NovelToon NovelToon
Pria Pilihan Sang Perawat

Pria Pilihan Sang Perawat

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Tamat / Nikahkontrak / Cintamanis
Popularitas:475.4k
Nilai: 4.9
Nama Author: SHIRLI

Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.

Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Takut

Pagi ini Amara bertugas seperti biasanya. Ia mendampingi dokter untuk mengunjungi dan memeriksa keadaan setiap pasien untuk mengetahui perkembangan terbaru kesehatan mereka sebelum diperbolehkan pulang.

Amara mengikuti Dokter Khanza yang lebih dulu berjalan di depannya. Tangan ramping itu mendorong troli tempat obat.

"Dokter, apa masih ada pasien yang belum kita periksa?" Amara bertanya heran sembari tetap berjalan.

"Kita belum memeriksa pasien yang menempati kamar perawatan VIP. Baru semalam dia dipindahkan di sana." Dokter Khanza menjawab pelan.

"Oh begitu." Amara mengangguk. "Atas nama siapa dokter?"

"Dimas. Tentunya kau masih ingat dia bukan?"

Langkah Amara seketika terhenti mendengar nama itu disebutkan. Tubuhnya membeku dan wajahnya nampak merona seperti malu.

Khanza yang berjalan di depan sontak berhenti. Wanita berusia tiga puluh tahun itu menoleh dan menatap Amara dengan wajah kebingungan.

"Amara," panggil dokter itu kemudian.

"Ya, Dokter!" sahut gadis berjilbab itu gelagapan. Ia bahkan terlonjak mendengar namanya disebutkan.

"Kenapa berhenti?"

"Ah, tidak ada apa-apa, Dokter." Amara menyahut cepat dengan nada menyangkal, berusaha menepis rasa tidak nyaman yang mendadak muncul tanpa bisa dilawan. Ia lantas berjalan cepat menyusul Khanza yang berada di depan. "Mari, Dok," ajaknya kemudian.

Keduanya sampai di ruangan VIP tak lama setelah itu. Amara mengikuti Khanza dengan langkah sendat. Di ruangan itu nampak seorang lelaki tengah berbaring di ranjang perawatan. Pandangannya kosong, bahkan ia tak merespon kedatangan Dokter yang akan memeriksanya.

Seorang wanita paruh baya yang semula duduk di ranjang untuk menjaga pria itu tergopoh menghampiri Amara dan Khanza.

"Selamat pagi, Dokter," sapa wanita itu kemudian.

"Selamat pagi juga, Bu," dokter Khanza membalas ramah, kemudian menoleh menatap Dimas yang tengah terbaring setengah duduk di ranjang. "Apa pasien putra Ibu?" tanyanya kemudian.

"Bukan, Dokter. Beliau adalah putra dari majikan saya."

Khanza mengangguk faham lalu melangkahkan mendekati ranjang. "Selamat pagi, Tuan Dimas," sapanya kemudian untuk melakukan pendekatan.

Namun tak ada jawaban. Lelaki itu tetap pada posisinya, tak bergeming sedikitpun. Dokter Khanza lantas menginstruksikan pada Amara untuk memeriksa tekanan darah pasien.

"Permisi Tuan, saya akan memeriksa tekanan darah anda sebentar." Amara meraih tangan pasien pelan dan memasangkan alat pengukur tekanan darah itu dengan hati-hati.

Walau ada rasa tak nyaman yang melingkupi hatinya, tapi Amara tetap bersikap tenang seolah tak terjadi apa-apa. Ia bersikap biasa saat memeriksa seperti pada pasien-pasien lainnya. "Sudah selesai ...," ucap Amara sambil tersenyum ramah, lantas melepaskan alat itu dari tangan Dimas pelan-pelan.

Melirik makanan pasien yang masih utuh di atas nakas, Khanza lantas menoleh ke arah wanita paruh baya tadi kemudian bertanya, "Apa dia tidak mau makan?"

