Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Pagi itu, Renaya baru saja memarkir mobilnya di area kampus. Ia melangkah santai menuju kelas, tas kecil menggantung di bahunya. Tidak lama kemudian, Ivanka terlihat sudah menunggunya di depan pintu kelas.
“Ren! Pagi!” sapa Ivanka ceria sambil melambaikan tangan.
“Pagi, Van,” balas Renaya, tersenyum tipis. Ia mendekat dan berdiri di samping temannya.
“Kamu pagi-pagi udah cantik banget. Daddy Mario pasti ngedrop kamu lagi ya?” goda Ivanka sambil mengedipkan mata.
Renaya tertawa kecil. “Nggak, kali ini aku nyetir sendiri. Daddy lagi sibuk banget pagi ini.”
Baru saja mereka hendak masuk ke kelas, tiba-tiba Edwin muncul dari arah koridor. Ia tersenyum lebar, matanya langsung tertuju pada Renaya. Tanpa ragu, ia mendekat dengan langkah percaya diri.
“Renaya, Ivanka, pagi!” sapanya ramah.
Renaya menoleh, sedikit terkejut dengan kehadirannya yang mendadak. “Oh, pagi juga, Edwin.”
Edwin menyandarkan tangannya di pintu kelas, menghalangi mereka masuk sejenak. “Kebetulan aku ketemu kalian. Setelah kuliah selesai nanti, ada waktu nggak? Aku mau ngajak kalian jalan ke mall. Hitung-hitung ngobrol santai sambil makan.”
Renaya dan Ivanka saling pandang. Ivanka terlihat antusias, sementara Renaya tampak sedikit ragu.
“Hmm, aku nggak masalah sih, tapi...” Renaya berhenti sejenak, matanya melirik Ivanka, lalu kembali menatap Edwin. “Kalau aku ikut, Ivanka harus ikut juga. Aku nggak nyaman kalau cuma berdua.”
Edwin terkekeh, anggukannya santai. “Tentu saja. Aku juga ngajak kalian berdua kok. Kalau cuma Renaya doang, Ivanka pasti ngambek, kan?”
Ivanka mendengus, lalu tertawa. “Ya iyalah. Nggak mau kalah dong. Jadi aku ikut ya, Ren!”
Renaya mengangkat bahu sambil tersenyum. “Oke, kalau gitu kita lihat aja nanti setelah kuliah selesai.”
“Deal!” Edwin mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar. “Aku tunggu kalian di depan kampus setelah kelas selesai.”
Renaya hanya mengangguk tipis. Edwin pun melangkah pergi, kembali ke kursinya di dalam kelas. Setelah ia cukup jauh, Ivanka langsung menyenggol Renaya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ren, kamu serius mau pergi sama dia? Dia ganteng banget lho! Nggak takut Daddy Mario cemburu?”
Renaya tertawa kecil sambil memasuki kelas. “Tenang aja, Van. Aku nggak ada apa-apa sama Edwin. Lagipula Daddy Mario pasti ngerti kok. Aku kan cuma pergi sama teman, bukan pacaran.”
Ivanka terkikik. “Hmm, teman ya? Tapi kok kayaknya Edwin serius sama kamu.”
Renaya hanya menghela napas sambil tersenyum. Dalam hati, ia merasa sedikit canggung dengan perhatian Edwin, tapi tidak ingin menolak terlalu tegas agar suasana tetap nyaman.
Setelah percakapan itu, mereka duduk di bangku masing-masing, siap mengikuti pelajaran. Namun, pikiran Renaya terusik. Ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya Edwin inginkan darinya?
Setelah kuliah usai, Renaya dan Ivanka langsung menuju parkiran kampus. Renaya membuka pintu mobilnya, sementara Ivanka sudah duduk manis di kursi penumpang. Di belakang mereka, suara deru motor sport milik Edwin terdengar mendekat. Edwin melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, lalu menyalakan mesinnya.
“Bawa pelan aja ya, Ren. Aku nggak mau ketinggalan,” teriak Edwin sambil menunjuk motor sportnya. Renaya hanya tertawa kecil dan mengangguk.
Perjalanan menuju mall berlangsung singkat. Setelah memarkir mobil dan motor mereka, ketiganya langsung berjalan menuju salah satu kafe yang cukup ramai di lantai dua. Mereka memilih meja dekat jendela yang memberikan pemandangan ke jalan besar. Ivanka sibuk membuka menu, sementara Edwin duduk berhadapan dengan Renaya, mencoba mencari topik untuk memulai percakapan.
“Ren, Ivanka, kalian mau pesan apa? Aku traktir deh,” ujar Edwin sambil meletakkan menu di atas meja.
“Serius? Wah, jarang-jarang ada yang sebaik kamu, Win,” Ivanka menggoda, sementara Renaya hanya tersenyum tipis.
Setelah pelayan mencatat pesanan mereka dan meninggalkan meja, Edwin bersandar di kursinya, menatap Renaya dengan penasaran.
“Jadi, Ren,” katanya, memulai dengan nada bercanda. “Aku boleh nanya nggak? Kamu udah punya pacar belum?”
Ivanka langsung terkikik sebelum Renaya sempat menjawab. “Win, Renaya itu udah ada yang punya. Nggak mungkin kamu bisa deketin dia.”
