal yang membuncah. "Mimpi apa aku semalam." ucap Shaka sambil melangkah kedalam dan diikuti Alena yang masih tertawa. Sedangkan para pegawai Alena berusaha untuk tidak tertawa mengingat Shaka adalah suami bos mereka.