Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah yang tertunda
Selalu saja, ucapan Dikta berhasil mengusik pikiran Delvia yang sudah kacau. Perihal siapa yang paling mencintai, Delvia sendiri tidak yakin dengan jawabannya. Bahkan Delvia saja ragu jika dia mencintai dirinya sendiri. Lihat saja, bagaimana Delvia memperlakukan dirinya sendiri, gadis itu selalu memaksakan diri untuk menyelesaikan pekerjaannya, tidak memberi celah bagi tubuhnya untuk beristirahat. Saking sibuknya, Delvia bahkan lupa jika hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Delvia masih berada di butik saat menerima panggilan dari Erika, gadis itu meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk menjawab telefon dari kakaknya. "Hallo kak."
"Kamu dimana?" tanya Erika di seberang sana.
"Di butik, ada apa kak?"
Terdengar helaan nafas panjang dari mulut Erika. "Selamat ulang tahun Delvia. Maaf, kakak telat mengucapkannya," ucap Erika penuh sesal, hari ini dia di buat sibuk dengan urusan rumah tangga sehingga tak memiliki waktu untuk menghubungi adik semata wayangnya.
"Terima kasih kak, aku bahkan lupa kalau hari ini aku berulang tahun," Delvia tersenyum sendu, mengingat hanya Erika yang ingat dengan ulang tahunnya.
"Kakak mengirim sedikit uang, belilah kue atau apapun yang kamu inginkan. Maaf karena kakak tidak bisa menemanimu di hari ulang tahunmu!"
"Hmm, aku akan membeli kue, kita bisa meniup lilinnya bersama melalui panggilan video kak. Terima kasih kak," Delvia menerima hadiah dari kakaknya dengan perasaan campur aduk, antara senang dan sedih. Sejak menikah, Erika tak lagi bekerja sehingga wanita itu hanya mengandalkan uang dari suaminya. Meski demikian Erika selalu mengirim uang saat Delvia berulang tahun. Delvia pernah menolaknya sekali, namun hal tersebut justru membuat kakaknya sedih.
Panggilan berakhir, Delvia mengemasi barang-barangnya. Delvia berencana pulang lebih awal agar dia bisa membeli kue ulang tahun dan merayakan ulang tahunnya bersama Erika meski hanya lewat panggilan video
Delvia keluar dari butik setelah mematikan semua lampu, dia sedang berusaha mengunci pintu dalam keadaan remang-remang. "Aish, kenapa susah sekali," Delvia mengumpat kesal karena tiba-tiba dia kesulitan mengunci pintu. Di saat yang sama, Delvia merasa seperti sedang di awasi oleh seseorang. Delvia panik, dia takut jika ada orang jahat di sekitarnya.
"Delvia," panggil seseorang dari belakang.
"Aaaaaa," Delvia menjerit, reflek gadis itu terduduk seraya memegangi kedua telinganya. "Jangan sakiti saya!" ucapnya memohon, saking takutnya Delvia sampai menangis.
"Ini aku, Dikta," ujar Dikta panik, baru kali ini dia melihat Delvia begitu ketakutan. Dikta menyusul Delvia duduk untuk menenangkan gadis itu. "Maaf, aku tidak bermaksud menakutimu," sesal Dikta. "Buka matamu, ini aku!"
Perlahan Delvia mengangkat kepala, memastikan jika pria itu benar-benar Dikta. "Mas Dikta," ucap Delvia dengan suara tercekat. Meski dalam keadaan temaram, Delvia bisa melihat wajah Dikta dengan jelas. Entah apa yang Delvia pikirkan, tiba-tiba gadis itu menghambur ke dalam pelukan Dikta dan menangis tersedu-sedu.
"Maafkan aku," Dikta memeluk tubuh mungil Delvia dengan erat, menyesali kebodohannya karena telah membuat Delvia ketakutan.
Pelukan Dikta selalu berhasil menengkan Delvia, gadis itu merasa jauh lebih baik dan segera melepaskan diri dari dekapan adik iparnya Delvia menyeka air matanya dengan kasar, lalu merutuki dirinya sendiri karena begitu ceroboh, bisa-bisanya dia memeluk pria yang amat dia hindari itu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Dikta dengan sorot cemas.
"Hem," Delvia hanya bergumam kecil. Meski sudah merasa lebih baik, namun tubuh mungilnya masih begitu lemah, bahkan untuk berucap pun Delvia tak mampu. Delvia bahkan tak bisa menolak saat Dikta membantunya berdiri dan membawanya masuk ke dalam mobil.
"Minumlah," Dikta memberikan sebotol air mineral dengan tutup yang telah terbuka, di saat seperti ini dia yakin Delvia tak memiliki tenaga untuk membuka tutup botol.