Wanita itu mengangguk. "Benar Dokter. Saya tidak berhasil membujuknya untuk makan."

Khanza mengangguk-angguk seolah faham, lantas melempar pandangan ke arah Amara penuh isyarat.

Amara mengangguk faham, lantas melangkah mendekati nakas dan mengambil piring makan itu segera.

"Tuan makan dulu ya, karena anda harus minum obat setelahnya," bujuk Amara pelan lalu menyodorkan sesendok makanan ke bibir Dimas. Namun lelaki itu hanya bergeming dan menatap Amara dengan sorot mata tajam.

Praannnkk!

Piring makan itu terjatuh dari tangan Amara setelah Dinas menepisnya dengan sengaja. Suaranya sangat nyaring hingga mengejutkan tiga wanita yang ada di sana.

Bukannya menyesal telah membuat kekacauan, lelaki itu malah tersenyum puas tanpa dosa.

* * *

Satu minggu kemudian

Amara serta beberapa orang Dokter spesialis penyakit berbeda memasuki ruangan VIP. Ini adalah pemeriksaan terakhir sebelum pasien diperbolehkan pulang.

Seperti biasa, gadis itu lah yang mengukur suhu tubuh dan tensi darah pasien. Meski tak terhitung lagi berapa kali sudah melakukan hal ini, namun Amara masih saja merasa was-was.

Terlebih lagi saat sekilas Amara melirik laki-laki yang tengah menatapnya itu dengan sorot mata mengancam. Seringainya pun muncul saat ia berhasil membuat Amara kikuk dan gusar.

Dengan hati-hati Amara mencabut selang infus yang masih tertancap di punggung tangan Dimas. Tangan Amara yang bergetar bisa dilihat jelas oleh Dimas yang memang selalu mengawasi setiap gerakan Amara.

"Lo ngapain gemetaran gitu?"

Secara spontan Amara pun mendongak menatap Dimas dengan ekspresi wajah terkejut bercampur takjup. Pasalnya selama lebih dari dua minggu lelaki itu dirawat, sekalipun ia belum pernah memperdengarkan suaranya sama sekali.

"Lo takut sama gue?" Dimas mencoba menebak sembari menyipitkan mata. Mengamati Amara yang tiba-tiba bengong menatap dirinya seperti sedang terperangah.

"T-tidak Tuan," bantah Amara dengan suara terbata. "Apa Tuan masih merasa pusing?" Amara mengalihkan pembicaraan sembari menatap kepala tanpa rambut yang terbungkus rapat oleh perban putih itu.

"Enggak." Dimas menjawab singkat.

Amara lantas menarik diri dan menyerahkan selanjutnya kepada tim Dokter. Amara hanya diam saat para Dokter berbicara dengan Dimas dan orang tuanya yang memang sudah beberapa hari ini selalu setia mendampingi sang putera.

Decitan suara kursi roda yang beradu dengan lantai rumah sakit terdengar berisik saat Amara mendorong kursi yang Dimas duduki itu menuju ke lobi rumah sakit.

Sudah saatnya Dimas pulang, dan hal ini juga membuat para dokter dan juga Amara merasa lega. Karena dengan begitu tugas mereka pun selesai.

Praakk!

Ponsel dari genggaman Dimas pun terjatuh ke lantai saat mereka diam menunggu sopir menyiapkan tempat yang nyaman untuk Dimas di dalam mobil.

Dengan cepat Amara pun berjongkok untuk mengambil ponsel itu lalu menyerahkannya pada Dimas.

"Ponsel anda Tuan, apa ada masalah dengan tangan anda?" Amara bertanya dengan nada khawatir.

"Enggak." Jawab Dimas dingin sembari menyambar ponsel nya dari tangan Amara.

Pelan - pelan saja kenapa si, lagi sakit aja galak gitu. Gimana sehat nya?! Amara menggumam kesal dalam hati.

"Dimas apa tangan mu merasa sakit atau bagaimana?" Ibu Dimas pun tampak khawatir pada putranya. Wanita cantik paruh baya itu menatap putranya dengan wajah cemas.

"Aku nggak apa-apa Ma, Mama nggak usah khawatir."

"Tapi kenapa ponselmu jatuh? Kalau belum sembuh benar mending jangan pulang dulu deh. Kita balik periksa lagi ya,"

"Enggak usah Mama, aku sudah sehat."

"Kau yakin Dimas?" Lelaki paruh baya pun menyahut. Dia ayah Dimas.

"Yakin Ayah," Dimas menjawab sembari tersenyum. Berusaha meyakinkan kedua orang tuanya bahwa dirinya baik-baik saja.

Amara hanya tersenyum saat menyaksikan hubungan orang tua dan anak yang saling menyayangi satu sama lain. Hatinya berdesir perih seketika karena merasa tidak beruntung dalam hal itu.

Amara menunduk saat air matanya hampir jatuh. Ia menggerakkan tangannya untuk menyeka. Agar tak sampai membasahi pipi nya.

Amara tersenyum dengan setengah membungkukkan tubuhnya sebagai salam perpisahan saat mobil yang membawa Dimas meninggalkan lobi rumah sakit.Ucapan rasa terimakasih yang tulus pun tak luput ia terima dari keluarga pasien itu.

Amara menghela nafas dalam, merasa lega. Satu tugasnya terselesaikan lagi dengan baik. Gadis itu tersenyum sembari kembali melangkah masuk.

* * *

"Terimakasih banget untuk pinjaman uangnya ya mbak, aku nggak tau lagi harus minta tolong ke siapa." Amara tersenyum getir, berusaha menutupi wajah pucatnya.

"Enggak apa-apa Mara, kamu pakai dulu uangnya ya. Itu tabungan pribadi aku, kok." Diana mencoba menenangkan gadis yang duduk di sampingnya itu dengan mengusap pundaknya lembut. "Sekarang ceritain ke aku, gimana ceritanya kamu bisa ganti rugi begitu?" desak Diana dengan wajah penuh rasa ingin tahu.

Amara menatap Diana dengan wajah pias lalu kemudian tertunduk. Ia terlihat menghela nafas dalam sebelum akhirnya membuka mulutnya untuk bercerita. Walau sebenarnya ia sangat malas mengingat kejadian yang baru beberapa jam berlalu itu.

Bersambung

1
Sumarni Tina
akhirnya Dimas ketahuan
Sumarni Tina
Luar biasa
Enjelika h
Lumayan
Sulistiawati Kimnyo
semangat lg kakak....
Via
kebanyakan dram jd bosen bacanya
Via
huhhh TOLOL si Amara goblok anjing gitu aj mau ngalah setan😤😤😤😏😏😏
Firda Fami
dah tinggalin aja tuh si Dimas biar mati sekalian 👿
beybi T.Halim
gak asek .., karakter wanitanya seharusnya keren.,barbar dan gak gampang ditindas.,biasanya anak yatim-piatu itu punya sifat yg keren😊
Fa Rel
amara bodoh mending minta cerai biarin dimas nyesel seumur idup
Fa Rel
rasain lu dimas emang enak di.bhongin biar amara ma juan aja lah dripada.ma.dimas g tau trima kasih
Zahra Cantik
masa udah tamat thor 😔😔
kasih bonus dong 😘😘😘
Nina Latief
Lanjut thooorrr...nanggung nih
Bagus X
tamat ?
😨😨
Bagus X
wah wah wah,,tanda tanda wereng coklat ini😌
Bagus X
💖💞👄
Bagus X
eeelahdalah,,,
Bagus X
wadaw,,dalem bngeeeet
Bagus X
😁😁😁😁😁😁😁😁 sa ae mu Thor idenyaaa
Bagus X
ooohhhh,,,so swiiiitttt 😜
Bagus X
ya'ampun othooor,,,benar benar tega dehhh🤦
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!