Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Duel Gila di Jantung Nexus
Elara berdiri terpaku, jantungnya berdetak gila-gilaan. Yang ada di depan matanya bukan lagi Ardan yang dia kenal. Ini seperti Ardan versi “kegelapan ultimate” yang siap ngelumat segalanya. Matanya nyala merah terang, kayak lampu darurat. Tubuhnya? Udah kayak gabungan manusia dan monster dengan otot-otot yang kayak kawat baja, ditambah urat hitam yang ngejalar ke mana-mana. Creepy banget.
"Ardan, lo sadar nggak ini gue? Elara! Lo nggak perlu jadi bagian dari... monster ini!" Suara Elara bergetar, tapi dia tetap coba tegar.
Tapi Ardan, atau apapun dia sekarang, cuma senyum kecil. "Elara... ini semua lebih dari apa yang lo kira. Nexus itu bukan kehancuran, ini evolusi. Kita bisa jadi dewa. Lo harusnya ikut gue, bukan ngelawan."
Elara ngehela napas panjang. "Gue udah tahu lo keras kepala, tapi ini beda, Dan. Gue nggak bakal tinggal diam sementara lo jadi... kayak gini."
Ardan ketawa, suara tawanya berat dan aneh. "Kalau gitu, kita lihat siapa yang paling kuat, Elara."
Dan di situlah semuanya dimulai.
---
Tembak-Tembakan di Dimensi Gila
Ardan nggak basa-basi. Dengan sekali hentakan, dia lompat ke arah Elara, cepat banget kayak peluru. Untungnya Elara refleks narik senjatanya, langsung ngelempar tembakan plasma ke arah Ardan. Ledakannya bikin cahaya merah di ruangan itu goyah sebentar, tapi ternyata nggak cukup buat ngejatuhin Ardan. Dia cuma mundur satu langkah, senyum liciknya makin lebar.
"Cuma segitu? Ayo dong, kasih gue tantangan lebih," ejeknya.
Elara tau dia nggak bisa ngandelin brute force buat ngalahin Ardan. "Oke, lo mau main keras? Gue kasih keras!" Dia langsung ngeganti mode senjatanya ke overcharge, yang bikin setiap tembakan punya daya hancur dua kali lipat—tapi juga nguras energinya lebih cepat.
Elara muter ke belakang meja kontrol besar di ruangan itu, sambil terus nembakin Ardan. Dia bergerak cepat, lari dari satu sisi ke sisi lain, ngebuat jarak. Tapi Ardan nggak cuma diam. Dia juga mulai ngeluarin jurus-jurus aneh hasil pengaruh Nexus. Tangan kirinya berubah jadi kayak cambuk energi, dan setiap kali dia ngeayunin cambuk itu, dinding-dinding di sekitar mereka kena tebas, retak, dan hampir runtuh.
"Lo pikir lo bisa ngumpet terus?" teriak Ardan sambil ngelompat ke atas salah satu pilar, nyari posisi buat ngehajar Elara.
---
Strategi ala Ninja
Elara mulai mikir keras. Dia tau dia nggak bisa ngalahin Ardan secara langsung. Nexus udah nge-upgrade dia jadi sesuatu yang jauh lebih kuat dari manusia biasa. Tapi, Elara inget satu hal—Ardan dulu sering ngeremehin rencana licik. Itu celahnya.
Sambil nembakin beberapa peluru plasma buat nge-distract Ardan, dia pelan-pelan nge-setting satu jebakan di salah satu sisi ruangan. Dia pasang bom kecil di dinding, lalu pelan-pelan mundur ke tengah ruangan, pura-pura kayak udah kehabisan tenaga.
"Udah capek, Ra? Kasihan banget," Ardan ngejek sambil jalan pelan ke arahnya. Dia udah kayak predator yang ngeliat mangsanya nggak bisa kabur lagi. "Ini akhirnya, sayang."