Delvia menenggak habis air tersebut, membasahi tenggorokan yang sempat kering.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Delvia menoleh sehingga dia bisa melihat tatapan lembut dari mata elang Dikta. "Aku baik-baik saja. Terima kasih. Aku harus pergi sekarang!"
"Aku akan mengantarmu pulang!"
"Aku bisa pulang sendiri," tolak Delvia dengan cepat.
"Dengan kondisi seperti ini? Kamu yakin bisa mengemudikan mobilmu?"
Delvia menunduk, memperhatikan keduanya kakinya yang masih terasa lunglai.
"Aku akan mengantarmu palang!" kali ini bukan sebuah tawaran, melainkan perintah yang harus Delvia turuti.
Tidak ada pilihan selain menurut, Delvia juga tidak ingin mengambil resiko jika dia nekat pulang sendiri. Selama perjalanan pulang Delvia hanya diam, kepalanya bersandar pada kaca dan matanya terpejam sehingga dia tidak menyadari jika Dikta membawanya ke tempat lain.
Sepuluh menit sudah sejak Dikta memarkirkan mobilnya, namun sepertinya pria itu tak berniat turun dari mobil karena sedang terpaku pada Delvia yang masih terlelap. Dengan hati-hati, Dikta menyentuh rambut Delvia, membelainya lembut hingga ke wajah cantik itu. "Apa yang pernah terjadi padamu? Kenapa tadi kamu sepanik itu?"
Dikta segera menarik tangannya saat Delvia mulai mengerjapkan mata, gadis itu akhirnya terbangun dengan ekspresi bingung. "Kita dimana?" tanya Delvia seraya menoleh ke kiri dan ke kanan, yang jelas dia berada di tempat asing.
"Pantai," singkat Dikta.
"Pantai?" ulang Delvia dengan alis bertaut. Orang gila mana yang pergi ke pantai tengah malam begini.
"Aku tidak gila, aku hanya ingin mengajakmu bermain," Dikta seolah bisa membaca pikiran Delvia. "Turunlah, aku yakin kamu akan menyukainya!"
Benar saja, meski awalnya ragu namun akhirnya Delvia sangat menyukainya. Gadis itu berlarian bak anak kecil. Dan kali ini Delvia lah yang menjadi orang gilanya karena tengah malam bermain air di pantai. Sementara itu Dikta hanya memperhatikan Delvia seraya tersenyum. Senang rasanya bisa melihat Delvia seceria itu di hadapannya.
"Aaaaa," Delvia berteriak kencang, meluapkan segala kemarahan dan kekecewaan yang selama ini tertahan di hatinya. Pantai dan sapuan anginnya berhasil membuat Delvia melupakan masalahnya barang sejenak.
"Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun Delvia, selamat ulang tahun," tiba-tiba Dikta datang menghampiri Delvia seraya bernyanyi dan membawa kue tart beserta dengan 26 lilin menyala di atasnya.
Delvia berbalik begitu mendegar lagu ulang tahun yang di nyanyikan oleh Dikta, gadis itu membeku di tempat dengan mata berkaca-kaca. Entah sudah berapa lama tidak ada orang yang membawakan kue seraya bernyanyi untuknya.
"Selamat ulang tahun Delvia Mayuri, aku berdoa agar Takdir selalu berpihak padamu," ucap Dikta seraya tersenyum lebar, senyum yang sangat jarang dia perlihatkan pada orang lain.
"Kapan kamu menyiapkan semua mas?" tanya Delvia penasaran. "Ah bukan itu, dari mana kamu tau kalau hari ini aku ulang tahun?" Delvia meralat pertanyaannya.
"Aku pernah melihat salinan kartu identitasmu sebelum kita mendaki," jawab Dikta dengan jujur. "Cepat tiup lilinnya, sebentar lagi hari akan berganti dan tanganku sudah kepanasan!"
Delvia terkekeh melihat usaha Dikta melindungi nyala lilinnya. Sebelum meniup lilin, Delvia menutup mata dan berdoa meski dia tidak yakin jika doanya akan di dengar oleh Tuhan. "Tuhan, aku tidak meminta lebih, aku hanya menginginkannya untuk selalu berada di sisiku. Doaku mungkin terlalu egois, tapi aku bersungguh-sungguh. Jika kehidupan kedua itu ada, aku berharap kami bisa bersama selamanya!"
"Doa apa yang kamu panjatnya Delvia Mayuri?" Dikta penasaran dengan harapan Delvia karena gadis itu begitu lama memejamkan mata selagi berdoa.
Delvia membuka mata lalu meniup lilin berjumlah 26 itu. "Rahasia!"
