realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ada apa dengan pikiranku!!
Saat perjalanan pulang di malam hari, Elvanzo tak bisa menghentikan pikirannya dari melayang pada Aluna. Ia teringat bagaimana gadis itu tampak begitu tegar di hadapan pasien-pasien tadi siang, tetapi kemudian berubah menjadi penuh rahasia saat mereka bersama.
“Ada sesuatu yang membuatnya begitu… berbeda,” gumam Elvanzo sambil menghela napas, matanya memandang jalanan yang kosong.
Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, membiarkan bayangan Aluna memenuhi pikirannya. "Bagaimana caraku mendekatinya tanpa membuat semuanya salah lagi?" pikirnya dalam hati, merasakan perasaan aneh yang perlahan tumbuh setiap kali ia berada di dekat gadis itu.
...~||~...
Iapun larut dalam pikiranya di perjalanan sampai entah berapa lama waktu telah berlalauh dan ia pun sampai di rumahnya dan bergegas membersikan dirinya yang oenuh dengan jejak kelelahan
Setelah habis bebersih diri Elvanzo merebahkan tubuhnya di sofa setelah perjalanan panjang kembali ke rumah. Di kepalanya, masih terbayang interaksi singkat dengan Aluna di ruang istirahat. Keheningan dan tatapan penuh arti dari gadis itu membuatnya sulit untuk melupakan momen itu.
“Dia tampak begitu tenang di luar, tapi aku tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan,” gumamnya sambil memijat pelipis.
Lalu, tiba-tiba terlintas sebuah pikiran. "Apa yang sebenarnya membuat hubungan ini terasa kaku? Apa aku perlu berbicara dengannya secara langsung?"
Ia menimbang-nimbang ide itu selama beberapa menit. "Mungkin besok… aku bisa mencoba berbicara dengannya dengan cara yang lebih santai," ujarnya akhirnya. Namun rasa lelah perlahan mengambil alih. Elvanzo menyerah pada kantuk yang datang dengan cepat, membiarkan ide itu menunggu pagi.
Keesokan Harinya
Matahari pagi menembus celah-celah tirai saat Elvanzo bersiap untuk mengajar. Setelah memastikan materi pelatihan siap, ia menuju ruang kelas yang penuh oleh mahasiswa-mahasiswa fakultas pisikolog angkatan 20xx , termasuk Aluna.
Meski ia fokus memberikan penjelasan, tatapan Elvanzo beberapa kali tertuju pada Aluna yang duduk di barisan tengah. Ia bisa melihat keseriusan gadis itu saat mencatat poin-poin penting. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang membuat Aluna tampak berbeda.
“Kau harus bicara dengannya hari ini,” pikir Elvanzo.
Setelah kelas selesai dan para mahasiswa mulai meninggalkan ruangan, ia membuka ponselnya. Dengan hati-hati, ia mengetik pesan melalui WhatsApp:
“aluna. Kalau tidak keberatan, mampirlah ke ruanganku setelah kelas selesai. Ada hal kecil yang ingin kubahas.”
Tak lama setelah terkirim, tanda centang dua berubah menjadi biru. Balasan dari Aluna muncul:
“Baik”
Pertemuan di Ruang Elvanzo
Ketukan ringan di pintu membuat Elvanzo menoleh dari mejanya. “Masuk,” ujarnya sambil berdiri.
Pintu terbuka, dan Aluna melangkah masuk dengan sikap tenang seperti biasa. “Anda memanggil saya?” tanyanya langsung.
Elvanzo tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Ya, terima kasih sudah datang. Aku hanya ingin membicarakan sesuatu.” Ia menunjuk kursi di depan meja, mengisyaratkan Aluna untuk duduk.
Aluna menatap Elvanzo dengan sedikit rasa ingin tahu, tapi ia tetap mengambil tempat duduknya. “Ada apa?”
Elvanzo menghela napas perlahan. “Aku merasa ada yang berbeda darimu belakangan ini. Terutama setelah kemarin. Mungkin aku salah, tapi aku khawatir jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, mungkin soal tim… atau bahkan aku.”
Aluna mengerutkan kening, tampak sedikit terkejut. “Bukan soal Anda. Tidak ada masalah besar, hanya… ada beberapa hal yang sedang ku pikirkan.”
Elvanzo mengangguk perlahan, menatap gadis itu dengan serius namun lembut. “Aku tahu ini mungkin bukan urusanku. Tapi aku hanya ingin kau tahu, jika ada hal yang ingin kau bicarakan, baik soal kerja atau hal lain, aku ada di sini. Kau tak perlu menghadapinya sendiri.”
Aluna terdiam sesaat, lalu senyumnya muncul, kecil tapi tulus. “Terima kasih, Saya akan mengingat itu.”
“Baguslah,” kata Elvanzo, merasa lega. Ia ingin memastikan bahwa percakapan ini memberi kenyamanan bagi Aluna, tanpa tekanan.
Pembicaraan sederhana itu berakhir dengan sebuah janji tak terucapkan, seolah masing-masing tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.
Beberapa Hari Kemudian
Elvanzo tidak bisa menepis perasaan ingin lebih dekat dengan Aluna. Setelah percakapan mereka di ruangannya, meskipun terasa sedikit lebih nyaman, ada rasa tidak puas yang menggelayuti. Ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik keheningan gadis itu. Sesuatu yang membuatnya penasaran, dan sekaligus bingung.
“Kenapa dia begitu tertutup? Apa yang ada di balik ketenangan itu?” pikirnya. Elvanzo merasa seperti ada teka-teki yang belum terpecahkan, dan ia tak bisa menahan keinginan untuk memahami lebih dalam.
Lalu, sebuah ide terlintas. "Jika aku bisa memberinya lebih banyak tanggung jawab di luar jam kuliah dan jam kerja di klinik, mungkin aku bisa mengerti lebih banyak." Itu bisa menjadi kesempatan untuk berinteraksi lebih sering, tidak hanya sekadar sebagai rekan kerja, tetapi juga dalam suasana yang berbeda. Ia membutuhkan cara untuk membuka pintu percakapan yang lebih alami antara mereka.
Hari Setelahnya, Ruangannya
Elvanzo sudah memikirkan rencananya dengan matang. Ketika ia memanggil Aluna untuk masuk ke ruangannya setelah kelas berakhir, hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.
“Masuklah, Luna,” ucap Elvanzo sambil mengalihkan pandangannya dari berkas yang ada di meja.
Aluna masuk dengan langkah tenang, hanya sedikit mengerutkan kening melihat Elvanzo yang terlihat agak berbeda dari biasanya. "Ada apa?" tanyanya, bersiap mendengarkan instruksi.
Elvanzo menyandarkan punggungnya di kursi dan melihat langsung ke arah Aluna. "Aluna, aku ingin memberimu tawaran, mungkin ini akan membantumu untuk lebih memahami mata kuliah ini—dan sekaligus memberiku kesempatan untuk bekerja lebih dekat denganmu."
Aluna menatapnya dengan ragu. "Tawaran? Maksud Anda?"
Elvanzo menarik napas dalam-dalam, menatap Aluna dengan serius. “Aku ingin kau menjadi asisten di mata kuliah ku. Ini bukan hanya tentang membantu dengan materi, tetapi aku merasa, selama ini, ada banyak hal yang belum kita bahas. Aku tahu kita belum bisa banyak bicara di luar jam kerja, dan aku ingin itu berubah. Dengan peran ini, aku yakin kita bisa bekerja bersama dengan lebih intens.”
Aluna terdiam beberapa detik, seolah mencerna tawaran itu. Tentu saja, ia tahu bahwa menjadi asisten dosen adalah suatu tanggung jawab besar. Namun, ada rasa ingin tahu di dalam dirinya sendiri, entah kenapa ia merasa bahwa tawaran itu bukan hanya untuk pekerjaan biasa.
“Apa alasan sebenarnya, kak elvanzo? Kenapa saya?” tanya Aluna, memilih untuk jujur.
Elvanzo mengangkat bahu ringan, mencoba menunjukkan ketenangan meskipun hatinya berdegup kencang. “Karena aku penasaran denganmu, aluna. Kamu selalu tampak begitu tertutup, dan sulit untuk ditebak. Aku ingin lebih tahu, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai seseorang yang bisa memahami keadaanmu lebih dalam. Mungkin dengan bekerja lebih dekat, kita bisa mengerti satu sama lain.”
Aluna menatapnya dengan keheningan yang dalam, seperti memikirkan semua yang baru saja dikatakan Elvanzo.
Lama tak ada jawaban dari Aluna, namun akhirnya ia mengangguk perlahan. “Baiklah, Saya akan coba bantu Anda,” jawabnya dengan nada suara yang tak bisa terlalu ditebak, seolah menandakan bahwa ia siap dengan segala kemungkinan tapi di dalam hatinya ia tetap pada pendirianya untuk menjaga jarak dari pria manapun termasuk elvanzo.
Elvanzo merasa lega. Ia tahu bahwa meski Aluna memberikan jawaban, masih banyak hal yang akan tersingkap selama mereka berkolaborasi. Ia merasa, jika ada kesempatan ini, ia bisa lebih dekat dengan Aluna, memecahkan jarak yang selama ini terbentang di antara mereka.
Beberapa Hari Kemudian
Keputusan ini mulai diterapkan. Aluna kini lebih sering berada di ruangannya setelah jam kuliah untuk membantu mengatur jadwal, memberikan materi tambahan, bahkan berdiskusi tentang metode mengajar. Meski suasananya tetap profesional, ada perubahan kecil yang mulai terasa.
Elvanzo bisa merasakan betapa sulitnya bagi Aluna untuk membuka diri sepenuhnya, tapi ia tahu bahwa ini adalah langkah awal untuk menggali apa yang ada di balik dinding yang selama ini dibangun gadis itu. Dalam setiap percakapan yang lebih panjang, ia sedikit demi sedikit bisa menangkap sisi lain dari Aluna—bahwa ada banyak perasaan yang ia sembunyikan, dan mungkin Elvanzo adalah orang pertama yang cukup dekat untuk memahaminya.
Ia merasa langkah ini bukan hanya tentang mengisi kekosongan di dunia profesional mereka, tapi lebih tentang mencoba membangun kepercayaan dan memecahkan sesuatu yang jauh lebih kompleks.
Namun, di balik semua itu, Elvanzo merasa bahwa perjalanan untuk memahami Aluna baru saja dimulai. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, banyak jawaban yang ingin ia temukan—tapi lebih dari itu, ia sadar bahwa untuk mengerti Aluna, ia harus memberi ruang bagi gadis itu untuk mempercayainya.