Tapi justru itu yang Elara tungguin. Saat Ardan cuma beberapa meter dari posisi dia, Elara ngeklik tombol di pergelangan tangannya. BOOM! Bom yang dia pasang meledak dengan keras, ngeruntuhin sebagian besar langit-langit ruangan. Batu-batu raksasa jatuh, sebagian kena tubuh Ardan.
"Tuh, rasain tuh!" Elara teriak sambil lompat mundur buat ngehindarin puing-puing.
Tapi sebelum dia bisa ngerayain kemenangan kecilnya, suara berat Ardan muncul dari balik debu dan reruntuhan. "Bagus, Ra. Gue suka lo main licik kayak gitu. Tapi sayang, itu nggak cukup."
Dan benar aja, Ardan muncul lagi, meski tubuhnya sekarang udah penuh luka dan darah. Tapi luka itu malah kayak bikin dia makin brutal. "Sekarang, giliran gue."
---
Kejar-Kejaran Maut
Ardan mulai ngehajar Elara dengan cambuk energi yang sekarang nambah jadi dua. Setiap tebasan ngelewatin Elara cuma beda beberapa senti, tapi dampaknya bikin tanah di bawah mereka retak dan runtuh. Elara cuma bisa lari sambil cari celah buat nembak balik.
"Lo nggak bakal bisa kabur selamanya, Ra!" Ardan teriak sambil ngehajar pilar-pilar ruangan satu per satu, bikin ruangan itu makin kacau.
Tapi Elara nggak nyerah. Dia tau Nexus itu kayak monster besar yang punya hati di tengahnya. Inti energinya ada di ruang utama di belakang, dan dia harus nyampe ke sana. Dengan segala daya, dia ngerancang rencana terakhir—serangan bunuh diri kalau perlu.
Dia mulai memancing Ardan ke satu sisi ruangan lagi, ngelempar tembakan plasma yang bikin Ardan makin marah. Saat Ardan udah fokus banget ngejar dia, Elara ngelompat ke atas reruntuhan dan mulai lari ke pintu belakang ruangan itu.
Ardan nyadar rencananya. "Lo nggak akan nyentuh Nexus!" Dia ngelempar cambuk energinya, dan kali ini salah satu ujungnya berhasil nyamber kaki Elara.
"AARRRGH!" Elara jatuh keras ke lantai, senjatanya mental dari tangannya. Dia ngerasa tulang kakinya patah, tapi dia nggak punya waktu buat ngeluh. Ardan langsung ada di atasnya, tangan besarnya nyekik leher Elara.
"Ini akhir buat lo, Ra. Selamat tinggal."
---
Balikkan Keadaan
Tapi Elara bukan cewek yang gampang menyerah. Dia masih punya satu granat plasma di sabuknya, dan dia nggak ragu buat make itu sekarang. Dengan tangan gemetar, dia ngambil granat itu dan ngelemparnya langsung ke dada Ardan.
"Nikmatin ini, lo, bajingan!"
Granat itu meledak, ngedorong Ardan mundur dengan keras. Ledakannya ngerusak sebagian besar tubuhnya, tapi juga ngelempar Elara ke belakang, bikin kepalanya kebentur dinding keras.
Dengan sisa tenaganya, Elara ngesot ke arah pintu belakang, masuk ke ruang inti Nexus. Dia tau waktunya tinggal sedikit. Kalau dia nggak ngancurin inti itu sekarang, semuanya bakal selesai—dunia, dirinya, bahkan harapan terakhir umat manusia.
Di belakangnya, Ardan masih berusaha bangkit, meski tubuhnya udah nggak utuh lagi. Tapi Elara nggak peduli. Dengan napas terakhir, dia ngatur detonator di inti Nexus dan ngeklik tombolnya.
"Untuk lo, Ardan. Dan untuk dunia ini."
Cahaya terang menyilaukan memenuhi seluruh ruangan, diikuti suara ledakan yang nggak ada habisnya.
To be continued...