Edwin pura-pura menunjukkan wajah kecewa. “Yah... serius? Padahal aku lagi niat banget deketin kamu, Ren. Kamu nggak kasihan sama aku?”
Renaya tertawa kecil, menutupi rasa canggungnya dengan senyum lebar. “Maaf, Win. Aku nggak bisa diambil alih semudah itu.”
“Tapi kalau aku berusaha keras gimana? Masa nggak boleh coba?” Edwin bersikap setengah bercanda, setengah serius. Tatapannya sesaat menelusuri wajah Renaya, namun Ivanka segera memecah suasana.
“Win, jangan mimpi deh. Pacarnya Renaya itu nggak bisa dilawan. Dia udah high level banget,” ujar Ivanka sambil tertawa, menggoda Edwin yang berpura-pura menutup wajahnya dengan tangan.
Sementara percakapan mereka berlangsung, tak jauh dari sana, seorang pria berpakaian kasual duduk di meja pojok, mengawasi mereka dengan seksama. Tangan kanannya memegang secangkir kopi, sementara tangan kirinya menggenggam ponsel yang menempel di telinganya.
“Lapor, Bos,” gumamnya pelan, memastikan suaranya tidak terdengar oleh pengunjung lain. “Sepertinya Nona Renaya sudah mulai tertarik pada Edwin.”
Suara di seberang telepon terdengar datar namun penuh ketegasan. “Bagus. Awasi terus. Pastikan dia tetap berada di jalur yang kita rencanakan.”
“Siap, Bos,” jawab pria itu sebelum mematikan panggilan. Ia kembali menatap meja tempat Renaya, Ivanka, dan Edwin duduk, memastikan setiap gerak-gerik mereka tercatat dalam ingatannya.
Di meja mereka, Renaya mengalihkan pembicaraan, berusaha menghindari topik yang terlalu pribadi. “Jadi, Win, katanya kamu pindahan dari Jepang? Kok bisa sampai ke sini?”
Edwin tersenyum, merasa senang bisa mengalihkan perhatian Renaya. “Iya, keluargaku pindah karena urusan bisnis. Aku sih sebenarnya lebih senang tinggal di Jepang, tapi ya gimana lagi.”
Percakapan mereka berlanjut dengan santai, sementara pria yang mengawasi mereka mencatat semuanya dalam pikirannya, menunggu saat yang tepat untuk melapor kembali.
Setelah puas menghabiskan waktu di mall bersama Ivanka dan Edwin, Renaya mengantarkan Ivanka pulang ke rumahnya. Jalanan tidak terlalu ramai, sehingga perjalanan berjalan lancar. Sesampainya di apartemen, Renaya memarkir mobilnya dan naik ke lantai tempat unitnya berada dengan langkah santai. Hari itu cukup menyenangkan, pikirnya.
Begitu membuka pintu apartemen, ia terkejut mendapati Mario sudah duduk di sofa ruang tamu. Jas kerjanya terlipat rapi di sampingnya, namun wajahnya tampak tegang. Renaya tersenyum ceria, menyapa seperti biasa.
“Daddy! Kamu udah pulang duluan, ternyata! Aku tadi—”
“Kamu pergi dengan siapa tadi?” suara Mario memotong sapaan Renaya, nadanya keras dan tajam. Matanya menatap tajam ke arahnya.
Renaya terdiam, rasa kaget bercampur bingung menyelimuti dirinya. “Aku... aku pergi sama Ivanka dan temannya, Daddy. Kenapa?”
Mario berdiri, langkahnya mendekat dengan ekspresi serius yang membuat suasana semakin berat. “Jangan coba-coba bohong sama aku, Renaya. Aku dengar laporan kalau kamu tadi jalan sama laki-laki.”
Renaya mengerutkan alis, mulai merasa tidak nyaman dengan nada suara Mario. “Iya, dia temannya Ivanka, Daddy. Namanya Edwin. Kami cuma ngobrol dan belanja sebentar. Apa yang salah?”
“Yang salah adalah kamu terlalu santai, Renaya! Aku nggak mau kamu bergaul dengan sembarang orang, apalagi laki-laki yang niatnya mendekati kamu,” ujar Mario, masih dengan nada keras.
Renaya menatap Mario dengan pandangan terluka. “Daddy, aku tahu batasanku. Edwin cuma teman biasa. Kamu nggak perlu bereaksi berlebihan seperti ini.”
Mario menghela napas panjang, lalu memalingkan wajah, berusaha meredam emosinya. "Aku cuma nggak mau ada yang mengambilmu dariku, Renaya. Itu saja."
Renaya mendekat perlahan, mencoba melembutkan suasana. “Daddy, aku nggak ke mana-mana. Aku tetap di sini, sama kamu.”
Mario mendekati Renaya dengan langkah cepat, tatapannya tajam dan penuh emosi. Renaya, yang masih berdiri di ambang pintu, tak sempat bereaksi ketika Mario tiba-tiba mencengkeram lehernya dengan tangan kuat.
“Daddy... apa—” Renaya mencoba berbicara, tapi suara terhentak keluar dari tenggorokannya.
“Daddy tidak suka kamu jalan sama cowok manapun,” desis Mario dengan nada rendah namun tegas, sebelum menunduk dan mencium Renaya dengan kasar.