"Sekarang potong kuenya. Tapi sepertinya kita harus duduk. Tunggu di sini, aku akan mencari sesuatu," Dikta memberikan kue ulang tahun kepada Delvia, lalu pria itu berlari ke mobilnya. Tak lama kemudian Dikta kembali seraya membawa selimut dan menggelarnya di atas pasir. "Ayo cepat duduk!" ajaknya tak sabar.
"Tapi nanti selimutnya kotor," tutur Delvia.
"Tidak masalah, aku bisa mencucinya. Cepat duduk, aku lapar dan ingin mencicipi kue ulang tahunmu!"
Lagi dan lagi, Delvia kembali tersenyum melihat tingkah lucu Dikta, gadis itu lalu menyusul Dikta duduk dan mencabuti satu persatu lilin di atas kuenya. "Banyak sekali lilinnya!"
"26, sesuai dengan umurmu!"
Perhatian Dikta selalu berhasil menyentuh hati Delvia, sayangnya gadis itu tak mampu untuk mengutarakan isi hatinya. Setelah semua lilin di singkirkan, Delvia lalu memotong kue ulang tahunnya, namun dia bingung bagaimana cara memberikan potongan kue itu kepada Dikta. "Kamu tidak bawa piring atau apa pun itu yang bisa menampung potongan kue ini?"
"Aku lupa," jawab Dikta seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mm, bagaimana kalau kamu langsung menyuapkannya ke dalam mulutku?" bukan Dikta namanya kalau tidak memiliki akal bulus.
"Ck, kamu terlalu tua untuk di suapi. Makanlah sendiri!" tolak Delvia secara terang-terangan.
"Hmm," wajah Dikta berubah sendu, dia kecewa karena permintaannya di tolak. Dikta lantas menjejalkan kue itu kedalam mulutnya sendiri. Dikta tak ingin menikmati kue seorang diri, dia juga memotong kue dengan ukuran kecil dan menyodorkannya ke depan mulut Delvia. "Buka mulutmu!"
"Aku bisa sendiri mas," tolak Delvia lagi.
"Sekali saja," Dikta bersikeras.
Delvia akhirnya mengalah dan membuka mulut, menerima suapan kue dari Dikta. "Mmm, kuenya sangat enak. Dimana kamu membelinya mas?"
"Di dekat rumah sakit. Disana menjual kue dan pastry yang enak-enak!"
"Lain kali aku harus mampir ke sana!" Delvia benar-benar menikmati cake tersebut sampai tak sadar sudah menghabiskan beberapa potong.
Melihat Delvia makan dengan lahap membuat hati Dikta merasa lega, beberapa bulan terkahir Delvia terlihat semakin kurus. Dikta lalu merogoh sesuatu dari sakunya dan memberikannya kepada Delvia. "Hadiah untukmu!"
Delvia menatap kotak kecil yang berada di tangan Dikta. "Tidak usah repot-repot mas!"
"Tolong terima, kamu bisa membuangnya nanti!" jawab Dikta putus asa.
Delvia ragu untuk menerima hadiah tersebut, namun kekecewaan di wajah Dikta membuatnya merasa bersalah. "Terima kasih mas," ucapnya setelah memutuskan untuk menerima hadiah tersebut. Delvia lalu membuka kotak hadiah itu, dia penasaran dengan hadiah yang Dikta berikan padanya. Kedua mata Delvia membola, gadis itu terkejut melihat sebuah cincin bertahtakan berlian bertengger di dalam kotak kecil itu. "Mas, ini..." Delvia tak sanggup melanjutkan kalimatnya, gadis itu menatap Dikta dengan sorot penuh tanya.
"Seharusnya aku memberikannya saat itu, namun aku terlambat dan melewatkanmu. Saat itu aku berjanji, aku akan mencarimu dan pasti akan menemukanmu. Dan saat itu terjadi aku akan memberikan cincin itu padamu. Sayangnya takdir tidak memberikan kesempatan untukku. Kamu boleh membuangnya setelah ini, setidaknya aku berhasil memberikan cincin ini kepada pemiliknya!"
Perasaan Delvia bergemuruh, dia senang namun dia juga terluka. Delvia kembali menutup kotak itu, mencoba menahan diri untuk tidak menyematkan cincin tersebut di salah satu jarinya. "Terima kasih hadiahnya," ucapnya tertunduk, Delvia tidak ingin Dikta tau jika dia tengah menahan air mata.
"Hem," Dikta tak berharap lebih, saat ini Dikta hanya ingin melihat Delvia hidup bahagia.
Malam ini, di bawah langit yang sama, bersaksikan ombak dan semilir angin, Delvia dan Dikta menghabiskan waktu bersama. Dua insan yang saling mencintai melangitkan doa yang sama, semoga kelak mereka bisa bersatu tanpa menyakiti pihak tertentu.
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan