abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Pertarungan Terakhir di Tengah Kegelapan
Isabella tersungkur di lantai dingin ruangan itu, tubuhnya gemetar di antara napas yang tersengal. Suara pecahan kaca di belakangnya menggema, dan dari bayang-bayang, pria bertopeng itu kembali berdiri. Kali ini, topengnya retak, memperlihatkan sedikit kulit pucat yang menyembul di baliknya.
“Lo nggak akan selamat, Isabella,” katanya, suaranya berat dan penuh ancaman.
Dia bangkit dengan susah payah, memungut pecahan kaca yang masih dia genggam erat. “Lo pikir gue bakal nyerah gitu aja? Gue udah terlalu jauh buat mundur!”
Sebelum pria itu bisa merespons, Isabella menyerang lebih dulu. Pecahan kaca di tangannya meluncur cepat, tapi pria itu menangkap pergelangan tangannya dengan mudah. Mereka bergulat di ruangan sempit itu, suara napas mereka bercampur dengan derak kayu tua yang retak di bawah kaki mereka.
Dari pintu yang masih terbuka, sosok Marco berdiri diam, matanya menatap tajam ke arah mereka. Tapi ada sesuatu yang salah. Marco nggak bergerak sedikit pun, hanya menonton dengan ekspresi datar.
“Marco! Lo bantu gue, dong!” Isabella berteriak sambil mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pria bertopeng itu.
Tapi Marco hanya melangkah pelan ke dalam ruangan, tanpa sepatah kata.
---
Pengkhianatan yang Tak Terduga
Pria bertopeng itu akhirnya berhasil menjatuhkan Isabella ke lantai. Dengan satu tangan, dia menahan tubuhnya, sementara tangan lainnya meraih belati tajam dari pinggangnya.
“Waktunya selesai, Bella. Lo nggak pantas hidup,” gumam pria itu.
Tapi sebelum dia bisa menusuk, Marco tiba-tiba bergerak. Dengan cepat, dia menarik pria bertopeng itu dari Isabella dan menghantamkan kepalanya ke dinding.
“Gue nggak akan biarin lo mati, Bella,” kata Marco dengan suara pelan tapi tegas.
Isabella bangkit perlahan, tubuhnya masih lemah. “Lo... lo di pihak gue?” tanyanya ragu.
Marco mengangguk. “Selalu. Tapi kita harus cepat keluar dari sini sebelum mereka datang lagi.”
Pria bertopeng itu mencoba bangkit, tapi Marco menginjak dadanya dengan keras, menghentikannya. “Lo tinggal di sini,” katanya dingin sebelum meraih tangan Isabella dan menariknya keluar dari ruangan.
---
Kastil yang Hidup
Saat mereka keluar dari ruangan itu, lorong di luar berubah total. Dinding-dindingnya terasa lebih sempit, lantainya retak, dan suara-suara aneh terdengar dari segala arah. Seolah kastil itu hidup dan tidak ingin mereka pergi.
“Kenapa semuanya berubah?” Isabella bertanya, suaranya dipenuhi ketakutan.
Marco nggak menjawab. Dia hanya menariknya lebih cepat, melewati pintu-pintu yang kini terasa seperti mengawasi mereka.
Ketika mereka sampai di sebuah aula besar, langkah mereka terhenti. Di sana, berdiri lima orang bertopeng, semuanya memegang senjata.
“Lo pikir bisa kabur?” salah satu dari mereka berkata, suaranya serak tapi penuh amarah.
Marco melepaskan tangan Isabella dan maju selangkah. “Kalau lo mau dia, lo harus lewatin gue dulu.”
“Marco, lo ngapain? Kita nggak bisa ngelawan mereka!” Isabella mencoba menariknya kembali, tapi Marco tetap berdiri di tempatnya.
“Aku udah cukup lama diem, Bella. Udah waktunya gue selesaiin semuanya,” katanya dengan nada penuh kepastian.
---
Pertempuran yang Brutal
Tanpa peringatan, kelima orang bertopeng itu menyerang sekaligus. Marco bergerak cepat, mengambil pedang pendek dari lantai dan menebas salah satu dari mereka dengan gerakan yang hampir sempurna.
Isabella hanya bisa menyaksikan dengan ngeri ketika pertempuran itu berlangsung. Darah bercipratan ke mana-mana, dan suara senjata yang berbenturan memenuhi aula besar itu.
Salah satu pria bertopeng berhasil menyelinap ke arah Isabella. Dia mengangkat kapaknya, siap menghantam kepala Isabella. Tapi sebelum dia bisa melakukannya, Marco melemparkan pedangnya, menancap tepat di leher pria itu.
“BELLA! LARI!” teriak Marco.
“Tapi lo—”
“LARI SEKARANG!”
Dengan berat hati, Isabella mematuhi perintah itu. Dia berlari ke arah pintu besar di ujung aula, tapi langkahnya terhenti ketika dia mendengar teriakan Marco. Dia menoleh dan melihat salah satu pria bertopeng berhasil menusuk Marco di perut.
“MARCO!” Isabella berteriak.
Marco jatuh ke lantai, darah mengalir deras dari lukanya. Tapi dia tetap berusaha tersenyum. “Gue udah bilang, kan? Gue nggak bakal biarin lo mati di sini...”
Pria bertopeng lainnya mulai mendekati Isabella, tapi Marco, dengan sisa tenaganya, menarik salah satu granat dari pinggangnya dan menarik pinnya.
“Lari, Bella. Sekarang...” katanya dengan suara lemah.
Isabella nggak punya pilihan. Dia berlari sekuat tenaga keluar dari aula itu, dan beberapa detik kemudian, suara ledakan besar mengguncang seluruh kastil.
---
Akhir yang Belum Usai